Dua hari setelah iklan disebar, rumah Evelyn dan Leony mulai kedatangan beberapa calon penyewa. Setiap kali bel rumah berbunyi, jantung Leony berdegup lebih kencang. Ini semua masih terasa aneh baginya — membayangkan ada orang lain yang akan berbagi rumah ini.
Pagi itu, seorang wanita muda datang. Namanya Clara, sekitar pertengahan dua puluhan, berpenampilan sederhana, ramah, dan banyak tersenyum.
"Terima kasih sudah menerima saya hari ini," katanya sambil melepas sepatunya di depan pintu.
Leony mengangguk canggung, membiarkan Evelyn yang berbicara. Mereka mengajak Clara berkeliling rumah, menunjukkan kamar kosong yang akan disewakan.
"Kamar ini cukup luas, ada jendela yang langsung menghadap halaman belakang," jelas Evelyn.
Clara tampak antusias. "Suka sekali! Rasanya hangat dan nyaman."
Mereka berbincang sebentar di ruang tamu, membicarakan soal harga sewa, aturan rumah, dan hal-hal kecil lain. Clara tampak sopan dan tidak banyak menuntut. Leony diam-diam merasa sedikit lega.
Setelah Clara pergi, Evelyn melirik adiknya. "Gimana menurutmu?"
Leony berpikir sejenak. "Kayaknya dia baik. Tapi... kita kan belum tahu banyak tentang dia."
Evelyn tersenyum kecil. "Makanya, sebelum ambil keputusan, kita cari tahu dulu. Kita harus hati-hati."
Leony mengangguk. Ia sadar ini bukan hanya tentang menyewakan kamar, tapi juga tentang membuka sebagian hidup mereka untuk orang lain.
**
Sore harinya, mereka menerima kunjungan calon penyewa kedua: seorang pria paruh baya bernama Pak Dion. Ia datang bersama istrinya, Bu Wina.
Pasangan itu terlihat ramah, namun agak cerewet soal detail kecil: ukuran lemari, tekanan air di kamar mandi, bahkan warna gorden.
"Kalau boleh, nanti gordennya diganti, ya?" tanya Bu Wina, setengah memerintah.
Leony langsung merasa tidak nyaman. Evelyn juga mulai menangkap sinyal yang sama — pasangan ini sepertinya akan banyak menuntut kalau tinggal di sini.
Setelah mereka pergi, Evelyn dan Leony saling bertatapan.
"Kayaknya... bukan mereka," kata Leony cepat.
Evelyn tertawa kecil. "Kakak setuju."
**
Malam itu, mereka duduk di ruang tamu, menatap daftar nama calon penyewa yang sudah masuk.
"Aku lebih suka Clara," kata Leony sambil menggambar asal-asalan di buku catatannya.
Evelyn mengangguk. "Aku juga. Tapi kita tetap perlu pastikan dia benar-benar bisa dipercaya."
Mereka memutuskan untuk menelepon Clara keesokan paginya untuk bertanya lebih lanjut — tentang pekerjaannya, latar belakangnya, dan alasan kenapa ia ingin pindah ke daerah itu.
Meski semua berjalan perlahan, Leony merasa ada semangat baru yang muncul. Mungkin benar, melepaskan sedikit bagian dari rumah ini bukan berarti kehilangan segalanya. Mungkin, ini cara mereka membuka lembaran baru — dengan tetap menjaga kenangan di hati.
Dan mungkin, hanya mungkin, keluarga mereka bisa bertambah satu orang lagi.
**
Pagi harinya, Evelyn menelepon Clara, seperti yang sudah mereka rencanakan.
"Selamat pagi, Kak Evelyn," suara Clara terdengar ceria di ujung telepon.
"Selamat pagi, Clara. Aku cuma mau ngobrol sedikit soal rencanamu tinggal di sini," ujar Evelyn, menjaga nada suaranya tetap ramah.
"Siap, Kak," jawab Clara antusias.
Percakapan itu berjalan lancar. Clara bercerita bahwa ia baru saja pindah pekerjaan ke kota itu — bekerja sebagai guru les privat untuk anak-anak sekolah dasar. Ia memilih mencari tempat tinggal yang sederhana, dekat dengan pusat kota tapi tetap terasa seperti rumah.
"Aku lebih nyaman di lingkungan keluarga, Kak. Rasanya lebih aman," katanya.
Evelyn mencatat dalam hati. Guru les privat. Latar belakangnya terdengar masuk akal, dan alasan mencari tempat tinggal juga wajar.
"Ada saudara di sini?" tanya Evelyn.
Clara terdiam sejenak sebelum menjawab, "Tidak ada. Orang tuaku sudah lama tinggal di luar negeri. Aku di sini sendirian."
Jawaban itu membuat Evelyn sedikit iba, tapi ia tetap menjaga objektivitas. Ia mengakhiri pembicaraan dengan mengatakan bahwa mereka akan memberi kabar sesegera mungkin.
**
Setelah telepon ditutup, Evelyn dan Leony berdiskusi di ruang makan.