Insiden spanduk itu berbuntut panjang. Anak kelas X.6 itu bukan hanya menyeret kedua orang temannya ke ruang BK, tetapi juga Aswan, Gilang, Citro, Akmal dan Dahlia.
Sebelum Aswan menuju ruang BK untuk menemui semua wakepsek SMA Kebangsaan, Citro terlebih dahulu menariknya ke belakang sekolah. Kejadian memalukan tersebut tampaknya terlalu sulit untuk dia terima begitu saja.
“Sumpah, bukan aku yang nyuruh mereka,” Aswan berusaha meyakinkan.
“Aku tahu, aku percaya,” kata Citro. Mereka mengobrol di atas bangku kafetaria sekolah yang sudah tutup. Citro menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam, seolah segala ketabahannya sangat bergantung pada rokok itu. Mereka lalu mengobrol pelan. Citro mendiktekan satu per satu beban ketupel yang ditimpakan timses Aswan kepadanya.
“Pertama-tama poster, terus Twitter. Sekarang spanduk. Memang bukan kamu pelakunya, tapi siapapun itu, dia pake nama timses kamu, Aswan. Aku rasa orang ini ada hubungannya sama kamu.”
Saat dia teringat pada Dewa, Aswan langsung berhenti menatap mata Citro yang cekung itu. Jika OSIS dan guru tahu Dewa ada di balik semua ini, maka saudara kembar Aswan itu akan terjerat masalah serius.
“Bayangin dampaknya ke anak-anak di sekolah ini,” sambung Citro, “mereka bakal ribut, terus pecah cuma gara-gara pemilihan ketos. Dan mereka nggak mau tahu apa bener kamu atau bukan yang nempel poster itu, karena nama kamu ada disana,” Citro menunjuk ke arah gedung tempat spanduk itu tadi tergantung. “Kami biarin kalian kampanye sebebas-bebasnya bukan supaya jadi begini.” Citro lalu mengurut pelipisnya yang nyeri. Tidurnya berkurang banyak belakangan ini.
“Maaf, Kak. Ini diluar kendaliku.”
“Menurutmu siapa orangnya?” Citro mendelik Aswan. Rokok yang tergantung di antara jarinya terbakar hingga tinggal setengah, tapi dia sepertinya lebih merisaukan jawaban Aswan daripada itu. Aswan, tidak selantang biasanya saat dia di OSIS. Dia tidak berniat menjawab.
“Kamu sebenernya bisa berbuat sesuatu,” tuntut Citro, lalu meniriskan abu rokoknya. “Klarifikasi, kek. Walau mungkin sedikit yang percaya. Tapi seenggaknya timses kamu harus berbuat sesuatu. Kalau nggak, lama-lama kamu bisa didiskualifikasi,” Citro mengatakan kalimat terakhirnya dengan perasaan kelu. “Aku nggak bisa terus-terusan ngebela kamu di depan anak-anak OSIS yang lain, Wan. Tolong pengertiannya.”
“Siap, Kak. Maaf banget udah ngerepotin,” Aswan menundukkan kepalanya. Tangannya terkepal. Dia tidak ingin Dewa celaka, tapi Dewa benar-benar hampir mencelakakan banyak orang karena ulahnya. Entah bagaimana caranya Dewa bisa menyuruh anak kelas X memasang spanduk sialan itu.
Setelah Citro menghabiskan satu batang rokok lagi, mereka berjalan beriringan menuju ruang BK. Di depan pintu ruangan itu, Akmal, Mayang, Dahlia dan seluruh anggota timses Dahlia tengah berkumpul. Mereka tampaknya sedang mendiskusikan hal yang sama.
“Lia,” sapa Citro. Dahlia menoleh sejenak, lalu tersenyum miring, sebelum kembali mengobrol dengan rombongannya. Itu bukan waktu yang menyenangkan untuk saling sapa dengan gebetannya.
“Citro! Masuk sini!” Pak Rizal tiba-tiba membuka pintu ruang BK dan mengajak Citro masuk. “Kalian juga.”
Semua orang disana melepas sepatu, hendak masuk ke ruang BK. Tapi Pak Rizal langsung membentak mereka. Emosinya jelas-jelas sedang terganggu karena kejadian hari itu.
“Calon ketos bae! Mano muat ruangan ini kamu masuki galo-galo!” Mereka semua langsung mundur, kecuali Dahlia, Akmal, Aswan dan Citro.
Gilang dan ketiga pelaku penempelan spanduk sudah terlebih dahulu berada di dalam ruangan itu, berdiri menghadap sebuah meja kayu panjang. Salah seorang dari anak kelas X itu menangis.
“Dak usah nangis, banci!” hardik Gilang, yang kemudian langsung ditengahi oleh Bu Devi, Guru BK SMA Kebangsaan.
Di balik meja kayu itu, Bu Devi duduk bersama keempat wakil kepala SMA Kebangsaan: Pak Karisman, Pak Rizal, Bu Tina dan Pak Ahyar. Semuanya tampak tidak tenang. Bu Devi secara naluriah mengambil peran di tengah wakepsek dan semua siswa SMA Kebangsaan yang ada di ruangan itu, menjadi semacam wasit. Dia mengelus pundak anak kelas X yang menangis itu, lalu mengulangi sebuah pertanyaan.
“Tadi katanya kamu disuruh? Sama siapa?” tanya Bu Devi dengan nada bicara yang terlewat bersahabat. Anak itu hanya sesenggukan sambil menggeleng.
“Dibayar berapa?” Gilang mencoba pertanyaan lain tanpa tedeng aling-aling. Mata Bu Devi menatapnya kesal. Tapi anak itu justru menjawab pertanyaan Gilang.
“Lima ratus... ribu...” katanya serak, lalu menyedot ingus. Bu Devi menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya. Bu Tina dan Pak Karisman berbisik-bisik, sementara Pak Rizal tampak seperti akan menerkam anak itu. “Satu orang... lima ratus ribu...”
“Kalian juga yang nempel brosur di mading?” Aswan tidak bisa menahan dirinya lagi. Semua guru menatapnya heran. “Kalau Twitter? Kalian juga yang buat?”
“Jangan bicara kalau belum dikasih izin!” Pak Rizal menyahut Aswan, tapi pertanyaan Aswan ternyata memancing rasa penasaran semua orang.
“Twitter apa?” tanya Bu Tina.
“Ada orang yang buat Twitter pakai nama timses saya, Bu. Tapi dia pakai Twitter itu untuk menjelek-jelekan caketos lain ... terutama Dahlia,” Aswan memberanikan diri menatap mata Dahlia saat melontarkan kalimat terakhirnya. Dahlia mengangkat alisnya.
“Twitter? Nggak, Kak. Kami cuma dibayar untuk tempel spanduk,” anak laki-laki bersweater yang menjawab pertanyaan Aswan.
“Hah? Jangan lempar batu sembunyi tangan! Apa buktinya kalau Twitter itu bukan punya kamu?” Akmal bertanya sinis kepada Aswan.
“Ada apa ini sebenarnya?” Pak Karisman memuncaki pertanyaan mereka semua.
“Ini pasti ada hubungannya sama pencalonan ketos. Gimana, Citro? Kamu ketua pelaksananya, kan?” Pak Ahyar menuding Citro.
“Sebentar, sikok-sikok...” dengus Pak Rizal, tapi langsung tenggelam oleh celoteh semua orang.
“Bukan aku yang buat. Demi Allah. Sini bawa Alquran kalau nggak percaya,” Aswan meladeni Akmal.
“Ada kesalahan teknis, Pak, Bu. Ternyata ada banyak pihak yang memanfaatkan peraturan baru di pencalonan ketos tahun ini, tapi dengan cara yang salah....”
“Jadi siapa pelakunya?”
“Saya lebih baik mengundurkan diri daripada melakukan black campaign!”
Sebuah bom bertenaga kecil seperti diledakkan di tengah ruangan sempit itu. Mereka semua berjengit. Pak Rizal susah payah mengatur kembali napasnya setelah dia memukul papan tulis di belakang meja kayu. Saat Pak Rizal menarik tangannya lagi, papan tulis itu terjatuh miring ke lantai karena paku tempat bergantungnya terlepas.
“Sikok-sikok kato aku tadi ...” Pak Rizal berkata terengah-engah. Pak Karisman menarik Pak Rizal dan menyuruhnya duduk.
“Mereka berempat sudah cerita apa yang terjadi, versi mereka,” Pak Karisman mengambil alih keadaan seraya melirik Akmal, Aswan, Citro dan Dahlia. “Sekarang kami mau dengar versi kalian. Siapa yang mau cerita duluan?”
Tangan Dahlia melesat ke udara, mendahului tangan Aswan dan Citro.
“Ah, anak Notonegoro? Silakan,” nada bicara Pak Karisma yang kering, tiba-tiba melunak. Dahlia benci perlakuan khusus tersebut, tapi dia menceritakan semua yang dia alami hingga pada bagian Gilang yang menyeret pelaku penempelan spanduk ke perpustakaan sekolah. Gilang langsung menyambarnya.
“Iya! Aku yang pertama lihat dia, baru selesai pasang spanduk! Jadi aku tarik ke—”