Buku Harian Fajar

Ahmad Redho Nugraha
Chapter #5

KEPING 4 - IPA & IPS

Sekolah kembali ramai pada akhir Bulan Juli. Fajar membaca sekali lagi lembar pengumuman di mading sekolah, sambil berharap itu terakhir kalinya dia perlu membaca pengumuman itu di tahun 2011. Namanya kali ini tercetak dengan jelas di daftar siswa kelas XI IPS 1. Fajar bernapas lega. Sekarang dia tahu di kelas mana dia harus menaruh ranselnya sebelum pergi ke lapangan sekolah untuk upacara bendera.

“FAJAR!”

Oh, tidak lagi, batin Fajar. Dia berbalik, dan Tara sudah berdiri di belakangnya dengan tampang sumringah. Rambut pendeknya kali ini dia ikat ke belakang.

“Jar, buruan, upacaranya sudah mau mulai!”

“Iya, ini juga baru mau ke kelas,” jawab Fajar.

“Eh, kita duduk deketan, ya! Biar kita nanti bisa—”

“Tar, ngomong-ngomong, aku pindah ke kelas IPS 1,” potong Fajar agak tidak sabar. “Maaf ya gak bilang-bilang.”

“Lho?” mulut Tara membulat. “Pindah?”

“Iya, pindah. Aku ke kelas, ya.” Bel sekolah berbunyi. Fajar sudah sangat terlambat sehingga dia tidak memperhatikan ekspresi Tara saat dia meninggalkannya.

Dalam perjalannya ke kelas XI IPS 1, ternyata Fajar melalui kelas XI IPA 3. Di depan kelas itu, tiga orang laki-laki yang semuanya bercelana pensil sedang memainkan sebuah bola plastik tanpa menghiraukan bel sekolah. Mereka adalah orang-orang terakhir yang ingin Fajar lihat di hari pertamanya bersekolah tahun itu. Fajar cepat-cepat mengubah rutenya dengan memutari kelas XI IPA 3 dan melewati taman di tengah sekolah agar dia tidak perlu berpapasan dengan mereka bertiga. Tapi terlambat. Fajar mendengar salah seorang dari mereka berbisik “Si Belanda celup”, lalu seketika dia merasa mata mereka bertiga tengah mengawasinya dengan jahat. Detik berikutnya, tepat ketika Fajar sudah hampir melewati kelas itu, sebuah benda bundar yang kopong menghantam belakang kepalanya dengan keras. Salah seorang dari mereka menendang bola itu tepat mengenai kepala Fajar, hingga kacamatanya lepas dan jatuh ke tanah berpasir.

“Eh, ada bule. How are you, mister?” cemooh salah seorang dari mereka yang berbadan paling besar.

“Siniin bolanya, oi!” hardik seseorang yang lain. Segera setelah dia memakai kacamatanya kembali, Fajar mengambil bola plastik itu dan menyerahkannya kepada laki-laki yang menghardiknya, tanpa menatap matanya sedikit pun.

“Lah gondrong bae rambut tuh. Mau jadi anak nakal juga, hah? Kalo mau, ayo sini main bola sama kami, gak usah upacara,” tekan laki-laki itu. Sebelum Fajar mendapat masalah lain dengan mereka, dia cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan menuju kelasnya tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Apes nian, hari pertama sudah ketemu mereka,” gumam Fajar kepada dirinya sendiri. Setelah menaruh ranselnya di sembarangan meja kelas XI IPS 1, Fajar berbalik keluar kelas dan langsung menuju lapangan upacara. Kali ini dia memilih lewat jalan lain yang jauh dari kelas XI IPA 3.

Tapi entah dosa apa yang pernah dia perbuat. Fajar kembali berpapasan dengan mereka bertiga di gerbang keluar saat siswa SMA Kebangsaan sedang beramai-ramai menuju lapangan upacara. Lagi, Fajar berusaha secepatnya menghindar dan menjauh dari mereka. Dan lagi, bola plastik yang sama menghantam bagian belakang kepalanya.

“Novan, jangan main bola di lingkungan sekolah!”

Pak Rizal tiba-tiba saja menyeruak dari lautan siswa SMA Kebangsaan, meneriaki serombongan anak laki-laki di belakang Fajar. Fajar menoleh ke belakang dan melihat dengan jelas sosok Novan Sadewa Aswin, laki-laki yang menghardiknya tadi sedang bersama dua orang kroninya : Pited, laki-laki tinggi berkawat gigi dan Bull, laki-laki gemuk bertampang—sesuai julukannya—banteng. Meski Pak Rizal meneriaki mereka agar cepat masuk ke barisan upacara, Dewa tampak tidak peduli. Dia hanya berjalan malas-malasan menuju lapangan, sambil melirik-lirik ke belakang, menunggu Pak Rizal lengah agar dia bisa mengambil kembali bolanya.

Tapi Dewa tidak perlu repot-repot kembali ke belakang untuk mengambil bolanya. Tepat saat Dewa menoleh ke belakang sekali lagi, bola itu ternyata melayang sendiri ke arahnya. Dia menepis bola itu secara responsif dengan tangan kanannya, tepat sebelum bola itu menghantam mukanya. Fajar tidak akan percaya apa yang barusan terjadi jika dia tidak berdiri tepat di samping orang yang baru saja menendang bola itu.

“LAH DIOMONGI, JANGAN MAIN BOLA DI SEKOLAH! INI JAM UPACARA, BUKAN OLAHRAGA! NGERTI DAK SIH KALIAN NIH!?” Pak Rizal membentak dengan berang. Dia memungut bola plastik yang menggelinding ke arahnya, meletakkannya di lantai dan menghancurkannya hanya dengan satu injakan kaki bertenaga setan. Semua siswa yang berada di sekitar gerbang sekolah langsung menghambur keluar menghindari amukannya, termasuk Fajar dan Dahlia. Mereka berdua, tanpa direncanakan, malah berjalan beriringan, sementara Dewa terdorong jauh ke depan mereka oleh arus manusia yang berlarian menuju lapangan upacara.

“Aku tadi liat waktu dia nendang bola ke arah kamu. Di depan kelas IPA 3,” bisik Dahlia pada Fajar saat mereka berjalan cepat-cepat. “Kok kamu diem aja sih pas digituin?”

Butuh waktu beberapa detik bagi Fajar untuk memahami apa yang sedang terjadi, termasuk mengenali kembali sosok Dahlia yang terakhir dia temui di lab multimedia hampir dua pekan yang lalu. Dahlia baru saja berusaha memberi Dewa pelajaran atas inisiatifnya sendiri, tanpa diminta siapapun.

“Lain kali kalau dia begitu lagi, ambil bolanya, lalu lempar ke mukanya langsung. Orang rese’ begitu tuh jangan didiemin, nanti tambah ngelunjak, tau nggak?” Dahlia terdengar kesal, entah pada Fajar atau pada Dewa.

“Memang gitu orangnya, dari zaman SMP dulu. Mana ada yang bisa ngatur-ngatur dia,” kata Fajar. Sebagian diri Fajar ingin sekali menceritakan Dahlia tentang bagaimana Dewa merundungnya sepanjang masa SMP, tapi Fajar sadar itu terlalu memalukan untuk dibahas.

“Kalian se-SMP? Apes banget,” desis Dahlia. Mereka sudah hampir sampai di deret barisan siswa kelas XI. “Kamu sekarang di kelas mana, btw?” tanya Dahlia.

“Aku IPS 1. Kamu?”

“Aku IPA 3, sekelas sama orang itu,” Dahlia tertawa garing. “Sekarang aku yang apes, ya?”

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, mereka berpisah jalan. Fajar bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih, atau memuji tendangan Dahlia yang bagus sekali. Di kejauhan, sembari mendatangi barisan IPS 1, Fajar masih bisa melihat Dewa yang menatap Dahlia dengan murka. Wajahnya merah padam, dan Dahlia, seperti dugaan Fajar, tampak tidak peduli sama sekali.

- - - - - - - -

Kejadian pagi itu masih terngiang-ngiang di kepala Fajar hingga dia kembali ke kelasnya setelah upacara. Fajar mengambil ranselnya dan berdiri dengan bingung, karena meja tempat dia meletakan ranselnya tadi ternyata sudah ditempati siswa kelas IPS 1 yang lain.

“Oi, Jar, sini bae!”

Okta memanggil Fajar dari sudut kelas. Wawan melambaikan tangan di sebelahnya. Okta dan Wawan ternyata duduk sebangku di deret meja paling belakang. Fajar paham sekali jika motivasi utama Okta memilih bangku itu adalah karena dia ingin bisa tidur di kelas tanpa ketahuan guru. Wawan sendiri, menurut Fajar, memilih duduk disitu karena tidak ada yang mau sebangku dengannya di kelas itu selain Okta dan Fajar.

“Cie, masuk IPS. Ini nih masih kosong,” Okta menunjuk bangku di depannya. “Kursi kehormatan, spesial untuk Meneer.”

“Meneer dari Hongkong. Bilang aja biar aku bisa nutupin kamu pas lagi tidur di kelas!” sambat Fajar.

“Salah, bukan itu alasannya. Tapi biar kami bisa nyontek pas pelajaran Bahasa Inggris!”

“Bodo ah,” kata Fajar, seraya duduk di bangku barunya. Di luar dugaannya, ternyata tempat duduk itu strategis sekali. Selain tepat berada di samping jendela, jika dia duduk memunggungi tembok di belakangnya, bangku itu menjadi sudut yang sempurna untuk mengamati seisi kelas.

Setiap kelas di SMA Kebangsaan hanya dapat diisi paling banyak 36 siswa, tapi kelas Fajar hanya diisi 35 siswa. Itu artinya ada 1 orang yang duduk sendirian. Orang itu tak lain adalah Fajar sendiri. Okta mengatainya jones, tapi Fajar justru sangat menikmati kesendiriannya tersebut. Dia bisa duduk selonjor, meletakkan ranselnya di kursi yang berbeda, dan bisa berpindah-pindah kursi kapan pun dia mau.

Karena masih hari pertama, mereka tidak langsung belajar seperti biasa. Tepat saat Fajar akan membuka obrolan dengan Okta dan Wawan soal kejadian tadi pagi, tiba-tiba seorang guru bapak-bapak tua berperut sangat buncit dan bertampang mirip Surya Paloh masuk di jam pelajaran pertama. Bapak itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Pak Supani, guru sosiologi sekaligus wali kelas mereka. Hati Fajar membuncah saat dia melihat daftar pelajaran XI IPS 1 yang ditulis Pak Supani di papan tulis, karena tidak dia temukan kata “Kimia” dan “Fisika” disana.

Sesuai arahan Pak Supani, mereka kemudian memilih perangkat kelas. Saat jabatan “ketua kelas” disebut, bisa Fajar rasakan jika laki-laki seisi kelas IPS 1 tiba-tiba hening dan menundukkan kepala dengan khidmat, seolah sedang mengikuti renungan suci. Di belakang punggung Fajar, Okta pura-pura tidur. Wawan meringkuk, berpura-pura dia tidak ada di kelas itu. Fajar sudah familier sekali dengan kondisi tersebut. Tak lama lagi, biasanya wali kelas akan memancing siapapun untuk mencalonkan diri dengan membanding-bandingkan keberanian laki-laki dan perempuan, kemudian anak-anak perempuan di kelas itu akan mulai ricuh.

“Apa gak ada laki-laki yang gentleman di kelas ini? Masa harus perempuan duluan yang nyalon ketua kelas? Mau kalian?” ledek Pak Supani, dengan intonasi bicara seorang khotib sholat Jumat. “Heh, apa kubilang,” seloroh Fajar—di dalam hati. Detik berikutnya, sesuai dugaan Fajar, anak-anak perempuan mulai ribut mengatai mereka laki-laki banci lah, tidak punya nyali lah. Tapi ternyata itu tidak berlangsung lama, karena seorang siswa bernama Akmal akhirnya—dengan wajah penuh keringat—mengangkat tangan kanannya dan mencalonkan diri menjadi ketua kelas. Maka selamatlah mereka, para laki-laki tak bernyali di kelas XI IPS 1 itu.

“Nah, siapa lagi?” tanya Pak Supani, kemudian seisi kelas yang tadinya hampir kembali ribut, tiba-tiba hening lagi. Tentu saja Akmal tidak langsung terpilih menjadi ketua kelas, harus ada calon lain yang mengajukan diri, sebelum akhirnya mereka di-voting untuk menentukan siapa saja yang menjadi ketua kelas, wakil ketua kelas, sekretaris dan bendahara.

“FAJAR,” pekik suara cempreng di belakang Fajar.

Lihat selengkapnya