Kriett…
Pintu kayu tua itu terbuka perlahan, mengerang seperti makhluk yang dipaksa bangkit dari tidur panjang. Aldo menahan napas. Tidak ada siapa-siapa di baliknya. Hanya gelap, dingin, dan suara-suara samar yang entah berasal dari mana.
Langkahnya maju satu, pelan. Cahaya dari senter ponselnya menggoyang, menyorot debu yang melayang di udara. Suasana rumah seolah berubah menjadi makhluk hidup—diam tapi memperhatikan.
Tok. Tok. Tok.
Terdengar ketukan lagi. Tapi bukan dari pintu.
Dari jendela.
Aldo menoleh cepat. Di kaca jendela itu, samar, terlihat jejak telapak tangan kecil dari dalam. Bukan dari luar. Ukurannya seperti tangan anak-anak. Tapi jendela itu tidak pernah terbuka, tidak pernah disentuh siapa pun.
Tubuhnya menegang. Perutnya mulas. Sesuatu sedang memperhatikannya. Ia bisa merasakannya.
Dengan langkah ragu, ia menuju kamar tidur utama. Lorong panjang itu terasa lebih sempit dari biasanya. Dinding seolah bergerak, mendekat pelan-pelan.
Di kamar, berdiri sebuah cermin tua besar, berdiri diam di sudut ruangan. Cerminnya penuh debu, sedikit retak di tepinya, tapi masih memantulkan bayangan.
Aldo melihat pantulannya. Tapi... ada yang aneh.
Refleksinya bergerak lambat. Tidak serempak. Seolah pantulan itu bukan dirinya.
Ia mengangkat tangan. Refleksi di cermin terlambat mengikuti. Setengah detik. Mungkin lebih.
Lalu…
Seorang wanita muncul di belakangnya dalam cermin.
Rambut panjang, wajah pucat, mata kosong. Gaun putihnya lusuh, kotor. Kepalanya miring tidak wajar.
Aldo membalikkan badan—tidak ada siapa pun.
Tapi saat kembali melihat ke cermin, wanita itu masih di sana. Lebih dekat. Hampir menyentuh bahunya.
Aldo mundur, panik. Ia menarik seprai tempat tidur dan melihat ke bawah kasur, berharap menemukan sesuatu—apa saja.
Yang ia temukan hanyalah sebuah buku kecil, usang dan lembap, terbungkus plastik yang sudah sobek.
Halaman depannya bertuliskan: “Untuk yang sempat tinggal… maafkan kami. Kami tidak bisa menyelamatkanmu. Kami pun tidak bisa menyelamatkan diri kami sendiri.”— L.S.
Dengan tangan gemetar, Aldo membuka halaman pertamanya. Tulisan tangan di dalamnya tergesa-gesa, nyaris tidak terbaca.
"Jangan bicara setelah jam dua malam."