Bukan Sekadar Keluarga

Penulis N
Chapter #19

19

Beberapa hari setelah Theodore mengirim pesan, Evelyn mulai merasa sebuah kelegaan yang belum pernah ia rasakan dalam beberapa bulan terakhir. Setiap harinya, dia merasakan sedikit demi sedikit kecerahan dalam hidup mereka. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di benaknya: apakah dia dan Leony akan benar-benar siap saat Theodore pulang? Kehidupan mereka sudah berubah, dan meskipun Theodore akan kembali, segala sesuatu terasa sedikit berbeda.

Suatu sore, Evelyn memutuskan untuk berbicara dengan Leony setelah makan malam. Mereka duduk di ruang tamu, ditemani secangkir teh hangat, dan Evelyn memulai percakapan yang sudah lama ingin ia bicarakan.

"Leony, bagaimana perasaanmu tentang ayah yang akan kembali?" tanya Evelyn, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Leony menyenderkan punggung di kursi dan menatap ibunya. "Aku senang, Mom. Aku sangat merindukan Pa. Tapi... aku takut semuanya tidak akan seperti dulu."

Evelyn menghela napas. "Aku juga merasa sama. Kadang, meskipun kita ingin kembali ke waktu yang lebih baik, kita harus ingat bahwa waktu sudah mengubah banyak hal. Kita berubah, hidup kita berubah, dan kadang itu bisa membuat kita merasa asing, meskipun kita sudah dekat."

Leony mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata ibunya. "Aku cuma ingin semuanya berjalan seperti dulu, tanpa ada yang berubah."

Evelyn tersenyum, memeluk Leony dengan hangat. "Aku tahu, sayang. Aku juga ingin itu. Tapi kita harus bisa menerima perubahan ini bersama-sama. Itu yang akan membuat kita lebih kuat."

Keheningan menyelimuti mereka, keduanya terbenam dalam pemikiran masing-masing. Meskipun harapan dan rindu mengisi hati mereka, mereka tahu bahwa tantangan terbesar mereka adalah bagaimana kembali menyesuaikan diri sebagai sebuah keluarga utuh, setelah sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu.

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Theodore kembali, dan Evelyn bersama Leony menunggu di bandara. Ketika Theodore muncul dari pintu keluar, Leony berlari menghampirinya dengan lompatan kegembiraan, dan Theodore mengangkatnya tinggi-tinggi, seolah tak pernah ada jarak yang memisahkan mereka.

"Ayah!" seru Leony dengan mata berbinar.

Evelyn tersenyum melihat kebahagiaan anaknya, namun hatinya juga terasa campur aduk. Ini adalah saat yang membahagiakan, namun juga penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Semua harapan tentang kembalinya kehidupan yang "normal" mulai memenuhi benaknya, tapi Evelyn sadar bahwa hal itu mungkin tidak akan semudah yang dia bayangkan.

Setelah melepas rindu, mereka bertiga pulang bersama. Namun, sepanjang perjalanan, Evelyn merasakan adanya kekakuan dalam percakapan mereka. Ada jarak yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Perasaan rindu yang terpendam selama berbulan-bulan tampaknya belum sepenuhnya menghilang.

Saat tiba di rumah, Theodore mencoba membuat suasana lebih ringan dengan bercanda bersama Leony, namun Evelyn merasa masih ada sesuatu yang menggantung di antara mereka. Kehidupan mereka tidak lagi bisa kembali seperti semula, tetapi bagaimana mereka akan menyesuaikan diri dengan perubahan ini?

Malam itu, saat Leony sudah tidur, Evelyn dan Theodore duduk di ruang tamu bersama. Evelyn memulai percakapan yang sudah lama ingin dia ungkapkan.

"Ayah, aku senang kamu pulang. Tapi, aku rasa kita perlu berbicara tentang semua yang terjadi saat kamu pergi. Kita harus mencari cara untuk kembali menemukan keseimbangan, supaya keluarga kita tetap utuh."

Theodore menatap Evelyn, matanya penuh pengertian. "Aku tahu, Evelyn. Aku tidak ingin kamu dan Leony merasa terlupakan. Aku akan berusaha lebih hadir, lebih terbuka."

Evelyn menatapnya, menyadari bahwa meskipun perjalanan mereka penuh dengan keraguan dan ketidakpastian, ada satu hal yang tetap pasti: mereka berdua ingin sama-sama berjuang untuk keluarga mereka.

"Aku harap kita bisa mulai lagi, perlahan-lahan," ujar Evelyn dengan suara pelan.

Theodore mengangguk. "Kita akan bisa, Evelyn. Asalkan kita bersama-sama."

Hari-hari pertama setelah kembalinya Theodore cukup penuh dengan kebingungannya sendiri. Meskipun dia berusaha untuk kembali masuk ke dalam kehidupan keluarga dengan sebaik-baiknya, Evelyn dan Leony merasa sedikit canggung. Tentu saja, Theodore merasa kesulitan juga, seakan-akan ada celah di antara mereka yang tidak bisa dia jembatani begitu saja.

Evelyn memutuskan untuk mencoba mendekatkan diri lagi. Dia tahu bahwa jika mereka ingin mengatasi perasaan asing yang menyelimuti, mereka harus meluangkan waktu untuk berbicara dan mengenal kembali perasaan masing-masing.

Suatu sore, setelah makan malam, Evelyn mengajak Theodore untuk duduk di beranda rumah. Mereka berdua memandang langit yang berwarna oranye keemasan, tanda matahari mulai tenggelam.

"Bagaimana perasaanmu setelah kembali, Theodore?" tanya Evelyn dengan nada yang ringan, berharap bisa membuka percakapan.

Lihat selengkapnya