Bukan Tidak Hanya Belum

tin lovatin
Chapter #1

Bab Satu

Selama ini aku keliru. Tak seharusnya mengembuskan napas lega pada waktu itu, mengira bahwa segalanya telah usai setelah memutuskan berhenti bekerja. Gara-gara satu masalah saja: aku tak bisa, ralat sedikit, maksudnya belum bisa mengendarai motor.

Hampir tiga tahun aku bekerja di salah satu Taman Kanak-kanak, menjadi seorang pengajar. Kurang lebih sekitar sepuluh menit berangkat dari rumah ke sekolah. Awalnya tak ada masalah. Suamiku bersedia mengantar dan menjemput dari sekolah. Hari demi hari, bulan pun berganti bulan, mungkin suamiku lelah, jadi dia hanya mengantarkan saja. Aku pun mulai mencari cara pulang dari sekolah ke rumah. Salah seorang teman dekat adik lelakiku, aku pun sudah menganggapnya seperti adik sendiri, bersedia menjemput. Namun, tiap kali ingin memberikan uang sebagai pengganti bensin, dia selalu menolak. Aku jadi tak enak hati, tak mau berhutang budi. Selanjutnya aku menebeng dengan salah satu rekan kerja. Diluar dugaan, baru dua kali nebeng, percakapan kami berdua di atas motor membuatku menarik napas panjang dan geleng-geleng kepala. 

"Suamiku bilang gini, Yuk," katanya, menggerakkan kepala ke kanan sejenak. Aku pun menajamkan pendengaran, takut tak dengar di atas motor. "Baguslah kalau Ayuk pulangnya sama aku, paling cuma mutar sebentar." Mendengar ucapannya aku lega, ya hanya awalnya. Sebab kalimat yang dia ucapkan selanjutnya, menyebabkan sesuatu, seperti ada yang tergores dalam hati. "Terus suamiku bilang lagi 'wah, aku bakalan dapat gaji sebulan tuh dari Ayuk'. Mungkin sih suamiku hanya bercanda."

Dengan kening berkerut, aku bermonolog dalam hati. Gaji sebulan? Maksudnya nebeng ini tidak cuma-cuma? Kayak ojek: aku harus bayar?

Tak perlu dia bicara begitu, apalagi pakai bawa-bawa suami. Aku tahu diri. Pasti kuganti uang bensinnya. Sebenarnya kami searah, hanya saja dia memutar sebentar, tak sampai dua menit ke rumah kontrakan. Tak akan habis bensin setengah liter. Sejak hari itu aku pun menolak tiap dia mengajak pulang bareng.

Lain lagi cerita saat nebeng dengan rekan kerja lainnya. Aku sering mengganti uang bensin dan dia pun tak pernah menolak. Kami juga searah, hanya memutar sebentar ke tempat tinggalku. Akan tetapi, pernah sekali atau dua kali telat mengganti uang bensin--uang hanya cukup untuk kebutuhan rumah--dia malah menyindir. Juga keluhan-keluhannya itu, yang selalu saja dilontarkan, kadang membuatku pun ikut mengeluh, tak bersemangat kerja. Benar-benar tipe manusia yang memberikan dampak negatif pada orang-orang di sekitarnya.

"Kantong kering, Yuk," katanya, "Mana getah karet murah, bahan pokok naik, suami terus-terusan beli rokok, anak minta jajan pula. Pusing pokoknya lah, Yuk. Aku ingin sekali berhenti ngajar. Honornya kecil, cukup buat ganti bensin sebulan. Sama sekali nggak bisa bantu suami. Beli pulsa aja sulit, apalagi mau beli bedak."

Benar, katanya itu. Apalagi bagi seorang wanita yang sudah menikah dan memiliki anak. Akan tetapi, lain lagi yang kupikirkan: bukan hanya kita yang begitu. Guru honorer lain pun sama. Untung-untung bisa balik uang bensin.

Tak cocok dengan dua rekan kerja, aku pun memutuskan menggunakan becak motor, yang memang milik salah satu tetangga. Itu atas saran dari suami. Lama-lama berangkat kerja pun menggunakan becak langganan itu. Namun, ketenangan berakhir ketika si tukang becak jatuh sakit. Beliau struk. Aku kembali sibuk memikirkan 'duh, berangkat ke sekolah sama siapa? Duh, pulangnya juga nebeng siapa?'. Ada-ada saja rintangannya.

Aku kembali diantar-jemput oleh suami. Namun, makin hari dia kerapkali naik darah hanya gara-gara membangunkannya di pagi hari. Walau bukan mengantarkanku ke tempat kerja, bukankah seharusnya dia pun harus bangun di subuh hari? Di siang harinya dia bekerja, menjadi sopir pribadi, lalu sebelum tengah hari harus menjemputku. Pulangnya sudah senja. Seharusnya malam digunakan untuk beristirahat agar paginya bisa bangun lebih awal. Akan tetapi, malam hari malah dia gunakan untuk berkumpul dengan teman-teman, bermain domino, sampai lewat tengah malam.

Dua hari sebelum memutuskan berhenti bekerja, aku menimbang-nimbang betul atau tidaknya keputusan itu. Apalagi beberapa hari sebelum mengundurkan diri, suami selalu saja marah dalam mobil di perjalanan. Matanya merah akibat kurang tidur. Suka menekan klakson tiap kali ada kendaraan di depan yang geraknya macam keong. Bahkan, dia pernah berteriak pada pengendara lain hanya gara-gara hal sepele.

"Besok-besok bawalah motor sendiri!" katanya padaku; ketus.

Aku beralih menatap ke kaca samping, melihat beberapa pengendara motor yang sabar melintasi hujan rintik-rintik di pagi hari. Aku iri pada mereka. Kutahan sesak dalam dada. Impianku mulai luruh perlahan. Hal yang benar-benar kukecewakan, saat diantar oleh suami ke sekolah di hari terakhir, tak ada dukungan sama sekali darinya.

"Kalau kamu mau berhenti, ya ... berhenti." Dia mengucapkan itu seolah-olah terbebas, terlepas dari belenggu. Bukan kalimat lain yang mendukung, misalnya 'jangan dulu berhenti. Pikirkanlah masak-masak. Bukankah menjadi seorang guru adalah satu di antara dua impian kamu sejak kecil? Lagipula, zaman sekarang susah mencari pekerjaan. Soal gaji, bukan hanya kamu yang gajinya segitu. Banyak sekali guru honorer lain yang bernasib sama. Masalah antar-jemput, biar urusan aku. Tapi kamu harus belajar lagi mengendarai motor, sampai benar-benar berani membawa motor ke jalan raya." Ah, itu hanya kata demi kata yang kurangkai sendiri dalam kepala.

Lihat selengkapnya