Bukan Takdir Cinta Kita

Nabila Rindra
Chapter #2

Cinta Diam-diam

Satu tahun lalu...

“Kamu dan dia sama-sama manusia. Apa lagi yang bikin kamu insecure?”

Hilya menghela napas. Baginya, kedua temannya tidak akan mengerti bagaimana perasaannya yang harus mencintai seseorang dengan status sosial yang jauh diatasnya.

“Masalahnya, dia itu anak Kyai. Seorang Gus. Lah aku cuma seorang santri biasa dan penulis. Mau dilihat dari segi manapun, aku gak akan cocok dengan Gus Danish.”

Erika, gadis berusia dua puluh dua tahun itu mendengus.

“Masalahnya itu aja? CUMA ITU?!”

“Masalahnya gak sekedar ‘CUMA’, Ka,” dengus Hilya. “Mau dilihat dari segi manapun, kami kebanting. Emang kamu gak ingat hadist? Carilah jodoh yang sekufu. Lah aku masih harus kerja keras kayak kuda demi bisa beli iPod sama keyboard, gak kayak beliau yang bisa beli iPad dan iPhone tanpa harus lembur sampai subuh.”

“Kamu lupa apa yang istimewa dari dirimu?” balas Erika sinis. “Kamu gak pernah pacaran. Di zaman modern ini, anak SD pun udah ada yang pacaran, sementara kamu yang udah mau umur dua puluh tahun masih sibuk ngebucinin pangeran dua dimensi. Gus Danish sendiri juga gak pernah pacaran. Pemahaman agamamu juga baik. Udahlah, gak usah insecure gitu. Dulu waktu masih di ponpes, kamu malah over-PD dan malu-maluin.”

“Kurang ajar!”

“Erika bener, Hil,” sela Natha, gadis berusia dua puluh tahun yang sejak tadi hanya menyimak. “Toh urusan jodoh kembalinya ke Tuhan kan? Kalau kamu memang suka Gus Danish, silahkan. Gak ada yang melarang kok. Justru bagus kalau kamu suka beliau, karena kami bisa melihat kalau kamu semakin berubah jadi sosok yang lebih baik setelah sering nonton kajian dan baca ilmu-ilmu yang di-share beliau.”

“Kayak yang aku bilang tadi, biasanya kamu gak tahu malu dan malah jadiin dia karakter utama di novelmu terus dijual. Kenapa sekarang malu? Bukannya urat malumu udah putus?” ejek Erika.

Hilya mengacungkan tinju. Sesekali dia melirik kedua temannya yang masih setia memandang di layar, lalu kembali mengetik.

“Udah update berapa bab hari ini?” tanya Erika.

“Tiga.”

“Terus yang lagi ditulis sekarang berapa bab?” Kali ini Natha bertanya.

“Dua.”

“Kamu mau mati pelan-pelan atau gimana?!”

Hilya mengembuskan napas, kemudian berkata, “Kalau gak gini, aku bakalan jedukin kepala lagi ke dinding. Aku harus punya kesibukan supaya bisa ngendaliin diri.”

“Itu yang kamu maksud ngendaliin diri?” tanya Erika sengit. “Nulis gila-gilaan, lebih banyak jajan daripada makan, begadang demi cuan, dan pandangan kosong kayak orang sakit jiwa. Kalau aja kami bukan temenmu, aku bakalan ngira kamu pasien yang punya penyakit depresi!”

“Kenyataannya memang begitu kan? Untung ada novel dan Gus Danish yang bikin aku tetep waras. Kalau enggak, mungkin aku udah mati sejak lama,” balas Hilya pelan.

Erika dan Natha diam dan saling tatap.

“Jadi intinya, cinta yang membuat kamu tetep bertahan hidup?” tanya Natha pelan.

“Iya,” balas Hilya. “Aku udah pernah terpuruk dan gak punya siapapun yang bisa kujadiin alasan buat bangkit. Bahkan diriku sendiri pun gak bisa jadi pegangan. Jadi ya aku nyari sosok sempurna yang bisa aku jadiin sumber semangatku.”

Lihat selengkapnya