Buku Harian Fajar

Ahmad Redho Nugraha
Chapter #23

Keping 22 - Kakak - Adik

“Jadi kayak anak SD,” omel Okta di sebuah jam istirahat.

Bu Monang bukan hanya menukar-nukar posisi duduk mereka sekelas, tetapi juga memberlakukan rotasi tempat duduk setiap pekannya dengan pola yang aneh. Setiap Senin pagi, siapapun yang duduk di bangku sebelah kiri akan mundur satu meja ke belakang, sehingga seisi kelas akan memiliki teman sebangku yang berbeda setiap minggunya.  

“Lagian kenapa cuma yang sebelah kiri yang dipindah-pindah?” Okta mengunyah pempeknya dengan sebal. Pengubahan posisi tempat duduk membuatnya terpental persis ke depan meja guru, sementara Wawan terpojok sendirian di bangku paling belakang, tepat di belakang Fajar.

Fajar sendiri kini duduk sebangku dengan Irma. Senin depan, Dahlia akan satu bangku dengan Akmal, dan Fajar masih butuh setidaknya 13 minggu lagi untuk bisa kembali satu bangku dengan Dahlia.

“Kalian mau gabung ke OSIS sama Dahlia?” Fajar tiba-tiba bertanya asal.

“Gak, deh. Aku udah ikut basket,” jawab Okta.

“Ta, kita sama-sama tahu aja gimana kamu di basket,” serang Fajar. Tapi sebelum Okta mulai mengoceh, Fajar beralih ke Wawan. “Kamu gimana, Wan?”

Wawan tidak langsung menjawab. Dia bengong sejenak.

“Wan?”

“Kayaknya gabung, deh,” Wawan menyimpulkan. Ada yang aneh dengan Wawan, baik Okta maupun Fajar bisa merasakannya. Tapi mereka tidak menggubris setitik perasaan yang mengganggu tersebut. Sesuatu yang akan mereka sesali di kemudian hari.

“Jangan bilang kamu mau ikut Dahlia juga?” Okta mendelik Fajar.

“Gak, lah. Aku udah ikut jurnalistik,” Fajar menirukan cara Okta menjawab dengan menyebalkan. Fajar akan senang bisa kembali dekat lagi dengan Dahlia, tapi sejak awal bergabung ke OSIS hanya keinginan Dahlia, bukan keinginan Fajar. Ada sesuatu tentang OSIS yang tidak cocok dengan Fajar.

“Bertha juga mau ikut masuk OSIS. Yanto sama Gilang belum kutanya...”

“Gilang? Gabung OSIS? Gilo,” cemooh Okta. Wawan tertawa.

Kamu gila banget kemarin sampe ngajak Gilang gabung ke timses kita. Aku gak nyangka,” timpal Wawan.

“Dahlia bisa bersaing sama Noval juga berkat Gilang, tau,” Fajar merasa getir sekali karena harus membela Gilang.

“FAJAR!”

Saat mereka bertiga mendongak, tangan Gilang yang besar telah merangkul bahu Fajar.

“Makan apa kau?” Gilang bertanya. Seisi kantin menatap mereka karena suara Gilang yang menggelegar. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Gilang, tapi Gilang begitu saja mendudukkan tubuh besarnya di sebelah Fajar dan menaruh piring makannya di atas meja. Okta dan Wawan menelan ludah. Tidak ada yang berani membuka obrolan baru.

“Gak bosan kalian makan model sama pempek? Mau makan steak?” Mereka bertiga melongo.

“Mau,” cicit Wawan begitu saja. Okta menatapnya tidak percaya. Gilang lalu meneriaki pesanan satu porsi steak kepada Bunda Theresa yang jauh, sama sekali tidak peduli dengan semua orang yang menatapnya sebal karena dia berisik.

“Kalian gak mau?” Gilang bertanya kepada Okta dan Fajar. Fajar menolaknya dengan sopan, bilang jika Okta sudah makan dua piring. Okta kembali menelan ludah--untuk alasan yang berbeda. Dan dia menelan ludah lagi saat pesanan Gilang tiba di hadapan Wawan.

“Kenapa sih, malu-malu? Dasar orang Palembang,” keluh Gilang, terdengar seperti marah. Fajar tertawa melihat wajah Okta yang jelas-jelas kepunan. Menu yang ada di hadapan Wawan sekarang adalah menu makan siang yang tidak mampu mereka beli selama ini karena uang jajan mereka setiap hari cuma 10 ribu perak. Steak hanya ada di Kantin Bunda Theresa, dan yang biasa membelinya hanya anak-anak orang tajir.

“Gimana Projek T? Lancar?” Fajar bertanya pada Gilang, berusaha memecah keheningan yang tidak wajar. Dahi Gilang mengkerut, tidak paham apa maksud Fajar. Fajar kemudian mengeja nama Tara tanpa suara. Barulah Gilang ber-oh panjang seperti orang bodoh.

“Justru itu yang mau aku obrolin sama kau. Responnya sangat baik, kawan.” Bulu roma Fajar meremang karena penggunaan kata “kawan” yang tidak wajar tersebut.

Lalu sekonyong-konyong tanpa diminta, Gilang mengeluarkan ponsel BBM Gemini-nya dan menunjukkan riwayat chat-nya dengan Tara. Okta memiringkan kepalanya, berusaha menerka apa yang sedang dibahas Fajar dan Gilang.

Fajar membaca salah satu pesan yang dikirimkan Gilang kepada Tara:


TTM (Tebak-Tebakan Maksa)

1. Kenapa bebek goreng rasanya enak?

Karena ada huruf ‘B’ nya. Coba kalo nggak ada, siapa yang berani makan?

2. Kalau semua jenis hewan sekolah, siapa yang sering terlambat?

Kluwing (kaki seribu). Soalnya, kakinya banyak, jadinya kalau pakai sepatu kelamaan.

3. Hitam, putih, merah, apakah itu?

Zebra abis dikerokin.

4. Apa beda soto ama coto.

Soto dari daging sapi, coto dari daging capi.

5. Kenapa Superman bajunya pake huruf S?

Karena kalau pake M atau L kegedean.

6. Kentang apa yang bisa bikin bayi ketawa?

Kentangtingtungtingtangtingtung

7. Bagaimana cara yang paling cepat menggemukkan badan?

Masuk ke sarang lebah!

8. Apa beda matahari sama bulan?

Matahari ada diskon, bulan nggak ada

9. Manusia pertama yang mendarat di bulan adalah Neil Amstrong. Trus, hewan apa yang pertama kali nyampe di bulan? Burungnya Neil Amstrong

10. Kenapa di keyboard komputer ada tulisan ENTER?

Karena kalo tulisannya ENTAR, programnya ‘ngga jalan-jalan 

Selamat istirahat All,,,

 

Susah-payah Fajar menghalau secondhand-embarassment. Di antara segala macam cara untuk membuka obrolan di BBM, Gilang memilih mengirimkan broadcast lelucon-lelucon jayus. Fajar tidak tahu apa yang harus dikatakannya, karena Gilang jelas-jelas tidak tahu bagaimana caranya mendekati perempuan. Benar-benar gelap.

Fajar dengan sungkan menggulirkan trackpad BBM Gilang, lalu membaca kelanjutan chat Gilang-Tara.

Tara: wkwkwkwk ngakak banget astaga

Ternyata Tara merespons. Gayung Gilang bersambut. Tapi anehnya, Gilang tidak menanggapi respons Tara. Dia justru membalas chat itu dengan mengirim broadcast  lainnya. Lelucon jayus lainnya.

Tara: Hahaha

Lalu Gilang kembali mengiriminya broadcast lelucon lainnya. Siklus itu terus berlangsung selama 4 hari, sebelum akhirnya Tara berhenti membalas Gilang.

“Menurutmu kenapa dia berhenti balas?” Gilang bertanya.

Menurutmu kenapa?! pekik Fajar di dalam hati.

“Oh, kalian lagi bahas cewek,” Okta ikut campur. “Siapa, sih?”

“Kau kenal Tara?” Gilang menyebut namanya tanpa sungkan. Okta berseru, karena dia juga satu SMP dengan Tara. Dan obrolan mereka berdua tiba-tiba saja menjadi nyambung.

“Jadi menurutmu gimana?” Gilang bertanya pada Okta, hampir seperti meminta-jika suaranya tidak seperti orang bertengkar.

“Hm...hm..hmm...” Okta mulai sok serius. “Bukan mau mengecilkan semangat, tapi susah, Gil...”

“Semuanya mungkin kalau ada kemauan!” Gilang seperti membentak.

“Iya, tau! Aku gak bilang gak mungkin, cuma, susah...” Fajar lega sekali karena kata-kata Okta mewakili pendapatnya sendiri. “Tara itu banyak yang naksir, lho.”

“Mereka semua bisa kuhajar!”

“Tapi selama kukenal, dia gak pernah mau pacaran sama siapapun.”

“Kenapa?”

“Karena dari SMP dulu dia cuma suka sama satu orang,” Wawan tiba-tiba memutuskan bersuara, dengan rai tambeng-nya. Fajar seketika basah kelek.

Lihat selengkapnya