Puluhan panggilan masuk ke dalam teleponku. Membuatku melek secara langsung. Pukul Sembilan pagi dan aku bukanlah manusia yang sadar kapan aku akan bangun. Kulihat sekeliling kamar yang berantakan dengan kaleng-kaleng minuman penahan kantuk dan juga putung sigaret yang telah penuh di asbak.
Aku ketinggalan waktu.
Aku belum mengemas pakaianku.
Aku belum merapikan rumah ini.
Aku belum bersiap untuk keberangkatanku.
Tubuhku dengan cepat menyusun baju ke dalam ranselku, bahkan tak kuhitung jumlahnya. Yang kuinginkan jika semua kebutuhanku telah masuk ke dalam tasku, termasuk laptop zaman pra sejarah yang sangat penting untuk kebutuhan menulisku. Dengan mengabaikan kekotoran yang ada di dalam kamar itu, aku dengan buru-buru mengunci pintu rumah dan memesan ojek online untuk pergi ke bandara. Memang masih ada satu jam sebelum keberangkatan dan sudah seharusnya, yang menjadi maslaah adalah tiket pesawat sekarang tidak di tanganku dan aku harus bertemu dua pasutri itu untuk mendapatkannya.
Panggilan telepon terus masuk, tetapi aku hanya terus berkata kepada pengemudi ojek untuk tancap gas saja dengan cepat. Aku bahkan tidak menjawab telepon itu sampai aku benar-benar berada di bandara. Waktu yang kuhabiskan dalam perjalanan untuk sampai ke tempat mengudara ini.
“Kakak di mana? Aku udah di bandara,” ucapku dengan cepat menuju tempat pengantrian penunjukan tiket. Aku menunggu di situ. Menunggu siapa saja untuk datang dan membawaku masuk ke dalam.
Dari jauh, kulihat sosok wanita berambut pendek sebahu yang berlari ke arahku. Senyuman merekah di wajahnya bagaikan mebawa berita bahagia kepadaku. Dengan napas parau ia memberikan tiket kepadaku, yang baru saj akupikirkan padahal bisa diberikan secara digital.
“Ayok!”
Kak Lia menarik tanganku kembali ke dalam, menunjukkan tiket-tiket, mengecek isi tasku hingga kami sampai di ruang tunggu. Semua waktu kami habiskan sampai panggilan masuk ke dalam pesawat akhirnya langsung tiba. Dengan pakaian acak-acakanku, beberapa mata terus tertuju ke arahku, seolah tidak yakin jika aku akan menaiki pesawat bersama mereka. Padahal ini bukan yang pertama kalinya aku menaiki benda terbang.
“Maaf, tadi malam ngejar ilustrasi. Biar di Jogja aman dan fokus sama majalah aja,” jelasku, berusaha memberikan klarifikasi atas keterlambatan kesadaranku dari tidur lelap.
“Gak apa-apa. Yang penting sekarang kita bisa berangkat.”