Yasmin mematung melihat kepergian Jody yang begitu emosinal karena sikapnya, ia menatap sendu tangannya, entah apa yang sudah ia lakukan hingga tak bisa mengendalikan kemarahannya. Yasmin pun telah melakukan kesalahan fatal dengan menampar calon suaminya itu.
Yasmin terhenyak di kursi menangisi nasibnya, apa mungkin ia siap membangun rumah tangga dengan pemuda yang begitu egois seperti itu? Apa Jody bisa menerima kekurangannya kelak dan mengerti tentang kondisinya saat ini. Pertanyaan itu pun membuat Yasmin terisak, tak mungkin ia menolak permintaan orang tuanya sedangkan mereka menaruh harapan besar padanya.
"Mungkin semua ini adalah keputusan terbaik di hidup kamu Yasmin, dan kemarahan Jody sudah menjadi resiko buat kamu," Yasmin menyeka air matanya yang berlinang, sejenak Yasmin mencoba menenangkan pikirannya. Ucapan pedas Jody pun masih saja terngiang dibenaknya. Apa mungkin ia bisa menjadi istri yang baik buat Jody sedangkan cinta diantara mereka pun tak pernah ada.
Setetes cairan merah pekat kembali keluar dari hidung Yasmin, dalam situasi seperti ini rasa sakit kembali menjalarinya, entah sampai kapan cobaan berat ini akan mampu ia lewati. Hari pernikahannya yang semakin dekat pun membuat Yasmin terus memikirkannya.
"Aku terlalu sering merepotkan Jessica, aku gak mungkin terus membebani dia dengan masalah yang aku hadapi," lirih Yasmin saat ia mengurungkan niat untuk menghubungi adiknya itu, dalam kondisi seperti ini biasanya kehadiran Jessica lah yang bisa sedikit menghilangkan beban pikirannya, namun Yasmin meningat jika sang adik saat ini cukup sibuk dengan tugas kuliahnya di kampus.
Yasmin mengecek ponselnya, ada baiknya ia ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya kembali.
*
Rumah Sakit
Tak butuh waktu lama Yasmin segera menemui Ina teman kuliahnya yang sekarang berprofesi sebagai dokter yang merawatnya hampir satu tahun belakangan ini, selain Jessica adiknya, hanya gadis ini lah yang menjadi tumpuan dari beban yang menyiksanya dikala beban yang ia hadapi terasa berat.
Ina sangat memahami kondisi Yasmin, begitu juga kesehatannya yang terlihat menurun setelah banyaknya permasalahan yang membebaninya.
"Ina," Yasmin memasuki ruang kerja gadis itu.
"Yasmin, kamu sudah datang rupanya. Loh, kamu kok pucat? Ada apa Yasmin?" tanya Ina heran melihat keadaan sahabatnya itu yang tak biasanya.
"Na, aku...," jawab Yasmin tertahan.
"Kenapa Yasmin? Kamu cerita sama aku,"
Yasmin pun behambur ke pelukan Ina mengungkapkan kesedihannya, ia tak tahu kemana lagi harus mengadu selain pada gadis ini. Yasmin cukup lelah menahan sakit yang dirasakan setahun belakangan, tapi masalah yang dihadapinnya sekarang tentang pernikahannya yang menjadi beban buatnya.
"Kamu kenapa Yasmin?" tanya Ina, namun Yasmin masih diam. Helaan nafasnya yang terasa berat pun membuat Ina paham jika kondisi sahabatnya itu tidak baik-baik saja."Hmm biar aku cek dulu keadaan kamu ya," ujar gadis itu mulai memeriksa tubuh Yasmin.
"Aku capek Na, aku gak sanggup kayak gini terus. Kehadiran aku cuma menjadi beban buat orang lain, keadaan aku hanya menjadi masalah buat mereka," ujar Yasmin menyerah.
"Apa maksud kamu? Kamu jangan berbicara seperti itu Yasmin, masih banyak orang-orang yang membutuhkan kamu," ucap Ina mencoba menenangkan Yasmin yang terlihat pasrah. "Kamu ada masalah apa?" tanya Ina khawatir.
"Aku...aku akan menikah minggu depan Na,"
"Me...menikah, dengan siapa Yasmin?" tanya Ina masih tak percaya.
"Papa sudah sepakat untuk menjodohkan aku dengan anak dari klien bisnisnya, usianya 5 tahun lebih muda dari aku Na," ujar Yasmin terdengar pasrah.
"Apa?! Yasmin tapi kok bisa Om Tito mengambil keputusan itu. Apa keluarga dari calon suami kamu tahu keadaan kamu?" ujar Ina cukup kaget.
"Belum Na, itu yang menjadi beban buat aku. Apa mereka mau menerima kekurangan aku dan generima gadis yang menderita kanker hati seperti aku Na. Aku sudah minta supaya Mama dan Papa mengerti, apalagi calon suami aku sangat membenci aku," lirih Yasmin tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Ina pun memahami beban yang dihadapi Yasmin saat ini, ia mencoba menenangkan Yasmin yang terlihat begitu sedih karena keputusan itu.
"Yasmin kamu sabar, kamu pasti kuat menghadapi semuanya mungkin ini jalan terbaik yang diberikan Tuhan buat kamu. Sekuat apapun kamu menolak untuk gak menerima siapapun lagi di kehidupan kamu, ini adalah cara Tuhan buat menyayangi kamu karena kamu pantas bahagia Yasmin, kamu harus berpikiran positif,"
"Tapi gimana kalau mereka tau dengan keadaan aku sebenarnya Na, hidup aku gak akan lama lagi. Hal ini pasti akan mengecewakan keluarga calon suami aku,"
"Aku yakin di balik ini semua pasti ada rencana indah dari Tuhan. Rezeki, maut dan jodoh itu sudah ketentuan darinya, andai Tuhan mempertemukan kamu dengan jodoh kamu sekarang, kamu gak bisa menolak Yasmin. Mengenai penyakit kamu, kamu harus tetap optimis kalau kamu bisa sembuh, lihat harapan besar di wajah Jessica, Papa, dan Mama kamu, mereka sangat mengharapkan kamu sembuh. Yasmin kamu harus tetap berjuang dan bisa melawan penyakit kamu walau terkadang itu menyakitkan, sekarang kamu jangan sedih lagi ya aku sangat bahagia mendengar sahabat aku akan menikah. Kamu gak perlu khawatir, aku akan selalu berusaha membantu kamu supaya kamu cepat sembuh,"
"Tapi kemungkinan itu sangat kecil kan Na?"
"Gak ada yang gak mungkin kalau kamu mau berusaha, mungkin pengobatan itu sakit tapi semuanya bisa berhasil tergantung diri kamu sendiri yang penting kamu harus opitimis Yasmin," ucap Ina menyemangati Yasmin.
Yasmin sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Ina yang selalu ada untuk mensuppoortnya, ada baiknya ia melupakan sejenak semua bebannya dan menerima keputusan keluargannya saat ini.
*
Apartemen