Jam dinding yang terpasang di teras sekolah menunjukkan pukul 11 siang. Suasana halaman depan dari Sekolah Dasar Cendhika terlihat sepi, karena waktu penjemputan untuk murid kelas 1 sampai 4 telah usai. Dari tempat itu, hanya terdengar suara gemuruh dari para murid kelas 5 dan 6 yang bersaut-sautan dari dalam kelas.
Di antara halaman depan sekolah yang sepi itu, seorang anak lelaki berumur 6 tahun sedang bersandar sendirian di tiang teras sekolahan. Wajahnya melas sekali, tampak takut, poninya pun terlihat berantakan, bahkan sesekali anak tersebut jongkok sambil bermain mobil-mobilan kecil yang ia bawa ke sekolah. Dengan melirik ke kanan dan kirinya, Danadhyaksa masih menunggu Papanya untuk datang menjemput.
Papa kayaknya masih sibuk ya? Kok belum datang? Dana sendirian di sini Pa.
Saat yang sama, Bu Nita, yang merupakan guru Bahasa Indonesia di sekolah itu, melewati lobi dan melihat Dana yang sedang duduk bertekuk lutut sendirian di depan teras sekolah. Bu Nita yang berparas cantik dengan rambut yang terikat di belakang itu langsung menghampiri dan segera menepuk lembut ke arah bahunya Dana.
"Dana? Kok kamu belum pulang? Masih menunggu jemputan?"
Dengan wajah yang memucat, Dana pun hanya merespon dengan menganggukkan kepalanya.
Melihat itu, Bu Nita pun duduk bertekuk lutut agar sejajar dengan Dana. "Ya ampun kasihan, memang biasanya yang jemput siapa nak? Udah di kabarin sama yang jemput?"
Dana yang masih tampak pucat pun menjawab, "Mang U-ujang Bu, tapi mulai hari ini, kata Papa ... biar Papa yang jemput Dana."
Bu Nita menghela napasnya dan menatap kasihan terhadap Dana. "Hmm ... Lalu Papa kamu sudah ngabarin kamu lagi?"
Dana hanya diam menundukkan kepalanya.
Bu Nita yang melihat ekspresi itu, langsung berdiri dan merangkul bahu Dana kembali. "Ya sudah, ikut Bu Nita saja yuk ke kantor. Kita nunggu di sana saja, dari pada kamu sendirian loh di sini."
Dengan polosnya, Dana pun menahan dorongan Bu Nita dan berkata, "Maaf Bu Nita, Dana takut mengganggu aktivitas Ibu. Lagian Ibu kan masih ngajar."
Bu Nita pun tersenyum. "Hmm? Nggak kok Dana, Bu Nita kan siang ini nggak ada jadwal buat ngajar. Jadi temenin Bu Nita di kantor aja yuk."
Dengan sedikit rasa takut, akhirnya Dana pun mengikuti dorongan dari rangkulan Bu Nita dan segera berjalan bersama menuju ke pintu masuk sekolahan.
Namun saat mereka mulai berjalan memasuki lobi sekolah, terdengar suara klakson dari depan teras sekolahan. Tampak mobilnya Darma berhenti di depan Teras sekolahan dan Darma pun bergegas keluar dari mobilnya.
"Dana!"
Dana yang selalu menundukkan kepalanya, segera menoleh ke arah suara panggilan itu. Dengan sekejap, Dana tampak gembira sekali dan segera ingin mendatangi Papanya.
"Papa!"
Darma berjalan menuju Dana yang sedang berlari ke arah dia. Setelah itu, Darma pun langsung bertekuk lutut dan memegang kedua bahunya Dana. Tampak dari dalam lobi sekolah, Bu Nita tersenyum melihat Dana yang sudah kembali ceria.
"Keren! Jagoan Papa sudah pulang, gimana sekolahmu hari ini Dan?" tanya Darma.
Dari ekspresi bahagia, tiba-tiba Dana tertegun. Darma yang melihat itu pun langsung tersenyum dan mengusapkan telapak tangannya ke rambut Dana.
"Hei Dana, kamu kenapa? Kok kayak pucet banget gitu?"
Karena Dana masih terdiam, Bu Nita yang sempat menemaninya, datang menghampiri dan ikut menjawab pertanyaan Darma. "Semenjak jam 10 pagi tadi, Dana nungguin Papahnya di depan sini pak. Duduk sendirian dan diam aja, Ibu tadi sempat khawatir kalo dia kenapa-kenapa. Tapi untung Papah segera datang ya Dana ya? ...."
Darma langsung melihat Dana dengan penuh rasa simpati.
Aku tahu Dana pasti sudah menunggu lama di sini, seharusnya tadi aku langsung menjemput Dana dan membahas soal kerjaan siangan saja. Saat ini dia tampak pucat sekali, pasti dari tadi merasa kesepian. Aku pernah merasakan perasaan ini ... apa aku bisa menjadi Papa yang baik kalo begini?
"... Dia tadi udah puceeet banget, akhirnya ibu berniat mau ajak dia nunggu di ruang guru tadi pak," lanjut Bu Nita.
"Oh gitu ya? Tapi tadi kamu nggak kenapa-kenapa kan Dan?" tanya Darma dengan lembutnya ke Dana.
Dana pun mengubah ekspresinya menjadi senyum yang tampak dipaksakan dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak Pah. Aku kan laki-laki yang kuat!"
"Kereen! Eh tapi—" Darma langsung memeluk Dana secara erat sambil mengelus punggungnya Dana. "—Papa minta maaf ya. Papa tahu, kamu udah nunggu lamaaa banget di sini. Papa juga paham dengan perasaan kamu tadi. Maafin Papa ya?"
Mendengar itu, Dana sempat terdiam heran melihat Papanya yang sedikit berbeda dari biasanya. "Papa kenapa minta maaf sampai meluk Dana seperti ini?"
Iya, bahkan aku sendiri selama ini nggak pernah menunjukkan perasaan yang berlebih untuk menyayangi Dana. Yang aku ajarkan ke dia hanyalah bagaimana cara dia menjadi seorang lelaki yang mandiri dan kuat. Aku takut nantinya, Dana nggak mengerti apa itu rasa kasih sayang.
"Iya ya? Eh, tapi kamu tahu nggak Dan? Pelukan sederhana itu sebenarnya punya kekuatan loh!" seru Darma sambil melepas pelukannya.
Dana pun melihat Papanya dengan penuh rasa penasaran. "Kekuatan?"
Sambil memegang pundak Dana, Darma berucap, "Iya, jadi pelukan itu ... sebenarnya dapat menenangkan hati kita secara ajaib, serta menunjukkan bentuk rasa kasih sayang kita terhadap orang, kan Papa sayang sama Dana. Lupa ya?"
Dana yang mendengar itu pun tersenyum dan membuka kembali tangannya lebar-lebar. "Coba lagi!"
"Hahaha ... sini-sini," Darma pun kembali memeluk Dana.
Bu Nita yang melihat itu pun ikut tertawa. "Hahaha...."
"Gimana, beda kan?" tanya Darma sambil melepaskan pelukannya kembali.
Dana menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Darma pun menepuk pundak Dana. "Eh, gimana kalo kita sekarang cari makan siang aja? Di warung langganan Papa dulu waktu sekolah? Gimana? Yuk!"
Dana langsung tersenyum lebar. "Ayuk!"