“Gagal menjadi penulis. Kau bahkan gak bisa menghasilkan uang dari tulisanmu! Apa yang mau kau banggakan? Lima tahun! lima tahun kubayarkan uang kuliahmu tapi kau pilih menjadi penulis gadungan!”
Aku sudah mendengarnya ribuan kali saat kujelaskan bahwa aku pindah tempat tinggal bersama temanku atau ketika aku mengaku bahwa aku berhenti dari tempat kerjaku. Orangtuaku yang sangat berisik membahas jasanya yang ia habiskan untuk menyekolahkanku di Ilmu Komputer. Sayang sekali aku tak memiliki minat di sana. Aku hanya menghabiskan waktu selama lima tahun bekerja di bidang itu supaya mereka senang. Lalu aku mulai memberontak. Masa memberontak yang sangat telat. Aku berhenti kerja tanpa persetujuan mereka hingga mereka mengusirku bagaikan sampah masyarakat.
“Jual aja mobil itu, uangnya akan lebih, anggap aja bayar uang sekolahku selama ini. Setelah ini aku juga tidak peduli lagi. Kalian juga tidak usah peduli, aku tidak akan kembali ke rumah penuh dosa itu,” jawabku lantas mematikan panggilan tanpa menunggu balasan walau aku tahu orangtua itu akan berteriak untuk memaki diriku.
Aku memblokir keempat nomor keluargaku tanpa kupeduli apa akibatnya. Lagipula jika aku mati nanti, mereka tak akan datang ke pemakamanku nanti. Aku juga tak ingin dimakamkan.
Kuisap habis sigaret di tanganku sebelum akhirnya kembali mengetik dengan laptop tuaku. Saat ini bekerja sebagai penulis di majalah dengan rubrik kesenian bukanlah hal yang buruk. Aku semakin tenggelam dalam kalimat ‘tidak apa-apa tidak dibayar dahulu, kita kembangkan saja bersama.’ Meskipun sesekali kuharap diberikan hasil atas tulisanku yang membuat mereka semakin dikenal. Namun, pada akhirnya aku terjerat dalam pekerjaan yang tidak jelas. Aku mengambil pekerjaan yang tak memerlukan kontrak dan tidak membuat jasmaniku kelelahan. Setidaknya uang makan cukup untukku meskipun harus berpindah-pindah tempat untuk tinggal. Pasalnya rumah yang kubeli kini ditempati oleh kedua orangtuaku dan aku tak ingin ribut perkara itu.
“Deli!”
Aku menoleh ke asal suara. Sosok wanita yang sepuluh tahun lebih tua daripada diriku. Ia memelukku dari belakang dengan suaminya yang bersender pada dinding menatap interaksi kami berdua. Terkadang aku sering iseng untuk membuat pria itu cemburu dan selalu berhasil dengan cara yang berbeda-beda. Aku dan wanitanya itu sering menertawakan hal tersebut.
Wanita itu bernama Lia. Sosok yang kukagumi saat umurku masih dua puluh tahun. Aku mulai bekerja dengannya sejak umur segitu dan dia sangat membantuku hingga saat ini. Terkadang pekerjaanku juga datang darinya. Tempat yang kutinggali saat ini pun rumah lamanya saat ia masih baru menikah. Ia sudah membelinya, dan berkata bahwa tidak ada yang menempatinya untuk sementara waktu jadi aku bisa menempatinya dengan bebas.
“Deli, kamu tau gak? Majalah kita bakal dapat show di Jogja! Dan! Mereka akan mencetak 300 eksemplar secara gratis untuk distribusi. Kita bakal dapat uang dari sana!”