Masa kampanye pemilukada bagi Fajar adalah bagian tubuh paling absurd dari demokrasi. Tiba-tiba saja wajah-wajah asing yang tidak pernah Fajar kenal sebelumnya akan muncul pada spanduk, poster dan baliho di seluruh penjuru kampung 10 Ilir. Sesekali sosok-sosok berpakaian necis itu juga mengintip dari kalender yang digantung Nyai Yani di ruang tengah, tersenyum lewat punggung kaos murahan yang dikenakan tukang becak, atau mengacungkan dua jari di tiang-tiang listrik dari balik tempelan iklan Badut Ultah.
Absurdisme tersebut berlanjut setelah masa kampanye berakhir. Sosok-sosok pemilik wajah-wajah terpelajar tadi menghilang entah kemana, sementara segala material kampanye mereka berubah menjadi sampah tekstil. Beberapa spanduk bergambar burung atau bintang masih menemui nasib cukup baik sebagai tirai pembatas warung model Cek Agus. Sisanya, hanyut terbawa hujan, lalu menyumbat gorong-gorong yang menganga di bawah jembatan Lorong Kemang. Padahal tanpa bantuan sampah-sampah tersebut, banjir di 10 Ilir pun biasanya sudah cukup parah.
“Banjir terus. Apodio gawe pemerintah?” gerutu Nyai Yani di suatu pagi. Air sudah meluap naik hingga ke anak tangga kedua rumah Kemas Fuadi. Penghuni kontrakan di kolong rumah itu terpaksa mengungsikan diri ke tempat lain. Fajar hampir saja berpihak pada Nyai Yani, jika dia tidak ingat Nyai Yani juga selama ini rajin membuang sampah ke dam di belakang rumah.
Fajar sepakat dengan Soe Hok Gie jika politik adalah sekotor-kotornya lumpur—pikiran ini muncul saat dia berjalan melewati genangan lumpur yang terendam banjir di halaman rumahnya. Perbuatan tolol menceburkan diri ke dalam lumpur itu hanya legal jika seseorang sudah tidak punya pilihan lagi.
Pagi itu saat Fajar menginjakkan kaki di halaman SMA Kebangsaan, perasaan absurd itu kembali timbul seperti nostalgia. Selembar spanduk besar bergambar wajah Akmal, entah sejak kapan, kini terpampang di salah satu sisi gedung sekolahan, tergerai jatuh dari depan sekretariat Pramuka di lantai 3. Foto Akmal dalam ukuran raksasa menyeringai kepada Fajar lewat spanduk tersebut dengan satu tangan terkepal di depan dada. Sederet tulisan menyertai foto konyol itu.
Asosiatif
Kompeten
Mandiri
Aman
Legowo
Fajar tidak mau memikirkan alasan dibalik pemilihan kata “legowo”. Hanya satu hal yang jelas di kepalanya saat ini: Pramuka SMA Kebangsaan terang-terangan menyatakan dukungannya kepada Akmal, salah satu pentolan mereka, untuk mencalonkan diri sebagai ketos.
Rivalitas antara Pramuka dan OSIS SMA Kebangsaan memang sudah lama terjadi. Jika Akmal berhasil menjadi ketos, itu berarti OSIS “jatuh” ke tangan Pramuka—apapun artinya itu. Beberapa pegiat ekstrakurikuler memang kerap terlalu mendalami peran mereka, membiarkan peran itu mengambil alih kepribadian mereka perlahan-lahan.
Tapi itu belum seberapa. Stiker bertuliskan #SobatAswan tampak bertempelan di berbagai tempat: helm, kaca mobil, kaca jendela kelas, mading hingga pintu WC. Selebaran kertas bergambarkan vector art wajah Aswan juga bertempelan di segala penjuru sekolah. Walau cerdas, Aswan bukan siswa penerima jalur prestasi. Dia pasti menggunakan tabungan pribadinya untuk membuat model kampanye yang lebih kreatif dibandingkan spanduk ala calon legislatif.
Maka paripurnalah absurdisme demokrasi di tatanan SMA Kebangsaan. Hanya ada satu pemain yang belum ikut terjun ke bidang kampanye ini. Tepat ketika Fajar membayangkan orang itu, harum rambut beraroma kulit pisang bertiup terbawa angin ke arah Fajar. Dahlia memanggil Fajar dari ujung selasar, masih menyandang ransel sekolahnya.
“Udah jadi, Jar! Dipake, ya!”
Dahlia mengoper segenggam gantungan kunci dan pin besar ke tangan Fajar. Semuanya bertuliskan “Dahlia’s Dreams.”
“Mimpi-mimpi Dahlia?” eja Fajar.
“Iya. Itu tuh plesetan dari “American’s” Dream,” Dahlia tertawa. “Kenapa? Aneh ya namanya?”
“Nggak, nggak. Bagus, kok,” dusta Fajar. Dia mengamati salah satu pin, lalu menemukan gambar wajah Dahlia yang digambar dengan gaya khas komik Jepang tercetak disana. Tentu saja Yanto yang menggambarnya. Resmilah sudah Dahlia tergabung ke dalam jajaran politisi narsis. Tapi apa peduli Fajar? Jika Attila the Hun bisa menghancurkan Romawi untuk mendapatkan cinta Honoria, maka Fajar bisa memasang pin itu ke bajunya, lalu berpura-pura segala lamunannya tentang absurdisme demokrasi pagi itu tidak pernah terjadi.
“Nggak salah Jar kamu ngajak Gilang sama Yanto. Aku jadi terbantu banget,” tukas Dahlia. Mereka berjalan menuju kelas XI IPS 1. Dahlia melihat Fajar yang sedang kesulitan memasangkan pin itu ke lengan kanan seragamnya. “Sini aku aja,” tawar Dahlia, yang kemudian mengambil pin itu lalu menyematkan jarumnya ke seragam Fajar.
Demokrasi memang absurd, dan politik memang kotor. Tapi Fajar sadar dia akan melompat ke dalam lumpur limbah Pusri sekalipun agar bisa mengimbangi Dahlia dalam pencalonan ketosnya. Cinta memang kerap mematikan nalar dan membuat seseorang menjadi tidak konsisten, persis seperti politisi itu sendiri.
“Wah, serasi banget.”
Dahlia dan Fajar kompak menatap sumber suara tersebut. Dewa, bersama Pitet dan Bull, sedang berdiri tidak jauh dari mereka. Mereka bertiga kompak mengenakan gelang karet bertuliskan #SobatAswan.
“Kalian. Orang goblok emang harusnya saling dukung,” olok Dewa. “Sudah siap kalah?”
Fajar akan berpura-pura tuli dan meninggalkan Dewa cs, seperti biasa jika dia dan Dewa berpapasan di jalan. Tetapi Dahlia justru berbalik menghadapi mereka. “Sidih siyip kilih?!” Dahlia mengulangi kata-kata Dewa dengan nada yang menjengkelkan. Pitet dan Bull tertawa mencemooh, tapi Dewa hanya diam. Wajahnya merah karena kesal.
“Dalam sejarah SMA ini, mana ada cewek yang jadi ketua OSIS! Kamu itu nggak mungkin—”
“Bacot,” Dahlia memotong dengan enteng, kemudian menarik Fajar menjauh dari sana, sementara Dewa berteriak-teriak mengatai mereka. Dahlia tidak mau menjadi tontonan seisi sekolah pagi-pagi sekali.
Di kelas, Dahlia menyapa Bertha, Irma dan Wawan, yang entah mengapa sedang berdiri mengelilingi mejanya.
“Kenapa, nih?” tanya Dahlia.
Wawan memperlihatkan permukaan meja Dahlia. Seseorang sudah mencoret-coretnya dengan tip-x. Karikatur jelek Dahlia yang kemarin menghiasi mading SMA Kebangsaan kini berpindah kesana, tapi kali ini ada satu lagi karakter karikatur lain yang menemaninya.
“DAHLIA <3 FAJAR.
MENAKLUKAN SMA KEBANGSAAN DENGAN KEKUATAN CINTA UTUTUTUTUTU”
Karikatur yang Dahlia duga adalah dirinya dan Fajar itu tampak dinaungi payung berbentuk hati. Ada sebaris tulisan lain di sebelahnya.
“Dak usah cak kebelagakan! Mati bae sano!!”
Dahlia bisa mendengar suara cekikikan perempuan dari baris terdepan tempat duduk mereka. Mary, Riri dan empat orang perempuan dari kelas lain sedang berkumpul disana, mencuri-curi pandang ke arah Dahlia dengan menyebalkan. Lengan mereka semua dihiasi gelang karet bertuliskan “#SobatAswan”, sama seperti Dewa. Dahlia tidak tahu sejak kapan Aswan memiliki basis pendukung yang demikian tidak berkualitas, tapi fakta itu membuat amarahnya berubah menjadi sebentuk energi baru. Alasan baru untuk tidak kalah dari Aswan.
“Kalo Aswan kalah, kalian semua yang mati,” Dahlia berbisik kepada dirinya sendiri, tetapi matanya sengit menatap Mary cs. Seolah bisa mendengar kata-kata Dahlia, Mary dan gengnya terdiam dengan ganjil, lalu melempar pandangan mereka ke arah lain.
“Itu ... Mary suruh aku gambar itu, tapi aku nggak mau. Jadi dia yang buat sendiri pagi tadi,” Bertha melapor, takut-takut.
“Makasih, Bertha. Aku hargain banget,” Dahlia tersenyum. “Ada yang punya penggaris besi?”
Fajar orang pertama yang menjawab pertanyaan itu. Dahlia menggunakan penggaris Fajar untuk mengerik objek vandalisme itu dari mejanya dengan santai sambil mengobrolkan PR Matematika mereka, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Lain kali kalau mau ngatain orang,” Dahlia tiba-tiba berkata dengan intonasi suara yang sengaja ditinggikan, “coba deh pake alat tulis yang lebih susah dibersihin, spidol permanen kek. Atau coba pake otak. Nggak ada ruginya kok pake otak, dikit aja.”
Mary dan gengnya yang disindir langsung menatap Dahlia dengan perasaan terhina. Bertha mencicit di sebelah Irma. Fajar yakin sekali sesuatu yang tidak menyenangkan akan segera terjadi, tapi yang berikutnya Fajar dengar justru suara serak yang menggelegar dari luar jendela.
“EH? UDAH JADI?!”
Wawan melompat menjauh dari jendela. Gilang sedang mengintip mereka dari luar tembok kelas bersama Yanto. Dia menunjuk-nunjuk pin yang menempel di bahu kanan Fajar.
Detik berikutnya, Gilang sudah memasuki kelas XI IPS 1 tanpa diminta siapapun. Sebagian penghuni kelas itu tampak geger saat Gilang berjalan masuk dengan langkahya yang besar-besar, diikuti Yanto—yang sudah seperti monyet peliharaannya. Namun Gilang, tiba-tiba sekali, justru berhenti di sebelah meja Mary.
“Apa itu? Kamu anak IPS, tapi dukung Aswan? GILA, YA?!” Gilang berseru setelah melihat gelang yang melingkari lengan Mary dan kawan-kawannya. Wajah mereka berenam langsung berubah menjadi sepucat daging ayam mentah. Mary hendak mengatakan seesuatu, tapi mulutnya langsung terkatup kembali karena Gilang memotongnya.
“Orang sinting begitu kok didukung. Babi Aswan itu!”
Keenam orang itu merapatkan duduk mereka dengan waswas, tapi Gilang kemudian beralih ke Dahlia.
“Mana? Bagi, dong!”
Dahlia membongkar isi tasnya sambil tersenyum. Dia ternyata mencetak pin dan ganci dalam jumlah besar. Gilang menggenggam salah satu pin itu dengan kedua tangannya yang besar lalu menatapnya lekat-lekat, seolah gambar yang ada disana mahakaryanya sendiri.
“Cantik,” komentarnya lirih. Dahlia tidak tahan dengan keadaan dramatis yang salah tempat itu, lalu tertawa ngakak. “Aku minta dua kantong, ya.”
“Gila, banyak banget! Mau diapain?” Dahlia terkejut.
“Mau aku bagiin ke kelas IPS 3 sama IPS 4,” pungkas Gilang. Dia berusaha memasang pin tersebut di dadanya, tapi kesulitan karena jarinya terlalu besar. “Kalau mereka pakai aksesoris timses lain, kugebuk mereka.”
Wawan dan Yanto juga mengambil masing-masing satu pin, lalu memasangnya ke pakaian mereka. Irma menyematkan pin itu di penutup tas ranselnya yang memang sudah dipenuhi banyak pin lain. Hanya Bertha yang tampak ragu-ragu. Sejak awal dia memang bukan anggota timses Dahlia.
“Kenapa?” tanya Dahlia. “Ambil aja kok, nggak apa. Itu memang buat dibagiin sama semua orang.”
“Aku ....”
“Takut sama Mary, ya? Nggak apa juga sih, Tha, kalo kamu nggak mau.”
“Mary? Siapa Mary?” tanya Gilang. Orang yang namanya disebut berjengit di kejauhan.
“Bukan ... Bukan siapa-siapa,” Bertha menelan ludahnya sendiri, sejenak tampak ragu pada apa yang ingin dikatakannya kemudian. “Aku masih boleh gabung sama timses kamu nggak, Lia?”
“Boleh banget!” Dahlia menggenggam tangan Bertha dengan girang. Dia membantu Bertha memasangkan pin itu di bahu seragamnya sambil tersenyum.
“Gambarnya bagus, btw,” komentar Bertha.
“Makasih. Aku yang gambar,” Yanto tiba-tiba menjawab dari balik punggung Gilang.
Gilang menenteng kantong berisi pin dan ganci, lalu berjalan keluar meninggalkan kelas IPS 1.
“Nih, pake. Buang aja gelang Aswan itu. Jelek,” Gilang menaruh segenggam pin Dahlia di atas meja Mary. Empat orang di antara mereka langsung memakai pin itu dengan wajah kecut dan tangan gemetaran di bawah tatapan Gilang. Dahlia puas sekali melihat pemandangan itu. Andai sejak awal Mary tahu Gilang ada di pihak timsesnya, dia pasti akan berpikir ratusan kali untuk mengusili Dahlia.
Tak lama berselang, meja Fajar dan Dahlia ramai didatangi siswa XI IPS 1 lain yang penasaran.
“Bagus, nih,” komentar Akmal. Dia menerawang salah satu pin bergambar Dahlia di udara. “Siapa yang gambar?”
Dahlia menunjuk Yanto, yang berkeringat gugup dan membuang mukanya.
“Timses kamu seru, ya. Aku boleh gabung, nggak?” Akmal bertanya usil. Laki-laki jangkung berdagu kecil itu tersenyum ganjil sambil menatap Dahlia. Fajar tahu apa arti senyum dan tatapan itu, dan dia tidak suka.
“Boleh, hahaha. Sekalian aja pilih aku jadi ketos!” balas Dahlia.
Akmal dan Dahlia mengobrol dengan hangat. Saat Akmal menyematkan pin Dahlia di dadanya, Mayang tiba-tiba menarik lengan baju Akmal dari belakang.
“Kamu apa-apaan, sih?” Mayang berkata pelan sekali, tapi Fajar masih bisa mendengarnya dengan jelas. “Kamu itu juga caketos, woi! Kalau diliat kak Hamim nanti habis kamu kena sidang!”
Sebelum ketua kelas dan wakil ketua kelas itu menjauh dari meja mereka, Fajar masih sempat mendengar Akmal mendesis: “Biarin kalo kena sidang. Memang sejak awal siapa yang mau jadi ketua OSIS?”
- - - - - - - -
Mammoth akhirnya kembali bersekolah dengan muka yang masih memar dan langkah kaki yang diseret. Dia sukses menjadi bulan-bulanan di Bucu Sebat berkat julukan baru yang dia dapat: Macot. Mammoth Kencot.
“Binatang,” umpat Mammoth, tapi itu tidak memutus tawa teman-teman begajulnya. Semua kebisingan itu membuat Bucu Sebat menjadi demikian sumpek, sehingga Dewa memutuskan berjalan ke belakang Kantin Bunda Frida dan merokok disana dengan ditemani Mary.