Tidak ada yang bisa melarang Danish jika sudah mempunyai keinginan. Bahkan ekspresi bosan Narayya pun tidak menggugahnya untuk berhenti.
“Mau sampai kapan, Mas?”
“Sampai Mas tahu siapa pemilik barang ini. Kalau dia betulan diterima, Mas mau balikin.” Danish menjawab tanpa menoleh.
Lelah, Danish lalu meletakkan iPod di meja dan menatapnya. Daya baterai benda itu masih di angka delapan puluh persen—Danish menyalakannya karena berpikir di benda tersebut pasti ada foto pemiliknya atau setidaknya foto kontak di dalamnya. Namun, tidak ada apa-apa, kecuali foto-foto cuplikan novel. Bahkan slide mp3 bertuliskan ‘Upside Down – Andra Gogan’ pun bergerak-gerak tanpa suara.
“Sini aku periksa.”
“Gak boleh ngotak-atik barang orang, Ray,” tegur Salma yang baru tiba.
“Aku bukan ngotak-atik, tapi nyari tahu siapa yang punya.” Narayya menjawab datar. Jarinya terus memencet tombol hingga mendadak berhenti.
“Kenapa? Ketemu?” tanya Adnan.
Bukannya menjawab, Narayya malah menatap Danish.
“Ada cuplikan novelnya Pecel Lele, Mas.”
“Emang Pecel Lele bisa nulis novel?” tanya Adnan kaget.
“Itu nama pena, Mas,” balas Narayya galak. Dia kembali menoleh pada Danish dan berkata, “Nih. Ada yang judulnya Death in Syakhl Kholat, terus Senyumlah, Cik Mek Molek. Ini ....”
Narayya tertegun. Danish yang menyadarinya berkata perlahan, “Itu semua kan cerita kesukaanmu.”
Narayya mengangguk.
“Mas sempet lihat mukanya?”
Danish menggeleng.
“Dia nunduk terus,” jawabnya pelan.
“Ya udah. Kalau memang rezeki anak itu, dia pasti bakalan balik lagi. Dan kalau udah balik, nanti Mas Danish bisa kembaliin ke dia.”
“Mas gak tahu namanya, Sal.”
“Memangnya gak sempet kenalan?” tanya Adnan.
Danish menggeleng lagi.
“Tapi dia tadi sempet nanya arah ke pesantren At Taubah.”
“Ya udah. Nanti kalau udah masa orientasi santri baru, kita ke sana,” hibur Narayya. Diletakkannya iPod di meja dan kembali mengerjakan tugas kitab kuningnya.