Buku Harian Fajar

Ahmad Redho Nugraha
Chapter #21

KEPING 20 - KAMIKAZE

Dewa bagai kamikaze. Dan pemasangan spanduk provokatif tempo hari bagaikan serangan terakhir yang dia lakukan dengan menabrakkan pesawatnya sendiri ke kapal induk Amerika Serikat. Dia mengorbankan dirinya sendiri, reputasinya, hanya untuk meninggalkan kerusakan tidak seberapa—yang kemudian tertutup oleh kemenangan total saudara kembarnya akan Dahlia. Saat Pak Karisman memanggilnya masuk ke ruang BK, Dewa sadar jika tindakan terakhirnya adalah perbuatan naif. Dan bodoh. Tindakannya tidak sukses menghancurkan siapapun selain dirinya sendiri.

Pagi itu, seorang laki-laki dengan setelan necis, setengah botak dan berkumis tipis berjalan keluar dari ruang kepala sekolah sambil mengelap kacamatanya dengan ujung saputangan. Dia melewati Dewa dan Pak Karisman yang sedang duduk berhadap-hadapan di antara meja kayu panjang ruang BK.

“Lama nggak kesini, Pak. Kapan tiba di Palembang?” sapa Pak Karisman dengan suara baritonnya yang khas. Laki-laki yang disapanya itu tersenyum dan menghela napas. Meski Dewa tidak berbalik, dia sadar mata ayahnya saat itu sedang menatap punggungnya. Tatapan itu adalah manifestasi dari berbagai macam perasaan: kecewa, maklum dan malu. Tatapan yang selalu Dewa terima saat dia membuat masalah, dan ayahnya ada disana untuk membanding-bandingkannya dengan Aswan.

“Alhamdulillah, sehat,” Adnan tertawa kecil. “Semalam Noval telpon saya. Dia cerita kalau dia lolos pemilihan ketua OSIS. Luar biasa anak itu. Pas saya sampai di bandara pagi tadi, saya langsung gas kesini untuk bilang selamat. Sekalian silaturahmi sama Pak Darwin.”

Pak Karisman mempersilakan Adnan duduk di kursi di sebelah Dewa. Dewa benci sekali terjebak dalam keadaan itu. Tapi syukurnya, dia dan ayahnya satu pendapat soal tawaran Pak Karisman.

“Nggak usah, Pak, saya langsung saja. Saya ini belum sempat pulang ke rumah, lho, haha. Koper sama tas saya saja masih di mobil.”

Dua laki-laki paruh baya itu berjalan beriringan meninggalkan ruang BK sambil mengobrol. Meninggalkan Dewa duduk sendirian disana. Begitu saja.

Dewa marah pada segala hal yang menimpanya, pada semua orang yang menempatkannya di dalam posisinya sekarang. Dia marah karena Aswan menang dalam pemilihan ketos. Dia marah karena Dahlia dan Aswan tidak saling menghancurkan. Dia marah karena rencananya gagal, dan anak kelas X yang dia bayar untuk membuat dan memasang spanduk itu ternyata terlalu bodoh sehingga dia melakukan aksinya di siang bolong. Dia marah karena terlambat memperkirakan keberadaan Gilang di pihak Dahlia dan betapa itu sangat berpengaruh terhadap rencananya. Dia marah pada Akmal yang mengundurkan diri dan urung membuat Dahlia dipermalukan di ajang pemilihan ketos. Dia sangat marah pada siapapun yang telah mengadukannya ke Pak Karisman, sehingga dia harus ditarik keluar kelas di tengah jam pelajaran sekolah demi mendengarkan ocehan guru kimia itu selama dua jam di ruang BK.

Dan di atas semua itu, dia marah pada ketidakberdayaannya sendiri. Dia kesal sekali karena satu-satunya hal yang meringankan hukumannya sekarang justru status ayahnya, Zakaria Adnan, sebagai donatur terbesar SMA Kebangsaan.

Adnan adalah ayah paling sibuk di seluruh dunia. Dia bahkan tidak punya waktu untuk menjadi wali murid di acara pembagian rapor, tapi pagi itu dia pulang dari Malaysia ke Palembang dan langsung naik taksi ke SMA Kebangsaan hanya untuk menyelamati Aswan, kakak kembar Dewa yang terpilih sebagai ketos. Pria sama yang melakukan itu untuk anaknya, di saat yang sama justru berjalan melewati Dewa dengan dingin dan tidak peduli, seolah Dewa dan Aswan adalah dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah.

Setelah merasa marah pada semua orang, Dewa marah pada dirinya sendiri. Segala usahanya untuk menjatuhkan Dahlia justru membuat Aswan sukses menjadi ketos, dan itu secara tidak langsung justru sama saja dengan membantu Aswan menjadi lebih bersinar di hadapan orangtua mereka.

- - - - - - - -

Itu makan siang gabungan pertama antara teman-teman perempuan Dahlia dari IPA dan IPS. Irma, Bertha, Tara, Nur dan Dahlia duduk menghadap meja yang sama di kantin Bu Ratih, menyantap model ikan sambil membicarakan masa depan OSIS.

“Tapi kan dulu kamu yang bilang, Nur? Kata kamu OSIS tuh—” Dahlia mengecilkan volume suaranya, “berantakan, dan cuma Aswan yang bisa ngebenerin OSIS?”

“Iya, emang. Tapi bukan berarti juga aku mau gabung ke OSIS, Dahlia,” Nur meluruskan pendapatnya. “Aku udah jadi bendahara di Rohis. Pengurus OSIS kan gak boleh punya jabatan strategis di organisasi lain. Sori banget, lho, bukannya gak mau,” tolak Nur untuk kesekian kalinya. Dia berharap Dahlia akan berhenti mengajaknya setelah ini. Gadis itu benar-benar keras kepala.

“Ajak Tara aja! Biar dia ada kesibukan selain nendang-nendangin samsak!” Nur mengumpankan Tara untuk mengalihkan obrolan.

“Hah? Heh? Aku?” kuah model menciprat ke dagu Tara saat sedang bicara. “Aku mau-mau aja sih, tapi, ya...”

“Kalo mau, tukeran aja sama aku di Jurnalistik. Gimana, Tar?” goda Irma. “Biar aku yang ikut OSIS, kamu di Jurnalistik bisa deket-deketan sama Fajar.”

“APAAN, SIH!” Tara menggembungkan wajahnya.

“Jadi kamu bisa kan gabung OSIS, Tar? Nanti kita satu divisi di Mibak! Kita bisa buat proker keren bareng-bareng dan bisa kumpul tiap balik sekolah!” pikat Dahlia. Tara menatap permukaan mangkuknya yang hampir kosong.

“Asyik, tuh. Bisa ngegosipin Fajar terus sama Dahlia,” pancing Irma.

“Goyah, tuh,” Nur kembali usil. “Antara Samsak dan Fajar, ugh. Bagus ya jadi judul sinetron?”

“Diem, ah!” Tara menggubris, tak sadar jika setiap reaksi konyolnya justru membuat semua orang semakin geli. “Dari awal, aku emang mau gabung sama Dahlia, tahu. Itu gak ada hubungannya sama Fajar.” Tara ragu, karena kata-katanya itu setengah dusta.

Dahlia menggenggam tangan Tara dan bersorak gembira. Tara dan Bertha sudah siap menemaninya di OSIS. Berikutnya, dia akan mengajak Okta, Wawan dan Yanto.

“Ngomong-ngomong, gimana kabarnya Dewa?” tanya Nur. Saat suasana di meja itu berubah menjadi suram, Nur langsung sadar jika dia sudah memilih topik obrolan yang keliru. “Semua orang udah tahu dia yang ngerusuh di pemilihan ketos kemarin. Masa dia lepas gitu aja?”

“Udah aku laporin ke BK. Dari Sabtu kemaren,” ujar Tara, lalu dia menyesap es tehnya seperti seorang bangsawan perempuan terhormat. Semua orang di meja itu tampak takjub. “Emang udah seharusnya, kan? Dia udah kelewatan banget.”

“Good job, Tara,” Nur menepuk bahuTara. “Kali ini kamu ngelakuin hal yang bener banget.”

“Emang selama ini aku ngelakuin hal yang salah, gitu?” Tara pura-pura tersinggung. Dahlia tertawa.

“Semoga aja dia beneran dihukum sama sekolah,” Nur berkata suram. Ketidaksukaannya akan Dewa kini menyatu dengan ketidaksukaannya akan sistem sosial di SMA Kebangsaan, dan dia punya firasat kedua hal itu akan melahirkan sesuatu yang juga tidak dia sukai. “Kamu tahu sendiri kan, bapaknya Dewa itu siapa?”

- - - - - - - -

Sejak mereka keluar dari parkiran motor SMA Kebangsaan, Mary sadar ada yang tidak beres.

“Beb? Kenapa, sih?” Mary bertanya untuk keempat kalinya. Kocokan gas motor Byson itu masih saja tidak terkendali. Dewa membawa Mary menerobos lampu merah simpang Sekip. Seorang polantas yang berdiri 20 meter di depan mereka merentangkan tangannya ke arah trotoar dan meniup peluit. Itu aba-aba agar Dewa meminggirkan motornya.

“Beb!”

Lihat selengkapnya