Pagi itu Elena bersiap. Ia mau tidak mau telah menyetujui perjodohan antara dirinya dengan Arvan, yang entah siapa pria itu, Elena pun tidak mengenalnya.
Gadis itu berdiri dengan pikiran yang rumit. Terlihat bingung dengan kenyataan yang sebentar lagi akan dia lewati.
Manakah yang harus ia pilih? Menyusun kata-kata untuk menolak perjodohan, atau menyiapkan hati untuk duduk berhadapan dengan pria yang akan menjadi suaminya, tanpa cinta dan tanpa harapan.
Elena tahu, pilihan pertama tidak mungkin diambil. Karena kini ia dan ibunya telah kembali tinggal di rumah yang telah ditebus oleh Arvan. Ayahnya juga telah mendapatkan perawatan intensif, yang lagi-lagi semua atas bantuan Arvan.
Siapa pria ini sebenarnya?
Dan mengapa aku?
----------------
Pertemuan itu diatur di sebuah restoran mewah di pusat kota. Langit mendung, dan angin sore menandakan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Elena datang dengan pakaian sederhana, kemeja cream dan rok kain hitam dihiasi renda di ujung pinggangnya.
Satu-satunya hal yang membuatnya tampak seperti ‘calon istri’ hanyalah jepit rambut hitam tipis yang ia kenakan agar terlihat rapi.
Saat masuk, Elena terkesiap. Pria itu ternyata sudah duduk di dalam ruangan VIP dan menunggu nya.
Arvan Ramaditya.
Dingin, rapi, tenang, dan asing.
Kesan pertama yang ada dibenak Elena.
Dia...adalah Arvan?
Mengapa rasanya sangat...tidak nyaman?
Seperti terintimidasi hanya dengan melihat matanya.
Pria itu tampan, berkulit putih dan alis yang tebal. Rahangnya tegas dan dia memiliki tatapan mata tajam, yang mampu menghantam siapa saja tanpa harus bersuara.
"Silakan duduk," ucap Arvan datar, tanpa senyum.
Elena duduk perlahan dan menjaga jarak. Detak jantungnya berdentam, tapi wajahnya dipaksa untuk tetap tenang.
Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan, terutama di hadapan pria yang ingin membelinya dengan sebuah pernikahan.