Seumur hidupnya, hanya ada dua perkara yang bisa menggerakkan Fajar untuk berangkat pagi-pagi ke sekolah : bagi rapor dan upacara bendera. Jika ada alasan ketiga, adalah karena Fajar akan berangkat ke sekolah dengan menebeng mobil Om Adi, tetangganya yang mengantar tiga anaknya ke sekolah setiap pagi. Tapi itu sudah lama sekali, sebelum anak-anak Om Adi kini bersekolah dan berkuliah di luar kota.
Kemudian pagi itu di Bulan Juli, Fajar menemukan alasan keempatnya untuk berangkat pagi ke sekolah.
“Kamu masuk kelas mana?”
“IPA 2 rin, alhamdulillah.”
“Kamu lulus dimana?”
“Aku di IPS 3.”
“Wah, sama!”
“Kalau kamu?”
“Aku gak lulus dimana-mana.”
“Lah, kok bisa?”
“Kan aku sudah kelas XII.”
“EH BANGKE!”
“Tapi doain aja lulus UN nanti hehehe.”
“Ogah, ah. Kan masih ada paket C.”
“EH, BANGKE!”
Percakapan-percakapan sejenis ramai terdengar di sepanjang selasar sekolah yang Fajar lewati, terutama di depan mading panjang tempat pengumuman pembagian kelas ditempel. Beberapa anak kelas XI yang baru datang seperti Fajar mau tak mau harus ikut bergabung ke dalam kerumunan ramai di depan mading demi melihat pengumuman itu.
Sejujurnya, Fajar tidak punya rencana matang apapun soal karier masa depan, sehingga penjurusan kelas IPA dan IPS seharusnya tidak punya dampak apa-apa kepada minatnya terhadap sekolah. Atau bisa dibilang, Fajar tak punya ambisi apa-apa di bidang akademik. Mau masuk IPA ayok, mau masuk IPS oke juga. Tapi walau terkesan seolah ia bebas memilih manapun di antara keduanya, sebenarnya tahun ajaran lalu Fajar habis diomeli wali kelasnya karena nilai Kimia dan Fisikanya yang anjlok. Maka wajar saja jika sekarang Fajar berdiri di depan selebaran pengumuman pembagian kelas IPS.
Berbeda dengan Fajar, beberapa teman sekelasnya saat kelas X yang nilai pelajaran MIPA-nya jatuh tetap bersikeras ingin masuk IPA, dengan cara menggibah atau menangis di depan wali kelasnya kalau perlu. Beberapa di antara mereka bahkan sampai melibatkan orangtua mereka saat bagi rapor untuk membujuk wali kelasnya hanya agar mau memasukkan mereka ke jurusan IPA. Mengapa pula jurusan IPS selalu disangkut-pautkan dengan segala ketidaksuksesan akademik di masa SMA? Ibaratkan umbra, sisi lain bulan yang tidak disinari matahari, jawabannya adalah gelap bagi Fajar. Ia tidak tahu. Atau mungkin, belum tahu. Tapi satu hal yang Fajar tahu pasti adalah, ia tidak ambil pusing soal jurusan IPA atau IPS. Aku hanya mau melanjutkan masa SMA-ku dengan lurus-lurus saja.
Akhirnya setelah menyikut dan disikut, mendorong dan didorong, menginjak kaki orang lain dan diinjak kaki orang lain, Fajar bisa menyeruak maju ke depan mading. Fajar langsung saja mencari namanya dari kelas XI IPS 5, kelas IPS paling buncit yang—katanya—tiap tahun selalu diisi anak-anak paling tekak bantah di seluruh angkatan. Tapi setelah ia mencari beberapa menit, ternyata namanya tidak ada disana.
Fajar eralih ke daftar penghuni kelas XI IPS 4. Setelah ia ulangi pencariannya beberapa kali, ternyata namanya juga tidak ada disana. Begitu pula di daftar nama siswa kelas XI IPS 3 dan XI IPS 2.
Sejenis perasaan mulas yang aneh menggelayuti ulu hati Fajar. Nah, bagaimana kalau ternyata ia malah dimasukkan wali kelasnya ke jurusan IPA? Itu tidak mungkin. Tapi apa sih yang tidak mungkin? Aneh, Fajar tiba-tiba cemas. Padahal beberapa detik yang lalu ia yakin sekali merasa akan baik-baik saja dimasukkan ke jurusan manapun. Tapi pada detik itu, Fajar cemas.
Fajar menggeser tempat berdirinya beberapa sentimeter ke kiri, lalu mulai mencari namanya di daftar siswa kelas XI IPS 1. Kemas Muhammad Fajrul Akbar.... Kemas Muhammad Fajrul Akbar.... Kemas....Kemas....K.....K....Karyono.....Kiki Aprilia... Kurniawan Muhammad...Lestari Maharani....
Namanya tidak ada di daftar calon penghuni kelas XI IPS 1. Fajar mengulangi pencariannya berkali-kali, berulang-ulang.
Mungkin namanya tidak diketik dengan ‘Kemas’, tapi langsung Muhammad Fajrul Akbar? Namun di sepanjang deret nama berawalan huruf M, tidak ada ‘Muhammad Fajrul Akbar’. Begitu pula di deret berawalan huruf ‘F’, tidak ada nama ‘Fajar’ atau ‘Fajrul’. Bosan mencari sesuai abjad, Fajar pun membaca daftar nama tersebut dari bawah ke atas, lalu dari atas ke bawah lagi. Nihil. Fajar mungkin akan membaca daftar nama itu lebih lama lagi kalau orang-orang di belakangnya tidak mulai bernapas di dekat telinganya, sehingga mau tidak mau Fajar menyingkir ke kiri, ke hadapan daftar nama siswa kelas XI IPA 4.
“FAJAAAR!”
Sesuatu menggebuk bahu kiri Fajar dari belakang dengan sangat keras. Fajar terkejut setengah mati.
“Wah, kamu keringetan!” pekik suara cempreng dari belakangnya. Baru Fajar sadari bahwa baju seragamnya lengket karena berkeringat. Ia sudah terlalu lama mencari namanya di depan mading.
Fajar menoleh ke belakang dan mendapati sosok perempuan yang tersenyum sumringah. Tara namanya. Mereka dulu pernah sekelas di kelas X.1 dan saat kelas VIII SMP. Dia seorang taekwondoin yang sangat ceria—kata pengganti yang halus untuk berisik. Tara senang sekali memanggil nama Fajar keras-keras saat mereka berpapasan di manapun, dan sialnya, mereka selalu saja berpapasan dimana-mana. Contohnya sekarang.
“Lagi cari nama kamu, ya?” tanyanya, dengan tingkat kegirangan yang kurang wajar.
“Iya, hehe.” Jangan tanya apa arti ‘hehe’ yang garing itu, Fajar sendiri juga tidak tahu. “Kayaknya aku masuk IPS. Kalau kamu di kelas mana?” tanya Fajar berbasa-basi.
“Kito nih sekelas, lolo! Di IPA 3!” Lolo adalah cara orang Palembang menyebut kata bodoh, dan masih tergolong lebih halus dibandingkan kata-kata padanan lainnya seperti buyan atau bengak—kenapa pula orang Palembang punya banyak cara untuk menyebut kata ‘bodoh’? Entahlah. Tentu saja Tara hanya bercanda, dia tidak betul-betul menganggap Fajar bodoh. Tapi setelah dia bilang begitu, Fajar hanya diam saja. Lebih karena dia bilang namanya ada di kelas XI IPA 3.
“Eh, maaf, ya...”
“Nggak, tar, bukan itu. Aku di kelas IPA 3?”
“Iya. Itu!” Jari Tara menunjuk tegas satu titik di kertas pengumuman, dan disanalah nama Fajar tercetak jelas dengan huruf balok. KEMAS M. FAJRUL AKBAR.
Fajar tercekat. Ia masuk IPA?
Fajar mundur keluar dari keramaian di depan mading dan menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal.
“Selamat ya, Jar!” Tara menepuk pundak Fajar lagi dari belakang, tapi kali ini dengan pelan, seolah-olah dia dokter bersalin yang mau mengucapkan selamat karena anak Fajar kembar tiga dan telah lahir dengan selamat. “Eh, nanti kita duduk deketan lagi ya, Jar! Biar aku bisa nyontek Bahasa Inggris sama Matematika, hehehe.”
Fajar hanya menatapnya dengan bingung.
“Jar, kamu kenapa? Marah, ya? Maaf lho—”
“Bukan Tar, bukan,” kata Fajar akhirnya.
“Terus kenapa?”
“Aku beneran masuk IPA?”
“Lah iya, beneran masuk IPA. Makanya aku ngucapin selamat!”
“Kukira aku masuk IPS.”
“Kamu maunya masuk IPS?”
“Nggak juga sih.”
“Nah, gimana tuh?”
Fajar juga bingung.
“Kalau mau minta pindah kelas nanti bilang aja sama Pak Karisman. Tapi kalo menurutku sih, mending jalanin aja dulu di IPA, Jar. Sayang, lho. Banyak anak yang mau masuk IPA tapi nilainya jelek, jadi malah masuk IPS. Lah kamu, udah masuk IPA tapi malah bingung,” pungkas Tara, sekarang terdengar agak cemas.
Fajar tahu bahwa suuzon itu tidak baik, tapi sebenarnya ia sudah lama curiga kalau Tara suka padanya. Siapapun mungkin paham bagaimana rasanya saat ada seseorang yang mencurahkan perhatian yang tidak wajar jenis perhatian yang tidak diharapkan. Dan Tara sering sekali menunjukkan perhatian-perhatian macam itu kepada Fajar sejak mereka kenal di SMP dulu, dan hal tersebut membuat Fajar merasa tidak nyaman. Tapi tentu saja ini hanya kecurigaannya, dan Fajar yakin jika ia menceritakannya pada orang lain, ia pasti akan dibilang sok ganteng. Disamping, Tara sebenarnya orang yang baik. Fajar hanya tidak mau memikirkan bagaimana cara merespons balik perasaannya—jika Tara benar-benar suka padanya.
“Jar? Mau kutemenin ke Ruang Guru?” kata Tara, yang sekarang menjentik-jentikkan jarinya di depan wajah Fajar.
“Eh? Nggak dulu deh, Tar. Kayaknya kamu bener, jalanin aja dulu, ya,” jawab Fajar, yang sadar bahwa dirinya sudah terlalu sering melamu tanpa sadar pagi ini.