“Cepet dikit, oi!”
Fajar menjinjing perlengkapan dan aset mading bersama anggota ekskul Jurnalistik lainnya, memasuki gedung olahraga SMAN 15 Palembang. Wanda tak sudah-sudahnya mengomel, padahal Fajar satu angkatan dengannya. Biarlah, pikir Fajar. Perempuan ngebos itu sebenarnya tidak bisa apa-apa tanpa Fajar dan tim mading mereka. Fajar ingin membiarkannya merasakan post-power syndrome setelah masa jabatnya berakhir. Di dalam gedung itu, puluhan orang dari berbagai SMA sudah duduk di lantai dan berjibaku dengan mading mereka masing-masing.
Dalam lomba kali ini, Ekskul Jurnalistik “dibonceng” oleh Paskibra SMA Kebangsaan yang diundang mengikuti lomba di SMAN 15 Palembang, sekolah yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Fajar. Sekolah itu menggelar lomba selama seminggu penuh, dan Ekskul Jurnalistik SMA Kebangsaan mendapat dispensasi di hari Sabtu.
Mereka sebenarnya tidak perlu melakukan banyak hal, karena sebagian besar aset mading yang mereka lombakan sudah selesai dikerjakan di sekolah selama seminggu terakhir. Sekarang Fajar, Irma dan Vita hanya perlu menyusun carikan kertas dan potongan gabus ke permukaan tripleks yang menjadi papan mading mereka. Fajar melihat berkeliling, memastikan Wanda sudah jauh, lalu duduk bersila di sebelah Irma yang sedang memotong-motong double tape.
“Irma... Aku mau tanya sesuatu...”
Irma menatap Fajar dengan penasaran. Meski sudah satu tahun berada di ekskul yang sama, itu mungkin pertama kalinya Fajar benar-benar mengajaknya bicara selayaknya teman.
“Kenapa, Jar?”
“Kamu kayaknya kenal deket sama Kak Citro, ya?”
Irma tersenyum bingung. Dia berusaha menerka apa yang ingin Fajar tanyakan.
“Sebenernya gak deket-deket amat, sih. Tapi kami satu komunitas di HoC, jadi saling kenal aja,” terang Irma. “HoC itu Hooked on Classic, komunitas motor Vespa. Citro sama temen-temennya yang buat.”
Sebuah sumbat yang besar seperti tersangkut menutupi tenggorokan Fajar. Ia merasa akan menyakiti dirinya sendiri jika bertanya lebih jauh, tapi dia juga terdorong rasa penasaran.
“Dia orangnya kayak gimana, sih?”
“Dia...ehm, baik? Tipikal orang yang bertanggung jawab sama kerjaan.” Irma sendiri terdengar ragu. “Bentar, kayaknya aku tahu kamu mau ngomongin apaan.”
“Apa?”
“Kamu pikir Citro sama Dahlia pacaran?”
Dada Fajar rasanya seperti ditohok. “Memangnya mereka pacaran?”
“Setahuku, sih...” Irma terkikik geli. “Citro udah punya pacar. LDR. Orangnya kuliah di Jogja--iyes, dia pacaran sama yang lebih tua! Tapi itu gosip, sih. Ada yang bilang itu sebenernya kedok aja biar gak ada cewek yang deketin Citro. Gak tahu deh, Jar, dia tuh kalo lagi ngumpul biasanya kalo gak ngebanyol, pasti ngomongin musik kalo gak motor, gak pernah bahas soal urusan pribadinya.”
Misterius. Sumbat di dada Fajar seperti melonggar sedikit, tapi dia belum lega.
“Beneran?”
“Iya, sumpah!” Irma mengangkat dua jarinya. “Tapi banyak hal tentang dia yang emang misterius, sih. Kabarnya orangtuanya stay di luar kota, jadi dia tinggal sendirian di Palembang, makanya pergaulannya lumayan bebas.”
“Bebas gimana?”
“Ya paling kecil ngudut lah--tapi aku gak ikutan, ya! Ini sih gak ada obatnya, dia tuh perokok berat berat berat banget.”
Fajar tiba-tiba saja membayangkan Citro di posisi abahnya, yang mencari-cari uang dua ribuan di sela-sela lemari untuk membeli sebatang Sampoerna.
“Menurutmu dia deket sama Dahlia?” Fajar menoleh ke kanan-kiri, memastikan suaranya tidak terdengar oleh orang lain selain mereka berdua.
“Sejujurnya, ya...” Irma membuka dengan dramatis. “Aku gak akan heran kalau mereka beneran deket. TAPI....”
Fajar berkeringat.
“Dahlia tuh kayaknya gak akan segampang itu pacaran sama orang yang baru dia kenal.”
Fajar menghela napasnya dengan lega. Dalam hal ini, Fajar sepakat dengan Irma.
“Selama ini emang gitu, kan? Yang nentuin jadian atau gak tuh pasti cewek. Jadi menurutku, selagi Dahlia gak mau pacaran, mereka bakalan cuma deket, tapi gak akan sampe pacaran,” kata Irma. “Jadi semuanya balik lagi sama keputusan Dahlia.”
Sumbat di tenggorokan Fajar terangkat sepenuhnya. Dia tidak takut lagi melanjutkan pertanyaannya. Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal. Fajar memain-mainkan butiran gabus dengan gelisah, seraya menimbang apa dia masih perlu mendengar lebih banyak.
“Waktu aku ngeliat mereka berinteraksi...” Fajar mengatur napasnya. “...aku ngerasa emang ada sesuatu yang gak biasa. Apa namanya? Sesuatu yang mutual. Ketertarikan yang sama...” Fajar menatap Irma dengan gelisah, berusaha memastikan jika Irma tidak akan menghakiminya karena percakapan ini. “Pernah gak sih, kamu suka sama seseorang, ngerasa cocok sama seseorang, tapi ternyata cuma kamu sendiri yang merasa gitu? Ternyata orang itu malah ngerasa cocok sama orang lain?”
Irma masih menyimak Fajar sambil menyeringai.
“Terus kamu jadi ngerasa gak asik di mata orang yang kamu suka, dan mulai bertanya-tanya, kira-kira perasaan ini masih perlu disampein gak, sih.”
“Aku gak terlalu paham sih, Jar, soal perasaan begitu. Soalnya aku belum pernah pacaran, dan gak pernah tertarik banget sama orang lain,” Irma berbisik. “Tapi kalo buat aku sih, cinta itu harusnya diperjuangin, bukan cuma dipendam.”
Kali ini Fajar merasa seperti ditampar.
“Inget kata Bill Gates,” Irma menatap Fajar dengan serius. “20 tahun dari sekarang, kamu bakal lebih banyak nyesel karena hal-hal yang gak kamu perbuat, daripada nyesel karena hal-hal yang udah kamu perbuat.”
Fajar tidak ingat kapan Bill Gates pernah bicara begitu, tapi itu sekarang tidak penting.
“Intinya, kamu suka sama Dahlia, kan?”
Fajar tiba-tiba saja fokus pada rubrik mading di depan hidungnya yang sedari tadi tertempel di sana: Tips Mencegah Kebotakan Dini.
“Iya...” bisik Fajar tanpa menatap Irma, hampir tidak terdengar.
“Berarti seharusnya kamu nyatain perasaan kamu ke Dahlia, Jar.”
“Gak segampang itu, Irma,” sangkal Fajar. “Kami sekarang temenan. Gimana kalau dia gak suka? Kami mungkin gak akan bisa temenan lagi.”
“Kalau kamu mau temenan sama dia terus, berarti kamu harus rela lihat dia jadian sama cowok lain,” Irma menyimpulkan tanpa perasaan. “Gimana, sih? Kamu mau dapet sesuatu, tapi gak mau kehilangan apa-apa. Padahal kalo emang Dahlia nolak, kamu bisa move on, terus cari cewek lain untuk kamu tembak.”
Di sanalah obrolan Fajar dan Irma tidak lagi sefrekuensi. Menurut Fajar, mengikuti saran Irma yang sendirinya tidak pernah pacaran, hanya akan membuatnya celaka. Dan Irma tentu saja tidak akan bertanggung jawab untuk keputusan yang diambil Fajar.
“Tapi mau gimana pun, aku dukung, kok. Semangat, ya!” Irma menepuk bahu Fajar dengan sebatang gabus. “Ada lagi yang mau kamu tau soal Citro?”
“Menurutmu kalau Citro nembak Dahlia, berapa persen kemungkinan dia diterima?”
“Astaga, aku bukan kalkulator cinta!” Di kejauhan, Wanda yang sedang makan Pop Mie tiba-tiba menatap mereka berdua. “Tapi aku bisa tanya langsung ke Dahlia nanti malam. Kebetulan banget kami mau nginep di rumah dia.”
“Serius? Siapa aja?”
“Aku, Bertha, Tara, sama temennya Tara satu lagi yang anak IPA... siapa sih namanya? Anak Rohis.”
“Nurjanah?”
“Iya! Yang mukanya bold kayak preman itu kan?”
Fajar pikir mulut Irma memang perlu ditatar agar kata-katanya tidak lagi sembarangan. Dan tanpa alasan yang Fajar mengerti, dia merasa sedikit tersinggung. Dahlia mengadakan acara menginap di rumahnya, dan dia tidak memberitahu Fajar sama sekali?
“Tapi tunggu dulu,” Fajar tiba-tiba berseru. “Jangan tanya pake nama aku dong!”
“Wani piro?”
Yang benar saja!
“Kidding, Jar! Kamu tuh serius banget, ya, jadi orang?” Irma tertawa. “Aku bisa tanya lebih jauh lagi soal Citro ke Dahlia, nanti aku sampein update-nya ke kamu, ya!”
“Makasih banget, lho!”
“Aku jadi penasaran, siapa sih yang bakal dapetin dia?” Irma tertawa. Fajar seketika merasa seolah-olah dia dan Citro tengah menjadi hewan aduan, dan semua orang meletakkan taruhan mereka pada Citro. Tapi Fajar menepis imajinasi konyol itu dan kembali menekuni madingnya.
- - - - -
“Udah siap, kan?” Tanya Aswan.