Bukan Takdir Cinta Kita

Nabila Rindra
Chapter #6

Histeria

“JADI KAMU KETEMU GUS DANISH?!”



Hilya mengangguk kuat-kuat. Saat itu jam sepuluh malam. Hilya bahkan sudah mengunci pintu rapat-rapat dan memakai earphone agar suara cempreng Natha tidak terdengar hingga ke luar.



Spill dong,” cecar Erika. Satu gadis lain bernama Zelda mengangguk penuh semangat.


Hilya lalu menceritakan tentang kedatangannya ke Lirboyo tadi siang. Dimulai dari dirinya yang sibuk memelototi iPod hingga anjing hitam itu datang dan mengejarnya.



“HUAHAHAHAHA!”



“Gak usah ketawa kalian!” semprot Hilya tak senang.



“Kamu norak soalnya,” gelak Zelda. “Goblok ya kamu! Ngapain kamu jerit-jerit kayak perawan mau malam pertama gitu? Tinggal lemparin batu aja padahal.”



“Aku kalo lihat anjing emang langsung blank. Tambah blank waktu berdiri di depannya.”



“Terus dia bilang apa?” tanya Erika penasaran.



“Cuma nanya aku mau kemana. Pas aku udah jalan, kedengaran beliau teriak nanyain nama. Tapi aku gak jawab.”



“Yah, bego,” cerca Natha.



Hilya mendelik.



“Ya masa aku mau balas teriak? Atau nyamperin balik dan nyebutin nama? Lagian ada temen-temennya.”



Ketiga gadis itu terdiam.



By the way, aku hampir joget-joget salsa di depannya tadi.”



“Kalo itu aku gak heran. Komentarmu di Instagram dibales dia aja udah di-SS terus disematkan di Twitter. Dasar norak!” Sekali lagi Erika mengatainya.



Hilya tertawa lagi.



“Rasa cinta ini makin tidak bisa dicegah,” dendang Hilya.



“Kayak dia mau aja sama kamu,” balas Zelda kejam.



“Zel, coba deh kapan-kapan kamu gadoin boncabe. Nah, begitu tuh rasa dari ucapanmu barusan,” balas Hilya sengit.



“Biarin, toh cuma buat bucin tolol alias kamu doang.” Zelda menyahut tak mau kalah.



Kali ini Hilya tidak segan-segan mengacungkan jari tengah.



“Gimana kalau misalnya kalian ketemu, terus takdir terus mempertemukan kalian dan akhirnya berjodoh?”



Hilya mengangkat tangan dan berjingkat menuju pintu, lalu mengintip ke luar. Tidak ada siapapun. Lorong menuju tangga juga gelap. Gadis itu lalu kembali ke meja belajar dan meluruskan ponsel.



“Bayangin kalau kami menikah dan dia dapat mertua kayak orang tuaku,” ucap Hilya pelan. “Aku yang gak tega. Dia orang baik.”



“Jadi pikiranmu tentang masa depan udah sejauh itu?”



Hilya mengangguk.



“Dia berhak dapat perempuan baik-baik.”



“Kamu perempuan baik-baik, Hil!” seru Zelda. “Kalau orang tuamu kayak gitu, ya udah. Toh dia masih punya rumah dan keluarga di Kediri kan?”



“Itu juga kalau keluarganya setuju kalau seandainya suatu hari nanti kami betulan nikah.”



“Ah, aku yakin ibunya setuju punya menantu kayak kamu,” balas Natha enteng.



Hilya tidak menjawab lagi.



“PD aja kenapa? Kalau memang betulan dia jodohmu, pasti kalian bakalan dideketin.” Zelda berhenti sejenak untuk minum, lalu melanjutkan, “Dan hatimu bakalan merasa tenang setiap denger suaranya.”



“Aku kalo denger kajian emang selalu tenang.”



“Maksudku, ada perasaan damai di hatimu. Rasanya kayak pulang ke rumah.”



Hilya diam, tidak bisa membantah karena ucapan Zelda memang seratus persen benar.



“Aku bener?” tanya Zelda syok.



Hilya mengedikkan bahu.



“Eh, anjir! Aku cuma bercanda!”



“Tapi yang kamu bilang itu betulan,” balas Hilya pelan. “Salah satu ciri kalau dia jodoh kita adalah merasakan ketenangan setiap bersamanya.”



“Ta-tapi kan kamu belum pernah deketan sama dia,” balas Zelda gagap.



“Aku udah pernah ngerasain sama beberapa cowok, dan bersama mereka semua bikin aku jadi pengen melarikan diri. Beda sama beliau.”



Mereka berempat termenung.



“Aku kok jadi merinding sih?” gumam Zelda. “Harusnya aku jaga mulut tadi. Gak nyangka aku malah bikin kamu tambah PD.”



“Zelda tolol,” gelak Natha.



Hilya kembali tertawa.



“Oke. Back to topic. Katamu, pesantren tujuanmu itu punya keluarga kakak iparnya?”



Hilya mengiyakan.

Lihat selengkapnya