Hilya menatap nanar email yang baru masuk itu, lalu mengantongi ponsel dan mengeraskan volume iPod.
Tiga bulan lalu, Hilya yang sudah nyaris sinting karena kelamaan tinggal di rumah memberanikan diri untuk mendaftar beasiswa ke Rusia. Semua persyaratan sudah dipenuhinya, bahkan kursus bahasa selama satu tahun full pun akan dibayarnya dan dia sudah menyiapkan uang untuk itu. Namun ibunya yang baik mengambil uangnya untuk menutup modal rumah makan milik keluarga mereka dan mengabaikan Hilya yang tidak bisa berkata-kata dengan hati terluka. Belum lagi notifikasi yang menyatakan kalau pengajuan beasiswanya ditolak, membuat hati Hilya semakin hancur.
‘Padahal gue kerja keras kayak kuda demi bikin satu skrip film, eh pas menang dan dapat hadiah malah impian gue kandas.’
Hal ini jugalah yang membuatnya mengobrol panjang lebar dengan Erika dan Natha tadi pagi. Erika memintanya untuk minggat kalau masih ingin hidup lama dan waras, sementara Natha hanya bisa menatap mereka dengan sorot mata campur aduk. Saat menatap Erika, gadis itu terlihat sebal meski setuju dengan semua kata-katanya, dan saat menatapnya, ekspresi Natha memperlihatkan rasa iba.
Untung pula, kedua adiknya tidak berada di sini sekarang.
“Hilya kenapa?”
“Gak apa-apa, Papa,” jawab Hilya datar. Dialihkannya lagi pandangan ke luar, memperhatikan ruko-ruko yang berderetan. Berbagai usahanya untuk tiba di sini teringat lagi di benaknya, mulai dari bekerja keras seperti kuda sampai subuh hingga mengamalkan berbagai doa-doa dan dzikir yang bisa mengabulkan semua hajatnya. Begitu inginnya Hilya untuk menyantri di pesantren tahfidz hingga dia lupa dengan kebutuhannya sendiri—membeli barang keinginannya sejak lama maupun memperhatikan kesehatannya.
Lamunan Hilya buyar saat ayahnya menyentuh lengannya. Diikutinya pria itu turun, lalu menatap gapura besar di hadapan mereka. Tertulis ‘Selamat Datang Di Desa Lirboyo’ jauh di atas kepala mereka.
‘Akhirnya aku sampai di sini,’ batin Hilya terharu. Diikutinya ayahnya yang sudah berjalan jauh di depannya. Dia memang tidak mau ditunggui karena tak mau membuat ayahnya marah dengan langkahnya yang kecil-kecil, dan dia juga tidak mau membuat ayahnya hilang selera untuk menemaninya dan akhirnya malah pulang.
Sambil mengalungkan headphone di leher, Hilya menatap sekelilingnya. Beberapa anak kecil yang tengah bermain berteriak-teriak memanggilnya, namun, Hilya hanya tersenyum. Beberapa santri putra yang baru kembali dari aula besar di seberang jalan terlihat berjalan dengan kitab dan buku terkepit di lengan. Rombongan yang lebih kecil berjalan lebih pelan sambil berdiskusi, sementara yang lainnya berjalan sendiri-sendiri dengan langkah cepat.
‘Aceasta este viața perfectă,’ batin Hilya kagum.
GUK!
Hilya tertegun begitu tiba di depan sebuah gerbang pesantren pertama. Tubuhnya menegang, dan sebelum gadis itu sempat bereaksi, sosok berkaki empat itu mengejarnya.
“Tolong!”
Hilya menoleh ke belakang. Anjing besar berwarna hitam itu terus mengejarnya. Beberapa santri yang baru keluar terkejut, namun, mereka tidak berani mendekat dan terus menatap Hilya yang berusaha memanjat dinding tinggi.
“Tolong!” teriak Hilya lagi seraya terisak. Mimpi buruk yang selalu datang padanya terbayang lagi di depan mata; digigit anjing hingga kakinya putus sebelah. Headphone-nya malah sudah berpindah posisi hingga mengarah ke belakang.
Di aula, Danish yang baru keluar bersama Hasan dan teman-temannya terkejut melihat sosok yang masih berusaha memanjat dinding. Ditepuknya bahu salah satu santri dan bertanya, “Itu kenapa?”
“Dikejar anjing, Gus.”
“Tolong saya, Hasan. Dek, kamu bantu usir anjingnya. Biar saya yang bantu dia.” Danish menunjuk Hilya yang kali ini berhasil memanjat dinding dan duduk diatasnya.