“Sumpah, tadi aku taruh disini!”
Sembari mengobrak-abrik barangnya di ruangan itu, ingatannya akan isi teks orasi itu semakin menyusut. Dahlia dilanda panic attack. Satu kalimat teks yang Dahlia lupakan berkembang menjadi satu paragraf, dan kemudian seluruh isi teks orasinya. Ingatannya secara spontan tertaut pada orang yang terakhir memasuki ruangan itu sebelum Tara. Mary.
“Mary? Mary pacarnya Dewa?” Tara berseru. Dahlia mengangguk lemah.
“Dia kesini sama temen-temennya buat kasih aku dukungan. Kupikir mereka berubah pikiran gara-gara liat isi spanduk waktu itu, jadi balik ngedukung aku. Tapi mereka rame banget, dan emang omongannya kedengeran ganjil.”
Tara berbalik dan berjalan cepat ke arah pintu. “Biar aku ambil dari mereka.”
“Tara, bentar! Kita nggak tahu beneran mereka yang ambil atau bukan!”
“Orang yang selama ini ngata-ngatain kamu lewat Twitter itu bukan Aswan, tapi Dewa!” Tara berusaha keras menahan emosinya. “Pasti Mary. Siapa lagi kalau bukan dia?”
Gegap gempita terdengar dari pengeras suara yang tergantung di sudut plafon ruang ganti. Aswan sudah selesai menyampaikan orasinya. Dahlia merasa seperti adonan pempek keriting yang dimampatkan ke dalam cetakan berlubang sempit. Tekarau. Di saat seperti itu, Fajar muncul di depan pintu ruang ganti.
“Dahlia? Bentar lagi giliran kamu.”
Fajar menatap Dahlia dan Tara bergantian, sembari berusaha membaca air muka mereka yang sangat kontras: pias dan merah. “Kenapa?”
Dahlia menanyakan Fajar soal kertas teks orasinya, tapi Fajar tidak tahu apa-apa. Dahlia mencoba duduk dan menenangkan dirinya.
“Aku keluar. Biar kugari Mary dan rombongannya,” Tara memutuskan. Dia berjalan keluar ruangan secepat mungkin. Fajar duduk di sebelah Dahlia, menggantikan Tara, kemudian menatap Dahlia dengan cemas. Jika benar Mary mengambil kertas teks orasi Dahlia, maka tidak ada cukup waktu untuk mengambilnya kembali. Fajar memikirkan solusi lain.
“Setelah ini ada paduan suara yang tampil, baru giliran kamu maju. Masih ada waktu lima menit. Coba kamu inget-inget lagi apa isi teks orasi kamu, terus tulis aja di kertas.”
Dahlia menatap kertas dan pena yang diserahkan Fajar kepadanya. Di mata Dahlia, kertas itu kosong. Dan mungkin akan terus kosong. Percuma saja.
“Poin-poinnya aja,” bujuk Fajar dengan sabar. Dahlia mengambil pena Fajar dengan tangan gemetaran dan mencoba menulis apa yang dia ingat. Sementara itu, Fajar mengeluarkan pena lain dan sebuah buku catatan. Buku catatan bersampul hitam.
“Kamu ngapain?” tanya Dahlia, sementara Fajar membalik-balik halaman buku hariannya.
“Dulu waktu baru masuk SMA, aku sempet diprospek sama kakak kelas untuk masuk English Club. Aku disuruh nulis teks pidato. Pake Bahasa Inggris,” Fajar berhenti di satu halaman. “Tapi prospeknya gagal karena aku sering minggat pas mereka kumpul. Jadi pidatonya nggak selesai dan nggak jadi kubacain di depan siapapun.” Fajar menunjukkan buku itu kepada Dahlia, yang kini tampak agak berminat.
“Aku nggak bisa diandalin soal public speaking, Lia. Aku pasti bakal gagap kalau disuruh ngomong di depan seluruh sekolah. Yang bisa kulakuin dengan becus di dunia ini cuma nulis,” Fajar menatap Dahlia serius. “Tapi kamu beda. Kamu itu bisa ngomong sambil ngebangun argumentasi kamu di dalam kepala di saat bersamaan. Dan kata-kata kamu bisa menarik perhatian orang lain yang ngedengerin. Kamu itu orator alami. Kamu itu gifted”
Fajar sendiri takjub pada kemampuan retorikanya yang entah muncul dari mana. Tapi dia tidak lagi mempertanyakan asal perasaannya saat itu. Ini sama seperti saat dia memutuskan mendukung Dahlia dalam pencalonan ketos. Fajar jatuh hati pada Dahlia, dan secara naluriah, dia ingin melihat Dahlia berhasil mencapai keinginannya.
“Tapi, Jar, ini Bahasa Inggris?”
“Sebagian pidato Aswan pake Bahasa Jepang, tapi di sekolah ini mungkin cuma dia sendirian yang ngerti dia ngomong apa. Buat apa coba? Sementara Bahasa Inggris ....”
Dahlia tiba-tiba tersenyum. “I got it. Fajar, you’re a genius!” Bahasa Inggris adalah pilihan yang lebih rasional untuk tampil berbeda di depan audience sambil tetap mempertahankan konteks utama dari komunikasi: menyampaikan pesan yang dipahami para pendengarnya. Sejak awal panitia pemilihan ketos tidak melarang orasi dwibahasa. “Jadi aku selipin poin-poin orasiku yang sebelumnya di teks pidato yang sudah kamu tulis.”
“Tepat,” tembak Fajar. “Tapi semuanya bakalan sangat bergantung sama kemampuan improvisasi kamu. Dan aku nggak ragu. Kamu memang ahlinya.”
Api yang dipercikkan Fajar menyambar semangat Dahlia dengan cepat. Dahlia memegang pena dan buku Fajar dengan mantap dan mulai menuliskan poin-poin teks orasinya yang perlahan kembali dia ingat. Fajar benar. Tidak ada waktu untuk menghafal. Dahlia harus mengandalkan kemampuan improvisasinya secara maksimal jika ingin tampil dengan baik.
Kamu itu gifted. Kata-kata itu berkelindan di benak Dahlia. Aku ini gifted.
Selesai menulis, Dahlia lalu membaca keseluruhan teks itu dan menyadari satu hal yang luput dari perhatiannya selama ini: tulisan tangan Fajar begitu rapi. Dia tidak kesulitan sama sekali membaca dan mengingat tulisan tersebut, seolah tulisan itu dan otaknya adalah dua keping puzzle yang tertaut begitu saja saat ditempelkan. Segala kebetulan yang klop antara dirinya dan Fajar terjadi dalam waktu demikian tepat, membuat Dahlia merinding. Mendadak dia merasa begitu percaya diri.
Okta, Irma dan Bertha berjalan memasuki ruang ganti. Waktu mereka tinggal 30 detik lagi sebelum Dahlia dipanggil.
“Aku ... Entahlah, aku nggak tahu harus ngebales ini semua dengan apa,” Dahlia ingin meledakkan tangis haru, tapi itu sama sekali bukan waktu yang tepat.
“Dengan menang. Kalahin Aswan.”