Semua orang bilang jangan lewat rumah itu.
Kata mereka, bukan karena rumah itu angker, tapi karena rumah itu hidup. Dan dia benci dilirik. Benci disapa. Benci dilintasi. Bahkan oleh mereka yang cuma lewat.
Aku tak percaya. Waktu itu aku sedang buru-buru pulang. Jalanan kampung becek, jalur utama ditutup karena pohon tumbang. Tak ada pilihan lain. Jalan pintas satu-satunya hanya satu: melewati rumah tua beratap gonjong, berdiri sendiri di tengah pekarangan yang penuh ilalang dan lumpur busuk.
Rumah itu. Rumah yang tak boleh dilewati.
Aku hanya lewat. Tak sengaja menoleh ke jendela lantai dua. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk melihat... sesuatu berdiri di balik kaca. Wajahnya seperti dikuliti. Mata bolong. Tapi mulutnya tersenyum.
Malam itu, semuanya berubah.
Pertama, tubuhku mulai berbau bangkai. Bukan metafora. Benar-benar bau busuk. Bahkan rekan kerja di pabrik menyingkir. Di rumah, lalat selalu berkerumun. Padahal aku mandi. Pakai sabun. Bahkan siram tubuhku dengan alkohol. Tak mempan.
Kedua, suara-suara datang. Ketukan di kaca jendela dari dalam. Suara langkah kaki di plafon. Isakan tangis dari balik lemari. Setiap malam, aku terbangun dengan keringat dingin dan napas memburu. Dan suara itu — selalu kembali.
Ketiga, orang-orang di sekitarku mulai mati.
Pak Lurah yang sempat menasihatiku untuk tidak lewat sana — ditemukan tergantung di pohon belakang rumahku. Lidahnya hilang.
Dimas, tetanggaku yang suka main gitar, meninggal dalam tidurnya. Matanya terbuka. Di dinding kamarnya tertulis dengan darah: “Aku melihat dia berdiri di luar jendela. Dia pakai wajah Aldo.”
Lalu Mba Cu’ah, pemilik warung. Dia bilang aku mampir ke warungnya jam tiga pagi, hanya berdiri di pojok dan menatapnya tanpa bicara. Padahal aku tidur sepanjang malam itu, atau... kupikir begitu.
Aku mulai curiga. Apakah aku kerasukan? Apakah aku sleepwalking? Atau... ada yang menyamar menjadi aku?
Kupasang kamera di rumah. Di kamar tidur. Di depan pintu. Di dapur.
Tapi hasil rekaman malam itu membuatku muntah.
Jam 02.33 pagi, aku bangun dari tempat tidur. Tapi bukan aku. Wajahku kosong. Mataku hitam. Bibirku robek. Aku melangkah ke dapur, mengambil pisau, dan bicara pada bayangan di kaca:
"Sudah kukatakan, aku hanya lewat. Aku nggak maksud apa-apa."