Bukan Sekadar Keluarga

Penulis N
Chapter #13

13

Aroma tanah basah dan udara segar menyambut mereka saat mobil Theodore perlahan berhenti di depan sebuah penginapan kecil di pinggiran desa. Bangunan kayu sederhana itu tampak nyaman, dengan taman mungil yang penuh bunga liar bermekaran. Evelyn turun pertama, menghirup dalam-dalam udara pedesaan yang bebas dari polusi dan hiruk-pikuk kota.

"Tempat ini... nyaman sekali," komentar Leony, memandangi sekitar dengan tatapan puas.

Theodore tersenyum kecil, lega melihat kedua putrinya tampak lebih santai. "Aku pikir kita semua butuh ini."

Mereka menghabiskan waktu pertama dengan berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kecil desa, menemukan kedai teh, dan berbincang ringan dengan penduduk lokal yang ramah. Tidak ada tekanan, tidak ada topik berat, hanya kebersamaan sederhana yang terasa asing namun sekaligus menenangkan bagi mereka.

Saat matahari mulai terbenam, mereka duduk di beranda penginapan, menikmati teh hangat sambil memandang langit yang mulai dipenuhi warna jingga. Suasana begitu tenang hingga akhirnya Theodore membuka percakapan.

"Kalau kalian mau," katanya pelan, "kita bisa mulai membicarakan rencana-rencana ke depan. Bukan yang berat-berat, hanya... apa yang kalian impikan, misalnya."

Evelyn menatap ayahnya, sedikit terkejut tapi juga tersentuh. Ia tahu, butuh banyak keberanian bagi Theodore untuk membuka topik seperti ini.

"Aku... ingin membuka toko buku kecil suatu hari nanti," kata Evelyn akhirnya, suaranya pelan namun pasti. "Tempat yang nyaman, di mana orang bisa membaca tanpa merasa terburu-buru."

Theodore mengangguk. "Itu mimpi yang indah."

Leony menggigit bibirnya, lalu berkata, "Aku belum yakin... tapi aku suka musik. Mungkin aku ingin bekerja di dunia itu, entah sebagai pemain, pengajar, atau apapun yang berhubungan dengan musik."

"Apapun yang kalian pilih, aku akan mendukung," kata Theodore, kali ini dengan keyakinan yang tidak dibuat-buat.

Malam itu, setelah semua lampu dipadamkan dan hanya terdengar suara serangga malam, Evelyn merenung di ranjangnya. Ada perasaan hangat yang perlahan mengisi kekosongan di hatinya selama bertahun-tahun. Ia sadar, keluarganya mungkin tidak sempurna. Ada luka-luka lama, ada salah paham yang tidak bisa dihapus begitu saja. Namun kini, ada kemauan untuk berubah, ada harapan untuk masa depan.

Dan terkadang, itu lebih dari cukup.

Keesokan paginya, mereka berencana mengunjungi sebuah bukit kecil di pinggiran desa. Menurut penduduk setempat, pemandangan dari atas bukit itu luar biasa, apalagi saat matahari terbit. Mereka berangkat pagi-pagi sekali, membawa bekal sederhana dan semangat baru.

Perjalanan mendaki bukit tidak mudah, terutama bagi Theodore yang jarang berolahraga. Tapi tawa dan canda mengiringi langkah mereka, mencairkan segala kekakuan yang mungkin masih tersisa.

Ketika akhirnya mereka tiba di puncak, pemandangan yang tersaji membuat mereka terdiam. Hamparan desa kecil, ladang-ladang hijau, dan langit yang perlahan berpendar keemasan — semua terasa begitu damai.

Tanpa berkata apa-apa, Evelyn, Leony, dan Theodore berdiri berdampingan, memandang ke kejauhan. Tidak perlu banyak kata-kata. Saat itu, dalam keheningan yang penuh makna, mereka tahu bahwa meskipun jalan mereka berliku, mereka masih punya satu sama lain.

Dan itu, bagi mereka, adalah awal dari segalanya.

Liburan singkat itu terasa seperti mimpi yang hampir terlalu indah untuk menjadi nyata. Tapi seperti semua hal baik, akhirnya mereka harus kembali ke kehidupan mereka masing-masing.

Mobil Theodore melaju perlahan memasuki jalanan kota yang padat. Papan reklame besar, suara klakson, dan gedung-gedung menjulang tinggi menyambut mereka kembali dalam dunia nyata — dunia tempat masalah tak bisa dihindari begitu saja.

Evelyn menatap keluar jendela, merasakan perubahan suasana yang drastis. Ada ketegangan samar yang mengendap, meskipun mereka semua berusaha tetap tenang.

Leony memainkan ponselnya tanpa suara, entah mengecek media sosial atau sekadar mengalihkan perhatian. Ia tampak gelisah, seolah liburan itu hanya jeda sesaat yang terlalu singkat dari tekanan hidupnya.

Setibanya di rumah, mereka mendapati suasana sedikit berbeda. Ponsel Theodore yang berdering tak henti-henti menjadi pertanda bahwa pekerjaannya belum selesai menuntut. Sementara itu, Evelyn menemukan pesan-pesan tak terjawab dari kantornya, dan Leony harus kembali menghadapi drama pertemanannya yang belum tuntas.

Malam itu, mereka makan malam bersama di ruang makan, namun suasana tak sehangat beberapa hari lalu.

"Aku harus kembali ke studio besok," kata Leony, memecah keheningan. "Ada latihan untuk pertunjukan kecil."

Theodore mengangguk sambil mengunyah makanannya. "Bagus. Teruskan apa yang kamu mulai."

Evelyn meletakkan sendoknya. "Aku juga ada meeting penting. Sepertinya akan sibuk beberapa hari ini."

Hening lagi.

"Dan aku..." Theodore mendesah, mengusap wajahnya yang lelah. "Ada masalah di perusahaan. Proyek yang tertunda. Aku mungkin harus ke luar kota untuk beberapa hari."

Leony berhenti mengunyah. Evelyn menatap ayahnya dengan khawatir. "Keluar kota? Ke mana?"

"Bandung. Ada rapat besar yang tidak bisa ditunda." Theodore berusaha terdengar biasa saja, tetapi nada suaranya terlalu berat untuk bisa disembunyikan.

Mereka semua tahu, dengan Theodore pergi, mereka akan kembali pada rutinitas mereka yang dingin dan jarang bertukar kabar. Liburan itu terasa semakin jauh.

Setelah makan malam, Evelyn duduk di kamarnya, menatap layar laptop yang penuh dengan dokumen. Ia menghela napas panjang. Rasanya berat memikirkan bahwa kehidupan mereka akan kembali seperti sebelumnya.

Kemudian sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Elijah.

"Apa kabar? Liburanmu menyenangkan?"

Senyum kecil muncul di wajah Evelyn. Elijah — meski bukan keluarga kandungnya, pria itu seperti pengingat bahwa tidak semua hubungan harus serumit keluarganya sendiri.

"Lumayan," balas Evelyn. "Tapi kembali ke dunia nyata itu... berat."

Tak butuh waktu lama, pesan baru masuk.

"Kalau berat, kamu bisa cerita. Aku di sini."

Lihat selengkapnya