“Ternyata kita jodoh, ya,” kata Dahlia sambil menangkupkan kedua tangannya, kemudian tertawa. Dia mengungkit kembali pertemuan pertama mereka di ruang multimedia dulu, dimana Fajar sempat menganggap bahwa Dahlia adalah Dian dan langsung menepis pikiran itu setelah mereka berkenalan.
“Kamu sering banget melamun ya?”
Kata-kata Dahlia menghamburkan lamunan Fajar.
“Kayaknya banyak banget yang kamu pikirin, haha.”
Fajar hanya tertawa pendek. Dahlia berusaha mengakrabkan diri dengan semua orang di kelas XI IPS 1, termasuk Fajar. Tetapi Fajar sama sekali bukan sosok yang gampang terbuka kepada siapapun, kecuali teman-teman dekatnya. Dan Dahlia tidak serta-merta menjadi teman dekat Fajar hanya karena duduk sebangku dengannya.
Fajar memberitahu Dahlia jadwal pelajaran kelas mereka, beserta semua PR yang harus dikumpulkan. Tapi di luar segala topik soal pelajaran dan kelas, Fajar tidak pernah membuka obrolan tentang apapun. Dalam berbagai kesempatan mengobrol di kelas, Fajar lebih suka bercanda dengan Okta atau Wawan. Ketertutupan Fajar terhadap Dahlia hampir-hampir membuat Dahlia frustrasi.
“Dari awal ketemu, dia emang kelihatannya pendiem. Tapi kok orangnya begitu amat, sih?”
Di suatu jam istirahat, Dahlia akhirnya tidak tahan dan menceritakan tentang Fajar kepada Tara. Mereka kali ini duduk bertiga di kafetaria SMA Kebangsaan : Tara, Dahlia dan teman Tara dari kelas XI IPA 1 yang bernama Nurjanah.
“Siapa?” tanya Tara penasaran.
“Pas aku pindah ke IPS 1, aku sebangku sama cowok yang namanya Fajar,” mendengar nama Fajar, Tara sampai tersedak minumannya sendiri. “Aku sih nggak masalah mau duduk sama siapapun, tapi berhubung di kelas itu bangku yang kosong cuma di sebelah dia, ya kami jadi duduk sebangku.”
Dahlia mengamati air muka Tara yang berubah saat dia menyebut nama Fajar. Tara dan Nurjanah saling lirik.
“Kalian kenal ya sama dia? Kalaupun nggak kenal pasti kalian pernah lihat. Orangnya agak unik, rambutnya merah gitu kan soalnya—kayaknya dicat, deh.”
“Kami dulu sekelas sama dia, pas kelas X,” beber Nurjanah. “Tara itu udah tergila-gila sama Fajar dari jaman SMP.”
“Astaga, Nur!” sambar Tara. “Siapa yang tergila-gila, sih?”
“Hah? Seriously? Kok bisa ngefans sama dia?” desak Dahlia sambil tertawa.
“Jadi ceritanya itu...” Nurjanah pura-pura membuka cerita, tetapi langsung dihujani cubitan dari Tara.
“Sudahlah! Fajar itu masa lalu!”
“Masa lalu apa masa depan?” goda Nurjanah. “Eh buat apa lagi sih, disembunyiin? Semua orang juga tahu kamu suka sama Fajar!”
Dahlia tertawa melihat ekspresi Tara yang seperti anak kecil.
“Kok bisa kebetulan banget, ya. Setelah kita kenalan di IPA 3, sekarang aku sebangku sama gebetan kamu. Jangan-jangan memang aku ditakdirkan jadi makcomblang kalian?” Dahlia ikut memojokkan Tara.
“Aidah! Kalian ini kenapa, sih?” rengek Tara, tapi sambil tertawa. Dia mengaduk-aduk batu es di gelasnya dengan sedotan, salah tingkah. “Iya, iya, aku suka sama Fajar. Terus kenapa emangnya, hah?”
Mereka bertiga tertawa.
“Ya nggak kenapa-kenapa. Bilang aja kek dari awal, apa salahnya coba?” Nurjanah berseloroh.
“Dan ngomong-ngomong soal Fajar,” Tara tiba-tiba bicara kepada Dahlia, “orangnya memang begitu, Lia, jangan salah paham, ya. Fajar itu memang pendieeeeem banget. Dia itu nggak pernah cari masalah sama siapa-siapa, nggak pernah ribut di kelas. Kalau dia digangguin sama Dewa, dia juga nggak pernah ngebales. Dia itu sabar banget orangnya....”
“...saking sabarnya sampe jadi jatuh cinta,” ledek Nurjanah.
“NUR, STOP!” salak Tara.
Mendengar nama Dewa disebut, Dahlia seperti tersengat listrik.
“Dewa? Si Jengger Ayam? Emang kenapa sih dia suka banget gangguin Aa’ Fajar?” Tara langsung memonyongkan bibir saat mendengar “Aa’ Fajar”.
“Dewa memang gitu. Ngeselin darisananya. Semua orang juga digangguin,” Nurjanah yang menjawab pertanyaan itu dengan nada jengkel.
“Tapi Dewa beda lho kalo sama Fajar, Nur. Mereka itu memang ada ceritanya sendiri,” timpal Tara.
Tepat saat topik pergibahan mereka makin menarik, bel masuk istirahat berbunyi. Dahlia pun beranjak dari kafetaria dengan berat hati.
“Nanti kita cerita-cerita lagi ya, gengs,” kata Tara antusias. “Tapi aku nggak habis pikir juga lho, Lia. Kamu nekad banget pindah jurusan pas udah sebulan sekolah. Sebelumnya nggak ada lho yang berani begitu—malah kupikir, memang nggak bisa.”
Dahlia tersenyum penuh arti. Dia tidak menceritakan Tara soal “kekuatan dewan sekolah” milik papinya—dan dia memang tidak tertarik menceritakannya. Bukan hanya pada Tara, tapi juga pada siapapun.
- - - - - - - -
Saat Dahlia masuk lagi ke ruang kelas XI IPS 1, Fajar, Okta dan Wawan sudah lebih dulu berada di kelas. Dan seperti biasa, Fajar tiba-tiba langsung jadi lebih pendiam saat Dahlia duduk di sebelahnya. Kali ini Dahlia berniat menjadikan sikap Fajar itu sebagai peraturan default yang harus dia biasakan.
“Kamu kalo istirahat biasanya makan di kantin mana, Lia?” Okta menegurnya, lalu Dahlia pun mengobrol dengan Okta soal wisata kulinernya di SMA Kebangsaan dari satu kantin ke kantin lain.
“Eh, sekali-kali coba deh ke kantin Bu Ratih. Cobain pempek kapal selemnya. Oh, itu ibunya Wawan yang punya, ngomong-ngomong” ujar Okta.
“Oh, ya? Ibu kamu jago masak pempek, ya?” respons Dahlia.
Wawan yang tadinya hanya mendengarkan, tiba-tiba bergabung dengan antusias dalam obrolan mereka. Fajar, lain cerita. Dia masih bergeming di hadapan Dahlia dan lebih memilih menekuni buku tulis bersampul hitam yang dia tulisi. Jika Tara tidak bercerita soal Fajar, mungkin Dahlia sudah lama menganggap Fajar laki-laki geek, atau laki-laki jaim, atau laki-laki sengak. Tapi cerita Tara membantu Dahlia untuk kembali berbaik sangka kepada Fajar. “Oke, jadi Fajar itu cuma pendiam. And there’s nothing wrong with that, okay Dahlia?” Dahlia membatin, mengingatkan dirinya sendiri.
Setiap Dahlia berusaha membuat interaksi dengan Fajar, Fajar biasanya hanya menanggapi Dahlia seadanya. Dan lebih sering lagi, Fajar menanggapi perkataan Dahlia tanpa menatap matanya, seolah-olah Dahlia adalah Gorgon yang dapat mengubahnya menjadi batu hanya dengan tatapan mata—dan ini sukses membuat Dahlia tersinggung. Seumur hidupnya, Dahlia diajari bahwa menatap mata lawan bicara adalah salah satu etika dasar dalam berkomunikasi, sekaligus cara menghargai lawan bicara. Dan sekarang saat Dahlia kembali menegurnya, Fajar lebih memilih menatap buku tulis bersampul hitam yang dia selipkan di buku cetak geografinya.
Buku bersampul hitam itu sudah lama menarik perhatian Dahlia. Buku apa itu? Apa yang Fajar tulis disana? Kenapa dia sering sekali membukanya di tengah jam pelajaran? Bagian diri Dahlia yang paling narsis bahkan ingin bertanya : apa yang membuat isi buku itu jadi lebih menarik daripada Dahlia, sampai-sampai Fajar tidak mau menatapnya saat sedang berbicara? Seumur hidup, mungkin ini pertama kalinya Dahlia membanding-bandingkan dirinya dengan sebuah buku—dan merasa tersaingi karenanya.
Pada hari lainnya, menjelang jam pelajaran olahraga, perut Dahlia kram luar biasa. Datang bulannya kali ini membuatnya jadi senewen karena sakit, dan dia terpaksa memutuskan untuk absen dari pelajaran olahraga. Padahal mereka sekelas rencananya akan bermain voli, olahraga yang Dahlia rindukan.
“Kalau masih sakit, istirahat saja dulu di UKS,” bujuk Pak Ahyar, guru olahraga XI IPS 1 saat melihat wajah Dahlia yang pucat. Dahlia mengiyakan perkataan Pak Ahyar dan langsung berjalan meninggalkan kelas.
Kunjungan ke UKS tidak dimasukkan Pak Karisman ke dalam agenda tur keliling sekolah bersama Dahlia dan Budi dulu, sehingga itu pertama kalinya Dahlia masuk ke UKS SMA Kebangsaan. Tempat itu bersih, sejuk dan dipenuhi segala hal berwarna putih, mulai dari ubin, tembok, plafon hingga perabotannya. Persis rumah sakit sungguhan, minus bau etanol. Ada satu pegawai khusus yang bertugas menunggui UKS sepanjang hari, semacam guru kesehatan. Setelah mencatatkan namanya di buku pengunjung, Dahlia duduk di ranjang lipat yang dikelilingi tirai putih.
Tepat saat dia menghenyakkan kepalanya di sandaran ranjang, Dahlia baru sadar jika dia seharusnya membawa buku bacaan agar tidak mati bosan di ruangan serba-putih itu. Dahlia ingat dia membawa salah satu novel kepunyaan bundanya di dalam ranselnya, maka Dahlia pun beranjak dengan enggan dari kasur itu, lalu kembali ke kelas IPS 1 untuk mengambilnya.
Kelas IPS 1 kosong dan tidak terkunci. Semua orang pasti saat ini sudah berangkat ke lapangan upacara untuk lari pemanasan. Dahlia beringsut ke belakang kelas, lalu duduk di kursinya di dekat jendela. Saat melongokkan pandangannya ke dalam laci meja, dia baru sadar jika laci itu berisi buku dan perlengkapan sekolah Fajar, bukan miliknya. Selama ini memang kerap terjadi kompetisi tidak terencana antara Fajar dan Dahlia dalam memperebutkan kursi di dekat jendela. Siapapun yang tiba lebih dulu di kelas setiap pagi berhak duduk di kursi di dekat jendela. Kebetulan pada hari itu, Fajar tiba di sekolah mendahuluinya—hal yang jarang sekali terjadi—sehingga dia berhak duduk disana.
Sebelum perhatiannya beralih ke lacinya sendiri, pandangan mata Dahlia tertumbuk pada sebuah buku catatan yang ada di laci Fajar. Buku tulis dengan sampul hitam.
“Oh, kamu, ya,” bisik Dahlia, hampir-hampir terdengar sebal, tanpa alasan yang jelas. Buku itu adalah Tembok Besar Cina yang Fajar bangun untuk “melindungi” dirinya dari Dahlia selama ini. Tapi tidak akan lama lagi. Jantungnya berdetak lebih kencang, dan bahkan sebelum niat itu muncul, Dahlia sudah tahu apa yang akan dia lakukan terhadap buku itu. Sesuatu yang tidak akan disukai oleh bundanya, apalagi Fajar.
Dahlia urung mengambil novel dari dalam ranselnya. Dia justru mengeluarkan buku cetak pelajaran sejarahnya yang tebal, menyelipkan buku bersampul hitam itu ke dalamnya, lalu membawanya kembali ke UKS. Akan berlangsung “operasi ringan” di ranjang UKS SMA Kebangsaan hari itu. Pasien operasinya adalah buku catatan bersampul hitam, dan dokter bedahnya adalah Dahlia.