Pagi itu langit gelap. Sesuatu yang berat dan tidak kelihatan seolah bergelantungan di bawah awan-awan kehitaman, siap merobek awan-awan tersebut dan menumpahkan isinya ke permukaan bumi kapan saja. Tiupan angin membumbungkan debu dan bungkus makanan ringan yang berserakan di lapangan upacara SD Karya Bangsa. Sebentar lagi akan hujan, dan jelas bukan hujan yang ringan. Rasanya lebih menyenangkan berdiam diri di kelas, pura-pura menyimak penjelasan Bu Nia yang tak lama lagi suaranya akan tenggelam oleh gemuruh hujan dan guntur. Tapi sesuatu yang tidak dimengerti oleh Fajar malah menarik kakinya untuk berlari ke tengah lapangan upacara, meninggalkan ruang kelas yang hangat dan nyaman.
“Dian!” pekik seseorang dari tempat Fajar berdiri, kepada seseorang yang ada di seberang lapangan.
Sosok pemilik nama Dian itu tampak berhenti berjalan dan menoleh ke arah Fajar. Beberapa langkah kemudian, Fajar bisa melihat makhluk bernama Dian tersebut dengan lebih jelas.
Dian tidak lebih tinggi dari Fajar, dengan rambutnyayang ikal dan pendek. Jam tangan bergambar Hamtaro melingkari lengan kirinya. Kacamata dengan lensa persegi bertengger di hidungnya yang mancung. Ia tampak seperti anak orang kaya yang terpelajar dan terawat, dan memang seperti itulah dia yang bisa diingat Fajar. Sifat tomboinya hanya bisa dianalisis pada potongan rambutnya yang pendek dan ransel sekolahnya yang tidak bergambar Barbie atau tokoh-tokoh Putri Disney seperti kebanyakan anak perempuan pada masa itu.
Berbeda dengan hari-hari lainnya, hari itu Dian tidak tertawa, atau berteriak, atau marah-marah, atau menjambak rambut dan dan memukuli anak laki-laki di kelas yang suka menjahili Fajar. Ia hanya tersenyum kecut, pias. Bingung. Sedih. Muram.
Fajar tidak ingat apa yang mereka bicarakan. Ia hanya ingat ada orang lain disitu, laki-laki dewasa yang membawakan ransel Exsport Dian, dan dia tak henti menatap Fajar dengan tidak sabar seolah Fajar sedang membuang detik-detik hidupnya yang sangat berharga.
Hal berikutnya yang diingat Fajar adalah, Dian meminta ransel sekolahnya kepada lelaki itu, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Sesuatu yang lalu ia berikan pada Fajar dan tidak akan pernah ia lupakan sampai kapan pun.
“Disimpan ya, Jar. Nanti baca di rumah aja,” bisiknya, yang dengan mengejutkan, justru sambil tersenyum. “Nanti kita ketemu lagi, ya.”