Bukan Senja

Laras Frantika Yutama
Chapter #2

Bukan Amarah

.

.

.

Menyebalkan.

Tentu sangat menyebalkan bukan ketika apa yang diinginkan tidak dapat, terwujud.

Tentu sangat menyebalkan jika melihat seseorang yang terlihat bergerak tanpa usaha kini berada di atas awan dengan bantuan semestanya

Naif?

Itu bukan hal yang harus dipermasalahkan karena hal itu wajar.

Sangat wajar!

Manusia, sesabar apapun dan setegar apapun seseorang pasti sempat terpercik sedikit api panas di dalam hatinya rasa kesal, amarah, merasa tersakiti, merasa tidak adil akan banyak hal.

Itu semua wajar.

Yang menjadi perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya adalah cara mereka menyelesaikan masalah atau godaan tersebut.

Ada yang mungkin akan langsung melampiaskannya dengan marah, menangis atau bahkan dengan melempar satu persatu barang yang ada didekatnya dengan resiko dia akan menyesali perbuatannya karena telah merusak.

Merusak barang yang belum ia sadari nilainya saat marah dan merusak sebuah hubungan.

Ada pula orang yang lebih memilih menyelesaikannya dengan cara diam bukan berarti berdiri seperti patung melainkan melakukan sesuatu yang setidaknya lebih berguna dibandingkan meluap-luapkan amarah yang belum tentu akan menemukan dampak baik.

"aku tidak tahu bentuk apa ini"

Tian yang lebih memilih melampiaskan kekesalannya dengan melukis ini sedang memperhatikan hasil lukisan yang terlihat abstrak dengan gradasi warna hitam, biru tua dan sedikit goresan tinta warna hitam.

"tapi ini cukup bagus"

Pria itu mengembangkan senyumannya dengan sempurna, entah mengapa berbicara dengan lukisannya sendiri merupakan hal yang sangat mengasyikkan baginya.

"dimana aku harus memajangnya eumm"

Tian berjalan menuju ruangan kecil dekat kamarnya itu, ia memang memiliki ruangan khusus untuknya memajang hasil karyanya.

Ia mendapatkan ruangan itu tepat setelah orang tuanya mengetahui bahwa dirinya mendapatkan bakat tak terduga karena kejadian yang mengerikan.

Saat itu ayahnya datang menemuinya dan dengan semangat pria paruh baya itu menuntunnya dengan posisi mata yang tertutup dengan kain dan saat kain itu terlepas dapat terlihat dengan jelas pria tua dengan pose selamat datang itu menunjukkan sebuah ruangan kosong tanpa pernak-pernik apapun.

"whoamm, aku ngantuk sekali"

Sepertinya mata dari pria itu sudah mulai merasa bahwa waktu untuk tidur telah tiba.

Hanya perlu beberapa langkah untuk bisa mencapai tempat tidurnya lalu ia merebahkan tubuhnya di atas kasur nan empuk itu. Seperti biasa, ia akan tidur telentang kemudian menatap langit-langit atap kamarnya itu seraya melakukan perjalanan imajinasi yang terlihat sangat sulit jika ditembus dengan dunia nyata.

Memang sudah menjadi kebiasaan bagi pria itu untuk berimajinasi sebelum tidurnya. Kendatipun ia tidak menginginkannya. Ia selalu memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan masa depannya, menyusun satu persatu impian di dalam otaknya kemudian memikirkannya hingga ia tertidur

**

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 pagi dengan matahari yang sudah bersinar dengan cukup terang hingga menembus jendela milik Tian.

Biasan cahaya matahari yang cukup menyilaukan mata itu sukses membuat Tian mengernyitkan dahinya seraya membuka mata itu dengan perlahan.

Lihat selengkapnya