Seolah kena tulah perbuatannya, sakit perut Dahlia justru makin menjadi-jadi saat dia tiba di UKS. Dahlia pun mengurungkan operasi bedah buku tulis Fajar, meminum obat pengurang nyeri, lalu meringkuk saja di ranjang UKS hingga jam pelajaran olahraga berakhir. Jadwal operasi buku bersampul hitam itu dia pindahkan ke jam 10 malam, di kamarnya, setelah Dahlia menuntaskan PR Matematika dan PKN.
Di rumahnya sendiri, dia tidak tenang karena merasa selalu diawasi. Tembok, lantai, meja, kulkas, cangkir, lampu dan segala perabotan rumah Notonegoro tiba-tiba seperti punya mata dan kuping yang mengamati tingkah laku Dahlia, siap sedia melabrak Dahlia kapanpun dia tertangkap basah mengeluarkan buku tulis bersampul hitam itu dari ranselnya. Tapi Dahlia sudah membulatkan tekadnya untuk membaca buku itu. Hanya membaca, lalu mengembalikannya sesegera mungkin. Bagi Dahlia, itu sama halnya dengan meminjam—walau tanpa izin—bukan mencuri, selagi buku tersebut tidak rusak atau berubah bentuk di tangannya.
Dahlia menuntaskan rutinitas malamnya di rumah dengan lebih cepat, terutama makan malam dan mengerjakan PR. Dia bahkan tidak mengobrol dengan Claudia setelah makan malam, seperti yang biasanya dia lakukan setiap hari. Setelah menutup buku-buku pelajarannya, tangannya memungut buku tulis bersampul hitam yang sedari tadi ia letakkan di pojok meja belajarnya.
Seingat Dahlia, sejak dia berusaha menuntaskan novel The Little House at The Prairie saat masih SD dulu, tidak ada lagi buku lain yang pernah begitu menarik perhatiannya, membuatnya begitu tidak sabar untuk membuka dan mencoba menyelesaikannya kapanpun dia punya waktu luang, sampai dia bertemu dengan buku bersampul hitam ini. Dahlia memegang buku tulis itu di kedua sisinya, lalu mendekatkannya ke wajahnya. Buku itu tidak terlalu tebal. Tidak ada kata apapun yang tertulis di sampulnya yang hitam polos, tidak nama sekalipun. Sampul buku itu berbahan kulit sintetis dengan jahitan tipis di sekeliling tepiannya. Dari punggung bukunya, sepertinya itu bukan buku tulis yang kertasnya bisa diisi ulang seperti buku agenda. Sekilas tampak tidak spesial sama sekali.
Dahlia menghela napas, lalu membuka sampulnya. Secarik kertas bergaris-garis, tampak seperti kertas dari buku tulis biasa, terlihat direkatkan pada halaman terdepan buku tulis itu dengan selotip bening di tepiannya. Dari warnanya yang kekuningan dan tulisannya yang agak luntur, Dahlia yakin kertas itu berasal dari buku tulis lain yang lebih tua usianya. Dia membaca tulisan di kertas itu.
Merasakan emosi itu gak salah kok, Jar. Tapi cara melampiaskan emosi tersebut, bisa jadi salah. Setiap kamu merasa mau marah-marah atau nangis, coba tulis aja emosi kamu di buku ini. Tanteku bilang itu namanya writing therapy (terapi menulis).
Nah, semoga buku ini membantu kamu untuk memulainya, ya. Jaga diri baik-baik, Jar. Semoga kita ketemu lagi :D
Sincerely, Dian, your best friend
Dahlia agak terkejut demi membaca nama “Dian”. Tapi mengingat Dian adalah nama yang sangat pasaran di Indonesia, pesan itu sudah jelas ditulis oleh Dian yang lain, yang sepertinya adalah teman Fajar di masa lampau.
Dahlia membalik halaman tersebut. Kertas-kertas di halaman berikutnya adalah kertas putih polos tanpa garis, berbeda dengan kertas yang ditulisi Dian. Buku itu sepertinya masih baru dan Fajar sepertinya belum lama mengisi buku tersebut dengan tulisannya. Catatan pertama yang Dahlia lihat dibubuhi tanggal di Bulan Mei 2010.
Assalammualaikum.
Bu, Fajar lulus UN (alhamdulillah!)
Ternyato emang bener, kan? Kunci jawaban untuk lulus UN itu cuma mitos. Fajar dak butuh kunci jawaban untuk lulus UN.
Tapi, nilai UN Fajar terjun bebas : 28,00. Itu artinyo Fajar cuma dapet nilai minimum di segalo mata pelajaran. Untuk sekedar lulus SMP, ini sebenernyo sudah cukup. Tapi Abah marah-marah. Dio sampe ngomong : untung kau lulus. Bangso gagal, berenti bae jadi anak Abah.
Kawan-kawan Fajar jugo ngatoi Fajar bengak. Padahal nilai mereka besak-besak gara-gara mereka dapet kunci jawaban UN dari Rio, anak guru PKN di kelas. Bukannyo mereka dak nawari Fajar, tapi Fajar yang ngomong dak galak. Terus kareno Fajar nolak, Fajar dikatoin sok pinter. Pas pengambilan STTB di sekolah mereka ngetawoin Fajar rame-rame.
Tapi ironis dak sih, Bu? Kunci jawaban UN malah bocor dari anak guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yang dapet kunci itu dari bapaknyo langsung—ini bukan fitnah ye, Bu, memang itu kenyataannyo. Fajar pikir UN ini cuma masalah usaha samo yakin-yakinan bae, tapi kawan-kawan Fajar dak yakin. Dan mereka berusaha, tapi caronyo salah (menurut Fajar). Dan sekarang mereka ngatoin Fajar gara-gara usaha dan keyakinan Fajar beda samo mereka.
Aneh dak sih, Bu? Tapi Fajar sudah biaso dicakitui, dari SD dulu. Dari jaman Fajar masih galak nangis dan marah-marah dak jelas, masih sering diganggui kawan-kawan di kelas. Dan itu cuma gara-gara Fajar beda, cuma gara-gara rambut Fajar merah. Fajar jadi paham dari jauh-jauh hari, kalo yang beda itu biasonyo memang dibenci, dikatoi, dimusuhi. Jadi Fajar sekarang sudah tebiaso.
Tapi kadang Fajar mikir lho, Bu, kok hidup ini kelihatan mudah nian untuk uong-uong yang idak jujur? Kawan-kawan Fajar yang nilai UN-nyo hasil boleh ngepek, sekarang lah banyak yang dapet bangku di SMA favorit. Kok hidup ini lancar-lancar bae bagi mereka yang curang yo, Bu? Mungkin ado istilah khusus untuk nyebut kondisi ini, tapi Fajar belum tau apo namonyo—sebuah catatan tambahan berwarna merah tampak ditambahkan di ujung kalimat ini, tulisannya “(ISTIDRAJ!!)”
Sekarang giliran Fajar yang berjuang ekstra, kareno nilai UN Fajar dak cukup untuk masuk SMA 1, rayon SMP 1, sekarang Fajar harus lintas rayon atau daftar di SMA swasta. Ngomong-ngomong, Okta jugo nasibnyo samo kayak Fajar—“Oh, ternyata mereka sudah lama saling kenal!” gumam Dahlia—Sekarang kami nak cubo daftar di SMA Kebangsaan, Bu, tempat Mangcik Hendra dulu sekolah.
Iyo, Bu. Ibu dak salah baco. Itu SMK yang dulu hobi tawuran dan sering masuk koran. Tapi sekarang SMK-nyo sudah berubah jadi SMA swasta, SMA Kebangsaan. Kabarnyo jugo ado beasiswa khusus untuk anak SMP yang berprestasi dan kurang mampu—entahlah Fajar samo Okta ini tergolong berprestasi atau idak, tapi yang jelas kami samo-samo dak mampu, dan kami dak punyo pilihan lain, jadi apo salahnyo dicubo, yo kan, Bu?
Terus...Ibu masih inget samo Dewa? Dio tahun kemaren nyeburin buku harian Fajar ke kolam iwak SMP 1 sampe kertasnyo banyak ancur dan dak biso ditulisi lagi. Dio sebabnyo Fajar dak pernah nulis buku harian lagi selamo setahun (selain gara-gara persiapan UN). Nah, sekarang Fajar nulis surat ini di buku lain yang baru Fajar beli. Beberapo catetan Fajar yang lain di buku harian lamo yang masih biso Fajar selameti, rencananyo nak Fajar salin lagi kesini, samo ke buku sikok lagi yang rencananyo khusus nak Fajar tulisi puisi. Bu Safarina (guru Bahasa Indonesia Fajar) ngomong Fajar bakat nulis puisi, jadi bagusnyo Fajar punyo arsip dewek untuk nyimpen puisi-puisi Fajar.
Bu, Fajar sudah idak cengeng lagi. Idak pemarah lagi. Tapi Fajar masih takut samo Dewa. Dio tuh setan dari golongan manusio (maafkelah Bu kalo bahasonyo kasar). Kabarnyo dio nak daftar sekolah di SMA Kebangsaan jugo gara-gara dak lulus tes di SMA 1, tapi semoga be itu dak bener. Fajar cuma pengen sekolah bener-bener, lurus-lurus, terus cak kato Cek Nisa, berangkat ke Bandung untuk ketemu lagi samo Ibu setelah tamat SMA.
Kalo kito ketemu kagek, Bu, semoga Ibu masih pacak Bahaso Palembang, jadi Ibu pacak ngerti isi surat ini waktu Fajar kasih buku harian Fajar ke Ibu. Tapi itu masih lamo nian. Semoga be umur kito cukup, yo, Bu.
Nah, Bu, itu bae. Memang aneh nian Fajar ngomong cak ini, kareno Ibu dewek dak baco surat ini, tapi mohon doanyo yo Bu supayo Fajar lulus di tempat yang terbaik.
Wassalammualaikum.
(Tambahan : ternyata Bahasa Palembang memang jadi terkesan ngegas dalam bentuk tulisan. Mungkin besok-besok aku tidak akan pakai Bahasa Palembang lagi di jurnal ini, demi kenyamananku -_-)
Mulut Dahlia terkatup rapat. Dahlia belum terlalu mengerti bahasa Palembang sari-sari yang dibacanya—apa itu “dicakituke”, “ngepek” dan “ngatoin”?—tapi kurang lebih dia paham apa yang Fajar coba sampaikan lewat surat tersebut, dan untuk siapa surat tersebut Fajar tujukan : ibunya, yang untuk alasan yang Dahlia belum pahami, sekarang berada di Bandung. Itu secara eksplisit menunjukkan bahwa Fajar tinggal terpisah dengan ibunya. Apa yang terjadi? Selain itu, ada informasi lain yang Dahlia dapatkan : Fajar, Okta dan Dewa ternyata satu SMP, lalu Dewa dan Fajar sepertinya memiliki permusuhan yang berumur cukup panjang. Apa penyebabnya?
Arus informasi baru yang terlalu deras ini sama sekali tidak diantisipasi oleh Dahlia. Dia melonggarkan kacamata bacanya, memijat-mijat pangkal hidungnya lalu bergantian menatap buku di hadapannya dengan jam dinding di seberang kamar. Untung dia sudah menyelesaikan semua PR-nya untuk seminggu ke depan.
“Cuma sampai tengah malam, lalu tidur,” kata Dahlia kepada dirinya sendiri.
Akan tetapi sebuah perdebatan baru terjadi di kepalanya : apa aku benar-benar harus melanjutkan membaca? Isi buku ini—yang kini Dahlia asumsikan sebagai buku harian—ternyata lebih personal dari yang Dahlia duga, dan hati kecilnya merasa dia akan sangat kurang ajar kalau membaca lebih banyak halamannya. Terakhir dia berurusan dengan buku harian orang adalah saat liburan kelas 5 SD. Dahlia iseng membaca buku harian Yasmin, dan dia dimarahi habis-habisan oleh Claudia. Sejak saat itu Dahlia insaf bahwa ada alasan kenapa buku harian biasanya memiliki gembok di sisinya, yaitu agar orang iseng sepertinya tidak membaca hal-hal yang terlalu pribadi di dalam sana.
Di sisi lain, seperti terjadi resonansi unik antara Dahlia dan buku bersampul hitam itu. Halaman pertama yang dia baca hanya memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang Fajar, dan jawaban-jawabannya mungkin saja ada di halaman-halaman berikutnya. Begitu dekat. Dia hanya perlu membalik lembar-lembar tipis itu, dan dia akan tahu kenapa seorang laki-laki kelas XI SMA sampai harus menulis buku harian. Dan Dahlia pun kalah oleh rasa penasarannya, seperti selalu. Dia membalik halaman terakhir yang dia baca.