Sekolah sebenarnya baru dimulai dua pekan lagi. SMA Kebangsaan hanya ramai sejenak karena pengumuman pembagian kelas. Jeda waktu dua pekan yang ada, menurut Fajar, sengaja disediakan sekolah bagi siswa-siswi yang ingin melunasi tunggakan pembayaran SPP, pembayaran daftar ulang tahun ajaran baru, membeli seragam baru atau untuk urusan yang paling ramai ‘digandrungi’ siswa kelas XI baru-baru ini : mengajukan permohonan pindah jurusan dari IPA ke IPS—atau sebaliknya.
Usai bertemu dengan Dahlia, Fajar pergi menemui Okta di parkiran motor. Okta sedang duduk di atas jok motornya sambil makan pempek.
“Aku masuk IPS 1, Jar,” kata Okta, sebelum menggigit pempek telur dari kantong plastik yang ia pegang. “Nah, jadi kita pisah kelas”.
“Oh, yaudah,” jawab Fajar ringkas.
“Kamu gak mau pindah ke IPS?”
“Nah itu, aku bingung.”
“Bingung kenapa?”
“Memang IPA sama IPS bedanya apaan, sih?”
Okta menatap Fajar dengan kepala yang dimiringkan—gestur yang sangat dikenali Fajar. Sebentar lagi dia akan menyemprot Fajar.
“APA BEDANYA, YA? Ya, gak ada sih. Terutama kalau kamu cinta mati sama pelajaran Pak Karisman. Terus, oh, iya, denger-denger Bu Pocong ngajar Fisika kelas XI. Terus, Bu Magdalena ngajar Biologi kelas XI. Tapi jangan harap dia baik lagi kayak pas ngajar kelas X—kan dia sendiri yang bilang dulu—dia cuma baik sama anak kelas X karena mereka baru mulai mengenal Biologi. Di kelas XI sama XII, siap-siap dihajar habis-habisan. Gak ada bedanya kan?” repet Okta.
“Jadi cuma gara-gara gurunya?”
“CUMA GARA-GARA GURUNYA? Memang sejak kapan kamu doyan pelajaran IPA, sih? Perasaan tiap ulangan pelajaran IPA kamu gak pernah dapat lebih dari 70!” hardik Okta.
“Pernah sekali dapat 90, waktu pelajaran Biologi,” tukas Fajar dengan bangga. Walau cuma sekali, tapi menurutnya Okta kurang ajar sekali kalau sampai melupakannya.
“Sekali, pas ulangan harian. Terus dapat 70 lagi pas Ulangan Semester.”
“Kamu juga gak ada bedanya,” balas Fajar enteng.
“Bedanya, aku masuk IPS, bukan IPA.” Okta berhenti sejenak untuk menghirup cuko pempeknya,
seolah-olah itu amunisi untuk senapan pelontar apinya yang sebentar lagi akan meletus. “Aku sadar diri aja, Jar. Kalau emang gak menguasai pelajarannya, terus gak doyan, terus gurunya galak-galak, ya ngapain juga aku masuk IPA?”
“Memang jurusan kita nanti ngaruh ya waktu kita tamat sekolah?”
“Ya tergantung, kamu mau lanjut kuliah atau langsung kerja? Kalau kuliah, mau kuliah di jurusan apa? Kalau mau kerja, setahuku dimana-mana perusahaan itu cuma cari tamatan SMA jurusan IPA atau SMK, paling banyak SMK jurusan kelistrikan sama mesin”, ujar Okta. Setelah mengatakannya, Okta termenung sejenak, menatap ke seberang lapangan parkir. Fajar ingat dulu Okta pernah bilang jika ia mau kuliah di Jurusan Teknik Tambang Unsri, tapi ternyata otaknya selalu jadi kurang secanting di setiap jam pelajaran Kimia dan Fisika.
“Wah, kalo gitu kamu aja yang pindah jurusan ke IPA, Ta,” guyon Fajar.
“Ngeri, bangke”.
“Tega kamu ya? Mampus aku ditindas Pak Karisman sendirian, remedial Kimia sendirian. Anak X.1 di IPA 3 cuma tiga orang.”
“Kenapa gak kamu aja yang pindah ke IPS? Biar kita tambah rame sekelas sekalian,” usulnya balik, seraya melempar plastik cuko pempeknya ke dalam selokan terdekat.
“Padahal kotak sampahnya deket banget,” salak Fajar.
“Biarin. Siapa juga yang mau marah? Pak Rizal?”
“Iya, Pak Rizal,” cetus suara bapak-bapak dari belakang bahu Okta.
Okta langsung melompat terbang dari jok motornya karena kaget, tapi Fajar tertawa terbahak-bahak. Begitu pula orang yang barusan bersuara mirip Pak Rizal.
“Ngejutin bae, monyet!” umpat Okta.
Wawan terpingkal-pingkal di sebelah motor Okta. Dari segi penampilan dan umur fisiknya, Wawan sebenarnya memang sudah cocok dipanggil ‘bapak’. Jenggotnya bersambung dengan cambang, tapi Fajar baru tahu kalau suaranya bisa mirip sekali dengan Pak Rizal, Waka Kedisiplinan SMA Kebangsaan.
“Kenapa, Ta? Mau pindah ke IPA?” tanya Wawan pada Okta.
“Mahip. Ini nih, Si Culun. Masuk IPA, tapi malah bingung mau pindah apa nggak,” kata Okta bersungut-sungut sambil menunjuk Fajar.
“Wah, Jar, kalo mau pindah ya sekarang aja, jangan nanti-nanti. Nanti kelas IPS keburu penuh. Gak lucu lah sekelas isinya 50 orang,” komentar Wawan. Meski Wawan serius, dia mungkin tidak tahu jika sebenarnya satu kelas di SMA mereka hanya bisa diisi 35 orang.
“Iya. Nanti, lah. Aku pikirin dulu bentar.”
“Ye, dibilangin jangan ntar-ntar, gimana sih,” cerocos Wawan.
“Kamu sendiri ngapain ke sekolah hari ini?” sambar Okta.
“Biasa, Ta. Ngurus SPP.”
Fajar dan Okta ber-oh pendek hampir berbarengan. Mereka sudah sama-sama paham tentang kondisi keuangan keluarga mereka satu sama lain, dan Wawan adalah yang paling kurang beruntung di antara mereka. Yang dia maksud mengurus SPP sudah tentu berarti melunasi tunggakan SPP-nya semester lalu. Fajar tidak tahu apakah Wawan sudah sekalian membayar uang daftar ulang dan SPP semester ini, dan ia tidak tertariku mencari tahu lebih jauh, begitu pula dengan Okta.
Setelah celoteh-celoteh tidak berfaedah lainnya, Okta dan Wawan akhirnya kompak mempengaruhi Fajar untuk pindah jurusan ke IPS.
“Kamu mau gak lulus UN?” Okta tembak lurus. Dasar sinting, pikir Fajar.
“Jangankan UN, Ta. Ujian semester aja pasti gagal,” kompor Wawan.
“Gilo, cak aku bengak nian,” kataku Fajar, tapi sambil tertawa.
“Jar, kita sudah temenan dari kelas VII SMP. Aku sudah tahu kamu luar dalem. Pasti sudah tamat sekolah, kamu gak tau mau lanjut kemana, kan?” pancing Okta.
“Paling kalau mau kuliah juga, ujung-ujungnya daftar kuliah di Jurusan Ekonomi,” sambut Wawan. Umpan bagus, bung.
“Nah, ngapain repot-repot sekolah jurusan IPA kalo ujung-ujungnya kuliah Ekonomi, HA—H ? Ngapain??” sundul Okta. Saat Fajar pikir mereka sudah sudah selesai, ternyata duo tengik itu justru terus menyerang.
“Kalo bukan Ekonomi, palingan Sosiologi,” Wawan ikut-ikutan.
“Ngapain belajar kimia, fisika, kalkulus, trigonometri, sin-cos-tan-tangen kalau kuliah jurusan IPS? BUAT APA HAAH?” serang Okta lagi, kali ini dengan penuh kesotoyan.
“Kalau bukan Sosiologi, palingan FKIP Bahasa Indonesia,” timpal Wawan lagi, tidak penting.
“Ngapain Jar, ngapain?”
“NGAPAI—N?”
“NGAPAIN WOY?”
Fajar masih heran mengapa Okta dan Wawan belum menjadi Top Leader di perusahaan MLM, karena mulut mereka pasti cocok sekali untuk dipakai menggaet calon downline. Dan sejujurnya bagi Fajar, beberapa poin Okta memang masuk akal. Ia memang tidak pernah tertarik dengan pelajaran IPA, kecuali biologi. Plus, Fajar memang belum tahu mau melangkah kemana setelah tamat sekolah—yang ia tahu pasti hanyalah, kapasitas otaknya bukan untuk jurusan-jurusan eksak macam Teknik, Fisika, Kimia, apalagi Kedokteran. Bujuk rayu dua ‘setan’ itu ternyata membawa pencerahan baru bagi Fajar, tanpa ia duga.
“Yaudahlah, kayaknya aku pindah jurusan aja,” kata Fajar akhirnya.
Wawan menepuk tangannya satu kali dengan riang, sementara Okta terpingkal-pingkal.
“Liat kan, masih lebih susah ngebujuk anak kecil tidur siang daripada ngebujuk Fajar pindah jurusan. Memang labil,” kata Okta disela-sela tawanya yang menjengkelkan.
Fajar mendorong mereka berdua dari atas motor Okta. Okta dan Wawan melompat menghindar, tapi helm-helm motor di sekitar mereka berjatuhan dengan berisik. Orang-orang di sekitar parkiran langsung melirik mereka bertiga dengan tatapan menghina, termasuk Satpam sekolah. Mereka semua langsung berhenti tertawa.
- - - - - - - - - -
Sebagai kompensasi dari keputusannya pindah jurusan, tentu saja Fajar harus menghadapi sesi “wawancara singkat” dari pihak sekolah, yang diwakilkan oleh Pak Karisman.
“Kenapa mau pindah ke IPS?” tanya Pak Karisman pada Fajar. Nada suaranya terdengar menyengat, tapi tampangnya datar-datar saja.
“Aku kurang suka sama pelajaran IPA, Pak,” lontar Fajar terus terang.
“Yakin kamu? Banyak yang kurang suka pelajaran IPA tapi malah minta dimasukkan ke jurusan IPA,” tukas Pak Karisman, seolah sekarang Fajar hendak memilih antara surga dan neraka, dan pilihan yang waras sudah jelas surga.
“Yakin Pak,” jawab Fajar singkat.