Fajar tiba di rumahnya tepat saat awan-awan gelap di langit menghujani genteng rumah Kemas Fuadi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Abah sudah berada di bawah atap rumah itu sebelum petang, berbaring menonton TV di ruang tengah sambil mengenakan sarung dan kaos bergambar caleg. Abah mendongak sedikit saat Fajar berjalan melewatinya menuju dapur.
“Fajar!” panggil Abah. Fajar menoleh, lalu menghampirinya dengan enggan. Dia sudah paham betul apa kebiasaan abahnya saat sedang berdiam diri di rumah. Fajar bahkan sudah menyiapkan beberapa lembar uang ribuan di dalam kantongnya untuk momen menyebalkan tersebut, tapi demi membayangkan dirinya harus berjalan di bawah gerimis hanya untuk membelikan abahnya rokok, persendian tubuhnya seketika lesu.
“Tadi Abah dikasih radio bekas sama Om Ujang. Sudah Abah benerin, Abah taruh di kamar kamu. Pake aja,” Abah berkata santai kepada Fajar.
Fajar menatap abahnya tidak percaya. Apakah Fuad Thamrin baru saja menghadiahinya sebuah radio? Dan apa kompensasi untuk ‘hadiah’ tersebut?
“Nanti Abah kasih hape baru kalau kamu bisa masuk Teknik Sipil Unsri,” tukas Abah sambil menyeringai, memamerkan gigi-giginya yang kuning. Membelikan Fajar ponsel adalah sesumbarnya sejak Fajar tamat SMP, dan tetap saja menjadi sesumbar hingga saat ini. Tapi bukan itu yang membuat Fajar berdesir. “Minta duit rokok, Jar.”
Fajar menyerahkan segenggam uang kertas di sakunya kepada Abah lalu segera berjalan menuju kamar dengan hening. Perasaan yang dingin menusuk tengkuknya, sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan hujan di luar.
Abah masih belum tahu jika Fajar masuk jurusan IPS.
Fajar memang tidak mendapat kesempatan untuk memberitahunya, dan memang Abah tidak pernah menanyakan lagi soal itu sejak Fajar mulai masuk sekolah. Radio bekas itu pastilah sebentuk hadiah dari Abah karena Fajar “berhasil” masuk jurusan IPA, atau demikianlah yang diduga abahnya.
Fajar duduk di depan meja belajarnya dan menatap radio transistor tua itu dengan perasaan dingin, sedingin permukaan radio tersebut. Di masa lampau, seorang bujang orkes mungkin pernah memikul radio tersebut keliling kampung dengan jumawa sambil memutar lagu Kopi Dangdut. Radio yang sama juga sangat mungkin pernah bertandang di dasbor mobil angkot Jurusan Lemabang – Sayangan, atau menemani mamang becak yang menunggu penumpang di simpang empat Lorong Tapakning. Tapi sekarang, semua baterainya sudah dicopot dan radio itu harus dicolokkan ke stop kontak agar bisa menyala.
Fajar meminggirkan kecemasannya soal salah paham Abah, lalu meletakkan radio itu di dekat kaki ranjangnya. Fajar bukan penggemar radio. Dia bahkan jarang mendengarkan musik. Radio itu justru, dengan cara yang tidak Fajar sukai, mengingatkan Fajar kepada Krisna dan perkataan menyakitkannya tentang pianika dan rekorder. Kenangan itu seperti sengatan lebah yang tiba-tiba saja menggerakkan tangan Fajar untuk mencolokkan radio itu ke listrik dan menekan tombol power.
Frekuensinya berantakan. Fajar memain-mainkan antena dan memutar pencari frekuensi, tapi yang bisa ditangkap telinganya setelah itu hanya suara penyiar iklan yang robek oleh desis distorsi gelombang radio. Menyalakan radio di tengah hujan sepertinya bukan ide bagus. Fajar mematikan radio barunya dan berbaring terlentang di atas ranjang, kehilangan minat begitu saja pada hadiah barunya itu.
Penghitungan suara caketos baru berakhir menjelang Ashar. Dahlia tertinggal 24 suara dari Aswan, dan Fajar bingung bagaimana mengartikan perasaannya tentang itu. Dahlia gagal menjadi ketos, itu kabar buruk, tapi di satu sisi juga ada perasaan lega di dalam hati Fajar yang muncul karena kabar itu—yang menurutnya tidak layak diungkapkan.
Tapi Dahlia sendiri ternyata sudah ikhlas tentang apapun hasil usaha mereka. Dia bukan hanya punya kepercayaan diri untuk menang, tetapi juga kelapangan dada untuk menerima kekalahan. Sore itu setelah Aswan resmi memenangkan pemilihan OSIS, Dahlia mengucapkan terima kasihnya yang paling besar untuk seluruh anggota timsesnya di grup chat BBM. Nama grup itu pun diganti dari “Tim Sukses Dahlia” menjadi “Grup Apa Aja Boleh”. Mereka berkembang dari timses pencalonan ketos menjadi kelompok pertemanan kecil yang menyenangkan.
Oksitosin di otak Fajar mengambil alih emosinya. Dia cengengesan sendiri di atas kasur sambil membayangkan gebetannya satu itu. Walau Dahlia gagal menjadi ketos, Fajar sudah mengambil peran terbaiknya dalam mengiringi Dahlia, dan menurut Fajar dia perlu sedikit puas untuk itu. Dia senang bisa membantu Dahlia berusaha dengan maksimal untuk mencapai keinginannya—walau gagal.
Fajar tumbuh remaja dengan hanya pernah mencintai Dian, lalu Dahlia muncul, dan kehidupan asmara Fajar seperti terjungkir balik. Fajar seperti tidak siap mengganti cinta masa kecilnya itu dengan sosok Dahlia, tetapi perasaannya untuk Dahlia juga sudah teramat besar untuk diabaikan. Dian dan Dahlia bagai matahari yang sinarnya beririsan dan membentuk sosok baru, sosok maya yang hanya hidup di dalam kepala Fajar. Sosok yang menemaninya menulis puisi, mengerjakan PR atau membaca buku, sambil sesekali menghujani coretan puisi dan buku harian Fajar dengan inspirasi. Sosok yang kadang membuat Fajar bicara sendiri sampai-sampai Okta yang memergokinya menganggap Fajar kurang secanting.
Saat sosok itu senyap dan hanya mengamati Fajar menulis, dia memutar kembali kenangan-kenangan singkat Fajar selama bersama Dahlia: senyum, lesung pipit, aroma rambut, kibasan rok, warna mata, suara tawa yang renyah, nomor ponsel, gitar Fender cf-140s, Englishman in Newyork, gulo palu, gulo puan, pin BBM, permen white rabbit, You are Beautiful ....
Fajar tersentak. Dia berdiri dan membuka pintu gerobok kamarnya. Lirik lagu James Blunt mengingatkan Fajar pada percakapannya dengan dengan Cek Nisa beberapa tahun lalu, serta pada sebuah kaset pita yang tergeletak di sudut gerobok tersebut. Seorang laki-laki dulu pernah menghadiahi Cek Nisa kaset itu.
Ingatan Fajar memang jarang berbohong. Kaset itu masih ada di tempat dia terakhir melihatnya.
Fajar menarik kaset itu keluar sambil membaca selebaran kertas lirik lagu yang menyelubungi bagian dalam kotaknya.
“YOU ARE BEAUTIFUL – Best of Love Songs”
Dari apa yang Fajar baca, kaset itu sepertinya berisi kompilasi lagu cinta dari berbagai penyanyi dunia sejak tahun 1984 hingga 2005. You are Beautiful James Blunt adalah yang paling spesial karena namanya dijadikan tajuk kaset tersebut, dan lagu itulah yang Fajar ingin dengarkan sekarang.
Fajar memasukkan kaset itu ke mulut radio dan menekan tombol play. Dia lega sekali karena kini yang terdengar bukan lagi suara grasa-grusu, tetapi intro musik yang jernih dan merdu. Perlu melewati beberapa lagu sebelum Fajar mencapai James Blunt, tapi Fajar tidak keberatan. Soal menunggu, dia memang jagonya. Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan lega saat berjumpa dengan apa yang ditunggu-tunggu.
Fajar memejamkan matanya selagi mendengarkan lagu itu, seolah sesuatu yang ajaib akan terjadi di gendang telinganya. Fajar dan radio itu kini bagaikan bajak laut yang bertukar cawan. Mereka secara instan menjalin persahabatan begitu saja lewat lagu yang mengisi ruang di kamar Fajar. Fajar menaikkan volume radionya, melawan rongrongan air hujan yang menghujani atap seng dapur.
Dia sudah menulis belasan puisi dan surat, dan Dahlia adalah hulu dari semua tulisannya itu. Kini dia telah memasuki fase menulis buku harian yang sama seperti Cek Nisa. Kertas-kertas buku harian itu sekarang bukan lagi bendungan bagi perasaannya. Kertas-kertas itu hanya kertas biasa yang tidak cukup untuk menampung apapun. Fajar perlu menemukan muara yang baru. Pikirannya membayangkan sebuah ide yang membuat jantungnya berdegup kencang karena takut dan senang: dia mungkin harus berterus terang kepada Dahlia tentang perasaannya. Itu dia, batin Fajar. Memang hanya masalah waktu sampai dia harus melakukannya.
Bukan hanya ide itu sangat mungkin membahayakan pertemanannya dengan Dahlia, tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan perasaannya. Interaksi romans Fajar dengan perempuan selama ini hanya berupa bisikan-bisikan kagum atau usil teman-teman perempuannya di sekolah—dan Fajar tahu semua itu hanya karena warna rambut dan matanya yang tidak biasa, hanya karena fisiknya yang unik. Ketertarikan yang bisa seketika hilang saat mereka mengenal kepribadian Fajar yang “aneh”. Sementara perasaan Fajar kepada Dahlia, adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan semua itu. Di hadapan perasaannya untuk Dahlia, Fajar seperti balita yang menatap sepeda, kagum namun takluk, ingin tapi tak mampu menguasai.
Dari celah kisi-kisi jendela, angin basah bertiup masuk ke kamar dan melembabkan udara disana dengan aroma petrichor. Fajar memungut buku puisinya yang tergeletak di atas meja dan menjauhkannya dari jendela.
Di depan hidung Fajar, buku itu membuka tepat di sebuah halaman. Fajar membaca sebaris judul puisi yang tertulis disana.
EPONA
Lalu Fajar teringat saat dia dan Dahlia berjalan melewati mading hari itu. Dahlia membaca puisi Epona dan memujinya. Dia memuji sosok Hanif yang tak lain adalah orang yang sedang berdiri di sebelahnya pada saat itu.
Bagaimana jika Dahlia membaca puisi lainnya dari Hanif, tapi kali ini yang khusus ditujukan untuknya? Di balik kacamata bundar itu, mata Fajar berbinar karena sebuah ide. Ide yang mengusik pikirannya, hingga dia tidak bisa lagi berbaring dengan tenang.
- - - - - - - -
“Selamat ya, Dahlia!”
Dibutuhkan waktu dua minggu penuh agar kata “semangat” berubah menjadi “selamat”.
“Makasih Kak Citro. Tapi selamat buat apa, nih? Hehe”
“Selamat karena orasinya sukses. Wkwk.”
Tidak ada yang lucu dari chat itu, tapi Dahlia tidak berhenti menyeringai sambil memandangi layar ponselnya. Seperti apa tampang Citro saat mengatakan “wkwk”?
“Bisa aja sih hahaha. Makasih ya! Selamat juga deh kalo gitu”
“Selamat buat apa, nih? (2)”
“Selamat karena udah pensiun jadi ketupel. HAHA.”
“IYA LHO GAK ADA YANG NGUCAPIN SELAMAT BUAT ITU. MAKASIH BANGET LHO!”
“Akhirnya kantong mata bisa dikempesin, ya,” ketik Dahlia.
“Ngomongnya di depan kaca, kek.”
“HAHAHA SYALAAN~”
Kali ini Dahlia benar-benar tertawa saat mengetik “HAHAHA”, hal yang jarang terjadi.
“Dahl, kamu suka dengerin radio?” Citro melanjutkan.
“Dahl saha?! Urang mah Lia!”