Bukan Sekadar Keluarga

Penulis N
Chapter #24

24

Hari-hari berlalu dengan cepat setelah Evelyn memutuskan untuk melanjutkan studinya. Meskipun waktu untuk keluarga semakin terbatas, mereka berusaha untuk menjaga keseimbangan. Evelyn pun mulai merasakan tantangan yang datang, terutama ketika harus membagi waktu antara kuliah, keluarga, dan kehidupan pribadinya.

Pada suatu pagi, setelah beberapa minggu kuliah, Evelyn duduk di meja makan bersama Leony, menikmati sarapan mereka yang sederhana. Leony melihat Evelyn dengan cermat, memperhatikan perubahan di wajahnya yang mulai terlihat lelah.

"Kamu baik-baik saja, Eva? Terlihat sedikit kelelahan," tanya Leony dengan khawatir.

Evelyn menyeka pelipisnya, merasa sedikit cemas. "Aku cuma merasa sedikit kewalahan. Kuliah, pekerjaan rumah, dan waktu untuk keluarga... Kadang-kadang rasanya nggak cukup."

Leony mengangguk. "Aku mengerti. Tapi ingat, kamu nggak perlu melakukannya semua sendirian. Kita ada di sini, kamu nggak sendirian, Eva."

Evelyn tersenyum kecil, merasa sedikit lebih lega. "Aku tahu. Terima kasih, Leon."

Namun, meski Leony memberi dukungan, Evelyn tahu bahwa ia harus lebih baik dalam mengelola waktu dan prioritas. Ia ingin agar keluarganya tetap menjadi fokus utama, meskipun kesibukan kuliah mengganggu.

Di tengah perjalanan kuliah yang semakin padat, Evelyn bertemu dengan seorang profesor yang memiliki gaya pengajaran yang berbeda dari yang lainnya. Profesor tersebut, Dr. Rendra, memiliki cara yang menarik dalam menjelaskan materi, dan membuat Evelyn merasa terinspirasi untuk belajar lebih keras. Tidak hanya itu, Dr. Rendra juga memberi Evelyn beberapa kesempatan untuk terlibat dalam proyek penelitian yang menarik.

Namun, semakin dalam Evelyn terlibat dalam penelitian tersebut, semakin ia merasa tekanan yang besar. Proyek tersebut membutuhkan waktu dan fokus penuh, yang membuatnya semakin sulit untuk menjaga keseimbangan antara akademik dan keluarganya.

Suatu malam, setelah menghabiskan berjam-jam di perpustakaan, Evelyn pulang ke rumah dengan kepala yang berat. Leony sedang duduk di ruang tamu, membaca buku. Evelyn duduk di sampingnya, meletakkan tas ranselnya dengan lesu.

Leony menatapnya dengan perhatian. "Kamu kelihatan lelah, Eva. Apa yang terjadi?"

Evelyn menghela napas panjang, merasakan berat yang terasa semakin menekan. "Aku merasa seperti terjebak. Aku ingin memberi yang terbaik di kuliah ini, tapi aku juga nggak mau kehilangan momen bersama keluarga. Aku merasa semuanya mulai runtuh, Leon."

Leony menatapnya dengan penuh pengertian. "Kamu nggak bisa memberi semuanya sekaligus, Eva. Kamu harus tahu kapan untuk memberi ruang untuk dirimu sendiri, dan kapan untuk beristirahat. Itu penting."

Evelyn diam sejenak, merenung. "Tapi, aku nggak mau mengecewakan siapapun. Aku nggak mau jadi orang yang memilih untuk menempatkan diri di atas keluarga atau teman-teman."

Leony menggenggam tangan Evelyn dengan lembut. "Kamu nggak akan mengecewakan siapa pun. Ini adalah perjalananmu, Eva. Kamu hanya perlu tahu kapan kamu bisa memberikan ruang untuk dirimu sendiri dan untuk orang lain. Kamu sudah berusaha keras, dan itu sudah cukup."

Evelyn merasa ada ketenangan dalam kata-kata Leony. Mungkin ia memang perlu sedikit melepaskan kontrol dan memberi lebih banyak ruang untuk keseimbangan. Ini bukan tentang memilih antara kuliah dan keluarga, tapi bagaimana ia bisa menyeimbangkan keduanya dengan bijak.

Keesokan harinya, Evelyn duduk bersama keluarganya di meja makan, memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Leony. Ia memutuskan untuk berbicara dengan keluarganya mengenai perasaannya dan tantangan yang ia hadapi.

"Aku merasa beberapa waktu belakangan ini, aku nggak bisa memberikan perhatian yang cukup pada kalian," kata Evelyn dengan suara pelan. "Kuliah dan pekerjaan rumah membuat aku terlalu sibuk dan terkadang aku merasa nggak adil pada kalian."

Ayah Evelyn menatapnya dengan bijaksana. "Eva, kami memahami itu. Kami bangga dengan keputusanmu untuk melanjutkan studi. Namun, kami juga ingin agar kamu tidak lupa untuk menjaga keseimbangan. Kami selalu ada untukmu, kamu nggak perlu khawatir."

Ibu Evelyn menambahkan dengan lembut, "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kami tahu kamu berusaha sebaik mungkin. Yang penting, kita tetap bersama sebagai keluarga, dan selalu ada untuk satu sama lain."

Evelyn merasa begitu diberkati bisa memiliki keluarga yang begitu pengertian. Perasaan cemas yang sempat mengganggunya sedikit demi sedikit mulai hilang. Memang, perjalanan hidup ini penuh dengan tantangan, tetapi dengan dukungan keluarga, ia merasa lebih kuat untuk terus maju.

Hari-hari ke depan semakin sibuk, namun Evelyn mulai belajar untuk lebih bijak dalam mengatur waktunya. Ia menyiapkan jadwal yang lebih teratur, memberi ruang untuk kuliah, keluarga, dan waktu untuk dirinya sendiri. Walaupun terkadang ia merasa lelah, ia tahu bahwa itu adalah bagian dari proses yang akan membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat.

Kini, Evelyn menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang menikmati perjalanan dan hubungan yang terjalin di sepanjang jalan. Dengan cinta dan dukungan keluarganya, ia tahu bahwa ia bisa menghadapi apa pun yang datang di hadapannya.

Seiring waktu, Evelyn semakin terbiasa dengan rutinitas barunya. Meskipun kesibukan kuliah tetap menguras energi, ia belajar bagaimana memprioritaskan hal-hal yang penting. Salah satu perubahan besar yang ia rasakan adalah bagaimana ia mulai lebih banyak meluangkan waktu untuk keluarga. Setelah hampir setiap hari terjebak dalam pekerjaan akademis, ia sadar betapa berharganya waktu bersama orang-orang terdekat.

Hari itu, setelah beberapa hari penuh tugas dan ujian, Evelyn memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Leony. Mereka memilih untuk berjalan-jalan di taman kota, menikmati udara segar dan bercakap-cakap ringan. Meskipun aktivitas mereka sederhana, itu adalah momen yang sangat berarti.

"Leon, kadang aku merasa seperti aku kehilangan banyak hal yang lebih penting hanya untuk mengejar sesuatu yang nggak pasti," kata Evelyn, saat mereka duduk di bangku taman yang teduh.

Leony menatapnya dengan lembut. "Kehilangan itu pasti terasa berat, Eva. Tapi, setiap langkah yang kamu ambil itu juga sebuah pelajaran, bukan? Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kamu sudah berusaha sebaik mungkin."

Lihat selengkapnya