Hari itu tiba. Hari yang seharusnya menjadi momen bahagia Elena, tapi kini menjadi peristiwa yang tak ingin ia lewati.
Langit gelap sejak pagi, seolah ikut berkabung atas pernikahan yang dipaksakan ini.
Elena menatap bayangannya di cermin kamar rias. Gaun putih sederhana yang dikenakan tak mampu menutupi wajahnya yang pucat.
Tak ada make-up tebal, tak ada senyum memikat. Hanya wajah seorang perempuan yang baru saja menjual dirinya demi keluarga.
Elena menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. Getir dan penuh kesedihan.
“Sudah siap, Nona?” tanya perias pelan.
Elena mengangguk tanpa kata. Ia tahu kalau dirinya bukan pengantin yang bahagia. Tak ada senyuman dan teman-teman yang tertawa di luar ruangan seperti pengantin pada umumnya.
Elena hanya berjalan pelan menuju tempat yang telah disediakan Arvan.
Baiklah, mulai hari ini kamu akan menjadi istri orang, Elena.
'Jangan pikirkan apapun, anggap saja kau sedang tinggal di asrama bersama Bu Diana yang galak itu' batin Elena menghibur diri.
Pernikahan berlangsung di aula kecil milik keluarga Arvan. Tidak ada pesta mewah seperti yang digambarkan dalam dongeng. Hanya orang tua, saksi, dan penghulu. Bahkan pengiring pengantin pun tak ada. Semua serba sunyi.
Saat Arvan datang, ia pun mengenakan setelan hitam polos, wajahnya tetap seperti biasa, datar dan tanpa ekspresi. Hanya sekali tatapan mata mereka bertemu, dan itu pun berlalu cepat.
Ijab kabul berlangsung singkat. Hanya satu tarikan napas, seolah Arvan telah menghafalkannya dari lama. Padahal mereka baru saja bertemu .
Satu akad. Satu kalimat dari penghulu. Dan semuanya selesai.
Arvan menatap Elena sejenak. Setelah sah menjadi suaminya, tatapan Arvan masih sama. Dingin dan tanpa ekspresi.
Elena mencoba membuang pandangannya ke tempat lain. Ditatap Arvan saat statusnya telah menjadi istri, mengapa rasanya berbeda?