Buku Harian Fajar

Ahmad Redho Nugraha
Chapter #22

Keping 21 - Jukstaposisi

“Mana orang itu?”

Belum jelas bagi Fajar siapa “orang itu” yang Cek Nisa maksud.

“Si Tua Bangka,” tambah Cek Nisa dingin. Pintu kulkas di belakangnya menutup dengan bunyi berdebam, sementara Cek berjalan menuju kamar Fajar sambil melalap potongan kates yang dia ambil dari kulkas.

“Nyai Yani?” Fajar bertanya memastikan. “Nginep di 26 Ilir, tempat Wak Nangcik.”

Cek Nisa membuka pintu kamar Fajar, kemudian menghenyakkan tubuhnya begitu saja di kursi belajar Fajar untuk menghabiskan sisa katesnya. Fajar melirik isi kamarnya yang kini sudah berantakan. Cek Nisa ternyata sudah memasuki ruangan itu sebelum Fajar pulang. Fajar tidak ingat jika Cek Nisa masih menyimpan kunci kamarnya. Sebuah ransel teronggok miring di dekat kaki dipannya, menumpahkan sebagian isinya ke lantai papan.

“Baguslah,” Cek Nisa menyahut jawaban Fajar. “Aku sudah siap-siap kalau harus ribut dengan dia, tapi begini lebih baik. Aku bisa hemat tenaga.”

Setelah sekian lama menghilang, kini sosok kakak perempuannya itu tiba-tiba saja berada di hadapan Fajar. Tapi mengapa? Hati Fajar yang seharusnya senang justru tertutup perasaan curiga. Fajar mengamati Cek Nisa menghabiskan potongan buah katesnya dengan waspada.

“Cek bawa makanan, Jar,” Cek Nisa menunjuk sekotak keripik bayam yang tergeletak di salah satu sudut kamar, tempat tasnya tumpah berantakan. “Tapi sudah Cek makan dikit pas di jalan.” Setelah menandaskan hidangan pelancar berak Nyai Yani, Cek Nisa berdiri dan merogoh kantong jaketnya yang tergantung di kapstok di sebelah lemari.

Begitu saja? Batin Fajar. Tidak ada penjelasan apapun?

“Cek Nisa selama ini ke mana?” Fajar berdesis kesal. Cek Nisa bertingkah seolah tidak ada yang aneh dengan kemunculannya kembali di rumah Kemas Fuadi, padahal harusnya hal itu yang pertama kali dia jelaskan saat mereka bertemu.

“Dari mana?” Cek Nisa mengangkat jemari ke depan mukanya, lalu mulai menghitung. “Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor...” ada jeda sekilas yang sulit disadari saat Cek Nisa akan menyebut kata berikutnya. “...Bandung. Tapi gak ada Ibu di sana.”

“Kenapa Cek Nisa pergi ke semua tempat itu?”

Cek Nisa bersedekap dan menatap Fajar dengan heran.

“Karena Cek kabur dari rumah,” ujarnya lambat-lambat.

“Kenapa Cek kabur dari rumah?!” Fajar setengah terpekik. Dia sudah jengah dengan tingkah kakaknya. Cek Nisa menghilang lebih dari setahun tanpa meninggalkan penjelasan apa pun, tanpa komunikasi apa pun, dan menurut Fajar tidak ada waktu yang lebih tepat bagi kakaknya untuk memberikan penjelasan selain saat itu juga.

“Nama Kemas Fuadi itu masih tergantung di atas pintu masuk rumah ini, Jar. Sejak awal tempat ini nih emang bukan rumah kita,” Cek Nisa tampak akan membuka sebuah topik yang problematis. “Menurutmu kenapa Ibu kabur dari rumah ini?”

Fajar terdiam. Itu bukan pertanyaan yang seharusnya Fajar jawab sendiri. Seharusnya Cek tanyakan itu pada Ibu, karena aku juga mau tahu jawabannya.

“Karena sejak awal, dia gak merasa tempat ini tuh rumahnya,” Cek Nisa menunjuk lantai papan kamar yang diinjaknya, dengan dramatis. “Ini nih rumah bapak kamu, Fajar. Rumah kakek dan nenek kamu, dan rumah nenek moyang mereka. Tapi bukan rumah Ibu, bukan rumah Cek, bukan rumah kamu.”

“Dari awal kita pindah kesini setelah bisnis bapak kamu bangkrut, Cek gak merasa kita diperlakukan kayak penghuni rumah ini. Kita tuh kayak pendatang. Pecundang. Bapak kamu tuh anak yang balik ke rumah orangtuanya lagi karena gagal menata kehidupannya sendiri. Itu, bapak kamu, Kemas Fuad Thamrin itu, kalau kamu mau tahu. Begitu orang-orang di kampung ini ngomongin dia.”

Fajar sadar percakapan mereka tidak akan berlangsung singkat dan menyenangkan. Cek Nisa mungkin akan terus mengoceh tentang kehidupan keluarga mereka yang tidak sempurna hingga setengah jam ke depan. Fajar pun duduk di atas kasurnya.

“Aku tahu apa yang kamu pikir. Gak ada tempat pulang yang lain, kan? Itu satu-satunya alasan kita masih tinggal di sini. Dulu. Tapi orang beriman saja gak selamanya tinggal di neraka,” Cek Nisa tampak merogoh kantong celana jins yang dia pakai, tapi tidak menemukan apa-apa. “Pinjem kunci gerobok, Jar.”

Fajar menurut saja pada perintah Cek Nisa. Dia membuka ritsleting tasnya yang paling kecil dan meraba-raba isinya.

“Sama seperti Ibu, Cek cuma nunggu punya alasan untuk pergi dari rumah ini, dan mencari rumah baru di tempat lain.”

Fajar teringat insiden malam itu, sehari sebelum Cek Nisa minggat dari rumah Kemas Fuadi. Nyai Yani menampar Cek Nisa. Tentu itulah alasan yang selama ini ditunggu-tunggu oleh Cek Nisa, tiketnya untuk keluar dari rumah itu dengan tekad yang lebih bulat.

Perasaan Fajar seperti diaduk. Dia jengkel pada kakaknya sendiri, namun di satu sisi juga merasakan kebenaran dalam alasan-alasannya. Satu-satunya sudut di dalam rumah itu yang bisa membuatnya nyaman selama ini hanyalah kamarnya. Sisa ruangan lain dan potongan-potongan papan di rumah panggung itu adalah teritori asing bagi Fajar. Tapi setidaknya Fajar bisa bernaung di situ, di rumah Kemas Fuadi, meski dengan segala ketidaknyamanannya. Apa yang membuat Cek Nisa berani menukar tempat kembali satu-satunya itu dengan ketidakpastian di luar sana?

“Kalo gitu, kenapa Cek balik lagi kesini?”

Cek Nisa menerawang langit-langit kamar yang berdebu.

“Dan kenapa harus pergi ke luar Palembang? Cek bisa aja ngekos di tempat lain di Palembang, cari kerja di Palembang. Kita gak perlu terpisah,” sambung Fajar tanpa ampun.

Sinar matahari terbenam sudah tertutup bayangan rumah tetangga mereka di seberang dam. Kamar itu mulai gelap, dan Fajar tidak bisa melihat ekspresi Cek Nisa dengan jelas. Tapi dia berani bersumpah jika Cek Nisa tersenyum sedikit.

“Maaf ya, Jar. Seharusnya memang bisa begitu--Ah, baru inget. Kuncinya Cek taruh di dalam tas, gak usah, Jar.” Cek Nisa lalu memungut tasnya yang tergeletak, dan menarik keluar serangkaian kunci kecil-kecil dari dalam salah satu kantongnya.

“Panjang ceritanya, Jar,” sambung Cek Nisa. Seolah untuk mengimbangi kata-katanya sendiri, Cek Nisa pun menghela napas yang teramat panjang. Dia sungguh lelah sekali, baik karena perjalanan darat 18 jam naik bus dari Jakarta ke Palembang, maupun karena jalan hidup yang dia pilih. “Cek gak bisa cerita semuanya. Ingetnya aja udah capek. Intinya, Cek juga sebenernya takut mau ninggalin Palembang, mau ninggalin tempat ini... Mau ninggalin kamu. Tapi percayalah, saat kamu udah ngerti, kamu bakal sadar kalo Palembang ini kota yang kecil banget. Ada banyak banget tempat yang bisa kamu kunjungin dan kamu jadiin tempat tinggal. Tapi semua itu cuma bisa dicapai kalau kamu siap ninggalin apa yang ada di belakang kamu. Semuanya.”

Tak peduli seberapa keras Fajar berusaha mencerna semua pemikiran Cek Nisa dengan otak remaja SMA-nya, meninggalkan rumah untuk tujuan yang tidak pasti tetap saja terdengar tidak masuk akal baginya.

“Kita bisa aja pergi bareng,” celetuk Fajar. Dia tidak benar-benar serius saat mengatakannya, tapi Cek Nisa menyambar respons tersebut dengan cepat.

“Kamu belum tamat SMA. Seenggaknya kamu butuh ijazah SMA untuk bisa dapet pekerjaan yang layak di rantauan.”

Cek Nisa memilah anak-anak kuncinya, lalu menghadap kembali ke gerobok.

“Cek masih belum jawab tadi. Kenapa Cek balik kesini?” Fajar hampir berharap semua cerita Cek Nisa tentang asyiknya merantau sebenarnya hanya kelakar betok, dan Cek Nisa sebenarnya akan kembali tinggal bersama Fajar di rumah Kemas Fuadi.

“Ada beberapa barang yang mau Cek ambil, Jar,” jawab Cek Nisa tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengaduk-aduk isi laci kecil di gerobok tua itu. Satu-satunya laci yang selama ini tak bisa dibuka karena Fajar tidak memiliki kuncinya.

Sembari memindahkan beberapa helai pakaian dan berkas dari dalam lemari ke dalam tas jinjing besar, Cek Nisa bercerita tentang kehidupannya yang berpindah-pindah di Jabodetabek. Tentang susahnya mencari kosan sebagai perantau dari Palembang. Tentang pempek di Jakarta yang terlalu mahal, terlalu medok dan cukonya yang terlalu manis. Tentang sarana transportasi publik yang terintegrasi dan efisien. Tentang pekerjaan pertamanya di warung nasi padang. Cek ternyata minggat malam itu dari rumah Kemas Fuadi tanpa membawa salinan kartu keluarga ataupun ijazah sementaranya. Berbekal KTP sementara dan surat keterangan lulus SMA, hidupnya serba sulit.

“Sekarang Cek kerja di pabrik roti. Shift-nya malam, tapi gajinya ‘gede’, jadilah. Butuh waktu lama sampe Cek bisa dapet kerjaan begini tanpa pake ijazah. Ternyata banyak banget berkas yang perlu dibawa biar bisa hidup dengan layak di sana.”

Fajar menerka segaris kegetiran dalam nada bicara Cek Nisa. Diam-diam, dia pasti menyesal karena meninggalkan rumah dengan terburu-buru pada malam itu, ketika pipi kirinya masih kebas oleh bekas tamparan Nyai Yani.

“Tadi Cek bilang Ibu gak ada di Bandung. Tahu dari mana?” Di dalam pikiran Fajar, pastilah selama ini Cek berusaha mencari ibu mereka di segala tempat yang dia kunjungi. Cek Nisa berhenti mengaduk-aduk isi lemari dan sepenuhnya menghadap Fajar.

“Kamu masih mau cari dia, Jar?”

Fajar tertegun. “Iya...?”

“Apa yang mau kamu lakuin kalo ketemu sama orangnya? Mau ajak dia pulang ke sini?”

Fajar paham kemana Cek Nisa menggiring percakapan mereka. Setelah segala bacotannya tentang rumah Kemas Fuadi, ide untuk mengajak ibunya tinggal kembali di rumah itu tentu saja akan terdengar bodoh.

“Dia gak ada dimana-mana, Fajar. Cek sudah cari,” Cek Nisa terdengar seperti sedang menenangkan seseorang yang tengah tantrum. “Inget kata Cek tadi---”

“Rumah ini bukan rumah dia,” sela Fajar. “Tapi setidaknya dia bisa ajak kita pergi juga dari sini, ke tempat dimana pun dia tinggal sekarang.”

“Tahu gak? Dulu Cek juga mikir begitu. Kalau memang gak betah disini, terus kenapa dia pergi sendirian dan ninggalin kita?” Cek Nisa tertawa getir. “Tapi sekarang justru Cek yang ada di posisi dia, dan Cek jadi paham apa sebabnya.”

“Apa?” tanya Fajar.

“Mungkin kehidupan dia setelah pergi dari sini gak lebih baik, Fajar. Mungkin saat pergi dari sini, dia sendiri gak tahu harus kemana, dan dia pikir gak mungkin dia bawa dua anaknya yang masih kecil pergi tanpa tujuan yang jelas. Dia pilihin kita neraka mana yang kita tempatin, dan menurutnya lebih baik kita di sini. Setidaknya kita bisa makan dan sekolah, walau tersiksa batin.”

Fajar lagi-lagi kesulitan menerimanya. Meski bisa melihat sisi realistis dari keputusan Cek Nisa dan ibunya, dia lebih ingin menuding mereka berdua egois. Jika rumah Kemas Fuadi memang bukan rumah mereka, lantas kenapa sekarang hanya Fajar yang harus tinggal disana, sementara mereka berdua bebas pergi kemana pun?

“Kamu gak harus ngerti sekarang, Jar,” Cek Nisa duduk dan memijat-mijat tengkuknya. Cek Nisa tampak lebih kurus dibandingkan saat dia meninggalkan rumah. Kehidupan rantaunya mungkin berat, tapi itu tidak menghapus kekesalan Fajar kepadanya

“Menurut Cek, Ibu ada dimana?”

Cek Nisa tidak langsung menjawab. Fajar kira rekaman ceramah K.H. Zainudin M.Z. yang diputar dari langgar di kejauhan telah menutupi pendengarannya. Tapi ternyata Cek Nisa sedang memikirkan sebuah jawaban.

“Semarang. Mungkin.”

Walau nilai Geografinya tidak jelek, Fajar juga tidak tahu banyak soal Semarang, selain kota itu adalah Ibukota Provinsi Jawa Tengah.

“Itu jauh dari Bandung?”

Lihat selengkapnya