Alphard hitam itu berbelok tajam dan berhenti mendadak di depan gerbang besi setinggi tiga meter. Budi menglakson dua kali, lalu seseorang berseragam keamanan muncul, menggeser gerbang itu hingga terbuka sebagian. Budi menginjak pedal gas seperlunya, memutar setir ke kanan dan sebentar saja, mereka berdua sudah sampai di depan pintu rumah.
“Aku masuk lewat belakang aja, Bud,” kata Dahlia pada Budi.
“Tapi Bu Claudia nunggu di depan, Non,” jawab Budi.
“Ya justru itu, makanya aku mau lewat belakang aja”. Budi menatap Dahlia dengan bingung. Diantara semua anak majikannya yang pernah ia supiri, mungkin Dahlia yang paling aneh dan banyak tingkah. Tapi Dahlia yakin sekali Budi mengerti bahwa ia tidak akan mau turun dari mobil kalau Budi tidak menurutinya.
Benar saja, Budi langsung membawa mobil memutari rumah dua tingkat itu. Mereka melewati pekarangan luas yang ditanami palem kipas, sikas, lili, asoka dan pohon kamboja. Kolam ikan koi seolah muncul begitu saja dari mata air buatan yang meluncur melalui tembok di seberang taman, dimana dedaunan monstera dan climbing dollars tumbuh berebut tempat dengan suplir. Beberapa jambangan kecil yang dirambati bunga tapak dara dan anyelir gantung tampak seperti melayang di bawah langit-langit dapur luar yang menghadap ke kolam. Di depan pintu dapur yang terbuka, Dahlia minta diturunkan.
“Eh, Non Lia udah pulang,” sapa Bik Inah, tukang masak rumah mereka saat Dahlia masuk melewati pintu dapur. Dahlia menyapanya balik.
“Masak apa hari ini, Bik?”
“Banyak, Non. Ada cumi saos tiram, gurame telor asin sama capcay.”
“Banyak amat Bik masaknya, kayak mau arisan aja,” guyon Dahlia. Bik Inah tertawa sopan. “Sayur asem sama urap nggak ada ya?”
“Kalau sayur asem itu menu buat besok, Non. Urap? Nanti kapan-kapan kita coba masak deh,” respons Bik Inah kalem, persis penyiar radio menanggapi request lagu dari pendengar-pendengarnya yang masih ingusan.
“Becanda kali Bik, hahaha. Kalau aku udah lapar mah, apa aja bisa kumakan,” ujar Dahlia. “Oh iya, Bunda mana Bik?”
“Tadi lagi nonton TV di ruang depan Non, nungguin Non Lia pulang sekolah.”
Setelah berterima kasih, Dahlia berjalan ke ruang depan. Sesuai dugaannya, ada sesosok wanita sedang duduk di kursi yang menghadap TV, tepat membelakanginya. Tangannya tampak sedang memegang sesuatu, mungkin jarum dan benang rajut. Kesempatan yang sayang sekali untuk dilewatkan Dahlia.
Ia mendekati kursi tersebut dari belakang dengan berjingkat-jingkat. Sedikit lagi. Lima langkah lagi... tiga...dua...
“Kamu sedang apa, Dian?”
Seolah-olah ada seseorang yang baru menekan tombol pause, Dahlia pun seketika berhenti berjingkat dalam posisi yang konyol. Claudia berbalik dan mendelik Dahlia lewat kacamata rabun dekatnya yang berbingkai persegi.
“Catatan kardiogram Bunda itu sudah mengkhawatirkan, tahu. Kamu senang ya kalau Bunda kena serangan jantung lagi?”
“Bundaaaa!!!”
Dahlia langsung menghambur memeluk bundanya, mengabaikan perlengkapan rajutnya yang jatuh berantakan ke atas karpet. Claudia membetulkan posisi duduknya lalu mengusap punggung Dahlia cepat-cepat, seperti hendak menenangkan Golden Retriever yang kelewat antusias.
“Bunda barusan bilang apa soal serangan jantung?” Claudia bicara melewati bahu Dahlia.
“Yee, kangen tahu Bun,” bisik Dahlia manja.
“Kayak sudah nggak ketemu setahun saja.”
“Emang. Rasanya udah kayak setahun”. Dahlia melepas pelukannya, lalu duduk berlutut di samping kursi Claudia dan membantunya membereskan peralatan rajut.
Claudia adalah perempuan paling cantik yang pernah Dahlia kenal. Wajahnya tirus, hidungnya mancung, tulang pipinya tinggi dan rambutnya berwarna cokelat-kemerahan. Claudia memiliki darah Belanda yang dia dapat dari ayahnya. Rambutnya yang panjang, lebat dan lurus ia ikat ke belakang, menampakkan lehernya yang jenjang, yang entah bagaimana teorinya, membuatnya menjadi tampak berkali-kali lebih anggun. Menurut Dahlia, spirit animal dari bundanya pasti angsa kalau bukan merak putih.
Hal yang paling Dahlia sukai dari wajah bundanya adalah kulit wajahnya yang berbintik-bintik dan gampang sekali berubah warna menjadi kemerahan. Seumur hidupnya, Dahlia berusaha mempelajari apa saja yang bisa membuat rona wajah bundanya berubah, dan kurang lebih beginilah hasil analisisnya : warna merah bercak-bercak di seluruh wajah, berarti bundanya kepanasan. Merah di telinga, berarti bundanya menahan malu—ini yang paling sering dilihat Dahlia saat Bunda bicara dengan seluruh wali kelas Dahlia seumur hidupnya. Merah di hidung, berarti alergi debunya kambuh. Merah gelap di sekitar pipi dan tulang hidung, berarti menahan marah. Lalu merah terang tepat di ujung kedua tulang pipinya, berarti bundanya sedang senang, atau terharu—ini yang Dahlia lihat sekarang. Mungkin wajah Claudia juga punya tema warnanya sendiri saat sedang menahan boker, tapi berhubung ia wanita yang selalu anggun dan menjaga sopan santunnya di depan siapa pun, Dahlia tidak pernah melihatnya.
Claudia juga dulunya tinggi dan ramping, tapi fisiknya mengecil karena faktor usia maupun penyakit jantungnya yang kambuhan. Claudia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan beraktivitas di rumah : berkebun, menjahit, merajut, membaca buku, juga terkadang memasak kue. Sekali dalam beberapa bulan biru, Claudia akan memainkan biola atau piano untuk meregangkan jari-jari dan urat syarafnya. Ia juga suka sekali pergi ke pasar pagi untuk belanja keperluan dapurnya sendiri, tapi sejak keluar dari rumah sakit di Singapura pekan lalu, aktivitas favoritnya yang satu itu terpaksa ia tinggalkan untuk sementara.
Satu lagi : Claudia suka sekali makan sayur. Di mata Dahlia, itu mungkin menjadi satu-satunya kehebatannya yang tidak mampu—atau tidak mau?—ditandingi Dahlia sampai kapan pun. Skill makan sayur Dahlia mentok di caesar’s salad, sayur asem dan isian burger. Selebihnya? Lupakan saja.
“Kamu belum makan?” tanya Claudia.
“Belum lah, Bun. Hari ini mau makan bareng Bunda,” jawab Dahlia riang.
“Good. Kita makan pecel ya.”
“OGAH!” pekik Dahlia, diiringi tawa Claudia. Mereka lalu beranjak dari depan TV dan berjalan ke dapur.
“Kamu ini belum tobat-tobat rupanya,” goda Claudia, “mau sampai kapan musuhan sama sayur?”
“Gak musuhan Bun, cuma bukan teman akrab.”
“Masa’ anak Bunda akrabnya cuma sama chicken winger dan Taco Bell?”
“Protein is life, Bun. Protein is life,” kelit Dahlia.
Di ruang makan, mereka duduk berhadap-hadapan. Bik Inah dan salah seorang pembantu lainnya mengantarkan periuk nasi, ceret air dan piring-piring berisi lauk dari dapur ke atas meja makan.
“Terima kasih, Inayah,” kata Claudia kepada Bik Inah. “Kalian berdua sudah makan? Kalau belum, makan sama-sama saja, sini,” ajaknya.
“Tidak usah, Bu, kami makan di dapur saja nanti. Belum lapar juga, kok,” ujar Inayah, dan ia pamit kembali ke dapur.
“Nah, jadi ada cerita apa dari sekolah hari ini?” Claudia mengalihkan perhatiannya kepada Dahlia sekarang, setelah kedua asisten dapurnya menghilang.
“Nope. Gak ada apa-apa, Bun,” cerita Dahlia malas, sambil membalik piring makan dan berusaha meraih centong nasi. “Tolong dong, Bun, gak sampe, nih,” pintanya.
“Wah, aneh juga. Biasanya ada saja yang kamu permasalahkan. WC-nya bau, lah. Parkirannya sempit, lah. Kantinnya jorok, lah,” Claudia mengungkit usil, seraya mengoper periuk nasi ke tangan kanan Dahlia.
“Tadi kami gak ke WC juga sih,” cerita Dahlia jujur, “tapi sejauh ini baik-baik aja. Sekolahnya bagus, kok.” Dahlia menumpahkan nasi banyak-banyak ke atas piringnya.
“Kamu habis ke sekolah atau jadi kuli, nih?”