Pagi hari setelah sarapan yang menyenangkan, Evelyn merasa sedikit lebih ringan. Ada sesuatu yang berbeda di udara, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan sepenuhnya, tetapi ia merasakannya. Keluarganya, meskipun tidak sempurna, mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.
Setelah beberapa minggu, mereka mulai lebih sering duduk bersama. Tidak lagi hanya berbicara tentang pekerjaan atau masalah, tetapi juga tentang harapan mereka untuk masa depan. Evelyn merasa lebih dekat dengan Theodore, dan meskipun Leony masih cenderung menghindari percakapan panjang, ia mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Itu cukup bagi Evelyn. Semua ini adalah perubahan yang positif.
Pada suatu sore yang cerah, Evelyn mengajak Theodore dan Leony untuk pergi ke taman. Mereka berjalan-jalan santai di bawah sinar matahari, berbicara tentang hal-hal kecil. Tidak ada topik besar, hanya percakapan ringan tentang cuaca, tentang makanan favorit mereka, tentang apa yang mereka rencanakan untuk minggu depan.
Di tengah jalan, Leony yang biasanya pendiam tiba-tiba berkata, "Aku ingin kita sering melakukan ini. Seperti dulu, waktu masih sering keluar bareng. Aku kangen."
Evelyn terdiam sejenak, terkejut mendengar ungkapan itu dari Leony. Biasanya, Leony tidak akan mengungkapkan perasaan seperti itu. Tapi sekarang, di tengah langkah mereka yang lambat dan tenang, sepertinya semuanya bisa dibicarakan.
"Kenapa kita tidak mencoba untuk lebih sering melakukannya, Leony?" jawab Evelyn dengan lembut. "Keluarga ini adalah tempat yang paling aman untukmu. Jangan ragu untuk berbagi apa pun, kapan saja kamu butuh."
Leony hanya mengangguk, senyum kecil terukir di wajahnya. Meskipun ia tidak banyak bicara, Evelyn tahu bahwa hatinya mulai terbuka, sedikit demi sedikit. Tidak ada yang harus dipaksakan. Proses ini membutuhkan waktu, dan Evelyn sudah siap untuk memberikan ruang bagi Leony untuk tumbuh dalam cara yang sehat.
Setelah beberapa jam di taman, mereka pulang ke rumah. Evelyn merasa lebih tenang. Kehidupan mereka, meskipun penuh tantangan, mulai memperlihatkan sisi yang lebih cerah. Dengan usaha dan kasih sayang yang tidak kenal lelah, mereka berusaha membangun kembali jembatan yang sempat runtuh.
Sesampainya di rumah, mereka duduk di ruang tamu, menonton acara favorit keluarga. Malam itu, ada sesuatu yang terasa lebih ringan di antara mereka. Tidak ada lagi ketegangan atau rasa canggung. Mereka menikmati kebersamaan tanpa harus merasa terpaksa.
Namun, meskipun mereka sedang dalam perjalanan untuk memperbaiki hubungan mereka, Evelyn tahu bahwa masalah tidak akan hilang begitu saja. Keluarga mereka masih harus menghadapi banyak hal. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Evelyn merasa ada harapan. Mereka bisa melewati ini bersama, asal mereka berusaha dan saling mendukung.
Hari-hari berlalu, dan Evelyn mulai merasakan adanya perubahan yang lebih besar dalam keluarganya. Setelah beberapa bulan penuh tantangan, mereka mulai belajar untuk saling menerima kekurangan satu sama lain. Setiap hari mereka berusaha untuk berbicara lebih terbuka, meskipun kadang-kadang ada ketegangan yang tak terhindarkan. Namun, tidak seperti dulu, mereka tidak membiarkan perasaan itu merusak hubungan mereka.
Suatu pagi, saat Evelyn sedang menyeduh kopi di dapur, Theodore masuk dengan ekspresi serius. Evelyn memandangnya, menunggu Theodore berbicara.
"Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, Evelyn," kata Theodore pelan, masih terlihat gelisah.
Evelyn meletakkan gelas kopi di meja dan menatap suaminya dengan penuh perhatian. "Tentang apa?"
Theodore duduk di kursi sebelah meja makan. "Tentang pekerjaan... Aku mungkin harus menerima tawaran pekerjaan di luar kota. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi pekerjaan itu penting untuk masa depan kita."
Evelyn terdiam. Meskipun dia tahu betapa pentingnya pekerjaan itu bagi Theodore, hatinya merasa cemas. Tidak mudah untuk membayangkan hidup mereka terpisah lagi, setelah sekian lama mereka berjuang bersama. Ada banyak pertimbangan yang perlu dipikirkan.
"Apakah ini berarti kita harus berpisah lagi?" tanya Evelyn, nada suaranya penuh ketidakpastian.
Theodore menghela napas panjang. "Aku tidak tahu. Aku ingin kita tetap bersama, tetapi pekerjaan ini adalah kesempatan yang besar. Aku tidak bisa melewatkannya begitu saja."
Evelyn mengangguk, memahami perasaan Theodore. "Aku mengerti. Tapi kita harus mempertimbangkan semuanya, Theodore. Keluarga kita, Leony, semua yang telah kita bangun bersama... Kita tidak bisa gegabah dalam membuat keputusan."
Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Evelyn tahu, keputusan ini tidak akan mudah, dan tidak hanya memengaruhi mereka berdua, tetapi juga kehidupan Leony. Bagaimana jika mereka harus terpisah jauh? Bagaimana Leony akan menghadapinya?
Setelah beberapa saat, Theodore berbicara lagi. "Aku akan memikirkan semuanya lagi, Evelyn. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita."
Evelyn tersenyum tipis, meraih tangan Theodore. "Apapun keputusanmu, kita akan menghadapi ini bersama. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Kita bisa melewati ini juga."
Namun, meskipun Evelyn berusaha untuk tegar, ada keraguan yang menggelayuti pikirannya. Dia tahu bahwa ini adalah ujian besar bagi keluarga mereka. Mungkin, mereka tidak akan selalu berada dalam situasi yang nyaman, tapi yang lebih penting adalah bagaimana mereka akan saling mendukung dan mencintai dalam setiap keputusan yang mereka buat.
Hari-hari berikutnya, mereka lebih sering berdiskusi tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada. Meskipun tidak ada keputusan yang langsung diambil, Evelyn merasa lebih yakin bahwa apapun yang terjadi, mereka akan terus berjuang untuk menjaga keluarga mereka tetap utuh.
Sementara itu, Leony juga mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya. Setelah beberapa kali sesi percakapan yang lebih mendalam dengan Evelyn, Leony mulai berbicara lebih terbuka tentang perasaannya, terutama mengenai ketakutannya tentang perubahan besar dalam hidup mereka.