Dahlia merasakan perubahan dalam sikap Fajar semenjak buku hariannya hilang. Fajar jadi lebih temperamental terhadap Okta dan Wawan. Sementara terhadap Dahlia, Fajar masih bergeming. Tapi kali ini berbeda. Dahlia merasakan sepercik prasangka dalam sikap diam Fajar. Dia pasti curiga Dahlia yang mengambil buku hariannya, tapi Fajar mungkin enggan menanyakannya langsung. Dahlia harus mengembalikan buku itu secepatnya. Tapi ternyata mengembalikan buku tersebut diam-diam sama sekali tidak semudah mengambilnya.
Pagi itu Bu Marie, guru ekonomi XI IPS 1 membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok kecil berisi empat orang untuk tugas makalah dan presentasi. Mereka pun dipecah berdasarkan posisi duduk, dan tanpa direncanakan, Dahlia menjadi satu kelompok dengan Fajar, Okta dan Wawan. Ini pertama kalinya Dahlia mendapatkan tugas kelompok di kelas XI IPS 1, dan menurutnya ini adalah kesempatan platinum yang bisa dia manfaatkan untuk mengembalikan buku harian Fajar secara diam-diam.
“Kelompok kita dapat materi soal APBN,” Okta membuka diskusi mereka setelah kelas ekonomi bubar. “Terus.... sekarang kita ngapain?”
“Pertama-tama, kita tentuin ketua kelompok dulu, deh,” usul Dahlia.
“Fajar!” celetuk Wawan sambil nyengir. Okta langsung menatap Wawan dengan mata melotot. Dalam kondisi normal, peran mengusili Fajar seharusnya selalu ada di tangan Okta. Tapi Okta sepertinya memutuskan untuk tidak mengusik Fajar sementara waktu karena masalah buku hariannya yang hilang, dan dia menekan Wawan untuk melakukan hal yang sama.
“Ya, aku aja yang jadi ketua kelompoknya,” Fajar tiba-tiba menimpali, sembari menatap kosong ke arah buku cetak ekonomi di hadapannya. Mereka semua menatap Fajar tidak percaya.
“Hm? Kenapa?” tanya Fajar setelah mereka hening sejenak.
“Bagus deh. Kalo gitu aku jadi sekretaris kelompok, ya,” tukas Dahlia, dengan antusiasme yang terdengar kurang wajar.
“Lah? Eh, bentar, bentar. Memang harus ada sekretaris juga? Tugasnya ngapain?” protes Okta.
“Ya, haruslah, Ta. Fajar yang bagi tugas kalian, terus aku yang ngawasin kalian biar gak ngalor-ngidul, jadi tugas kita selesai tepat waktu,” karang Dahlia sembarangan. “Dan gak ada alasan kita nunda-nunda ngerjain tugas karena presentasinya masih lama, pokoknya, makin cepet selesai, makin bagus.”
“Masuk akal juga,” komentar Wawan. “Kalo gak diawasin bisa-bisa tugasnya gak selesai, terus Fajar lagi yang nyelesaiin tugas kelompoknya sendiri—ADUH.”
Okta menginjak kaki Wawan dengan jengkel.
“Nah, Pak Ketua, kapan kita mau mulai kerjain tugasnya? Gimana kalo hari ini langsung?” Dahlia mendadak bertanya kepada Fajar.
Pertanyaan Dahlia itu seolah membangunkan Fajar dari apapun yang tadi membuatnya tidak sadar.
“Iya, hari ini aja. Balik sekolah. Kita kumpul di rumahku,” putus Fajar begitu saja.
“Yah, Jar. Balik ini aku ikut budak IPS 1 sparring futsal dengan IPA 1,” Okta mengeluh.
“Astaga Okta, masa’ kamu lebih pilih sparring futsal daripada tugas kelompok?” sambar Dahlia.
“Bukan gitu, ini kan pertandingan antar kelas, jadi...”
“Jadi gak apa ya namamu aku coret dari daftar kelompok?” ancam Dahlia. Okta langsung terdiam. Wawan terkekeh. Dahlia berani bertaruh jika dia baru saja melihat Fajar tersenyum sepintas.
“Oke, fix. Balik ini, jam 2 kita ke rumah Fajar, ya,” tutup Dahlia. “Kalau kalian gak bawa kendaraan, nanti ikut mobilku aja.”
Di dalam hatinya Dahlia tertawa penuh kemenangan. Dia bahkan tidak perlu mengusulkan tempat untuk mengerjakan tugas kelompok mereka. Ini akan jauh lebih mudah dari yang dia rencanakan.
- - - - - - - -
Saat mobil Alphard hitam yang membawa mereka berbelok di pertigaan Jalan Dempo, Fajar mulai berpikir bahwa mengajak Dahlia ke rumahnya adalah ide bodoh. Dia merasa oke-oke saja jika Okta dan Wawan yang berkunjung, tapi Dahlia “berbeda” dengan mereka berdua. Ini sama saja mempertontonkan kesenjangan hidup mereka dengan lebih jelas. Membayangkan bagaimana respons Dahlia saat melihat rumah panggung Kemas Fuadi yang bobrok seketika membuat Fajar merasa malu. Tapi sudah terlambat untuk membatalkan segalanya. Mereka sudah hampir sampai.
Memasuki Jalan Slamet Riady, jalanan makin menyempit. Jalanan kini dipagari bangunan ruko atau rumah panggung antik yang lantai dasarnya disulap menjadi warung, kedai pempek, rumah makan nasi kapau, rental PlayStation, kios pulsa atau bengkel sepeda motor. Beberapa kali mobil mereka harus menyalip angkot jurusan Sayangan – Lemabang yang berhenti mendadak untuk menaikkan penumpang, atau becak yang dikayuh dengan susah-payah oleh bapak-bapak paruh baya. Saat melewati Jembatan Geledek, salah satu tukang becak di depan mereka bahkan terpaksa turun dari sadel dan mendorong becaknya menaiki tanjakan jembatan. Budi yang menyupiri mobil Alphard itu mengomel tidak sabar.
Ketika mengamati pemandangan di jalan, pikiran Dahlia teringat kembali pada catatan-catatan Fajar yang sudah dia baca. Fajar tidak pernah menyebut-nyebut soal tempat tinggalnya secara utuh di buku harian itu. Seperti apa tempat tinggal Fajar? Seperti apa keluarganya? Dahlia tersenyum membayangkan jika Fajar tinggal di salah satu ruko yang menjual pempek di lantai dasarnya.
“Nah, parkir disitu aja, Om,” kata Fajar kepada Budi, seraya menunjuk ruko tiga tingkat di sebelah bengkel sepeda motor. Sebuah plang kayu bertuliskan “Pempek Selendang Mayang” tampak tergantung di muka bangunannya. Dahlia terkejut.
“Pempek Selendang Mayang? Kamu tinggal disini?” tanya Budi takjub.
“Bukan, bukan,” Fajar tertawa. “Rumahku masuk ke lorong di sebelah situ, tapi mobil gak bisa masuk, jadi parkirnya disini aja.”
Budi gantian menatap Dahlia, seolah minta instruksi.
“Nah, Bud, kamu makan pempek disini aja banyak-banyak sampe kami selesai bikin tugas, ya. Gak lama kok, palingan jam 5 kelar.” Fajar melirik jam tangannya. 14:30. Mau sebanyak apa pempek yang dimakan Budi selama dua setengah jam? Fajar tertawa.
Fajar, Wawan dan Dahlia berjalan beriringan memasuki Lorong Tapakning.
“Lia?” tanya Wawan, yang entah mengapa tampak gelisah. “Kok kamu manggil Bapak kamu pake namanya langsung, sih?”
Dahlia menatap Wawan tidak percaya, lalu tertawa keras sekali.
“Ya Allah, Wan, Budi itu supir keluarga aku, bukan bapak aku!”
“Lho, tapi...”
“Iya, banyak guru di sekolah mikir dia itu bapak aku. Biarin aja, deh,” Dahlia mengelap sudut matanya yang berair.
Dahlia benar-benar berbakat menemukan bahan obrolan. Mereka tidak berhenti mengoceh dan tertawa sepanjang jalan ke rumah Fajar. Untuk beberapa waktu, Fajar lupa soal buku hariannya, atau soal perasaan tidak nyamannya saat berada di dekat Dahlia karena minder.
“Masih jauh ya, Jar?” tanya Dahlia.
Fajar menoleh ke arah Dahlia dengan perasaan tidak enak.
“Udah deket, kok. Maaf ya, jadi jalan kaki begini.”
“Kok maaf, sih? Kan emang guna kaki buat dipake jalan,” Dahlia berkata enteng. “Santai aja. Okta udah sampe belum, ya?”
Okta memang mendahului mereka ke rumah Fajar dengan sepeda motornya. Tapi belum sempat Fajar menjawab, Dahlia sudah menemukan jawabannya saat mereka tiba di sebuah pertigaan jalan.
“Lamo nian!” teriak Okta dari atas Supra Fit-nya yang sedang terparkir.
“Masuk bae langsung, Ta,” balas Fajar.
Fajar mengambil sekeping papan kayu dari pinggir jalan lalu meletakkannya melintang di atas parit yang memisahkan badan jalan dengan halaman sebuah rumah. Okta memutar kunci motornya dan mendorong motornya masuk ke pekarangan sebuah rumah panggung besar, melewati papan tipis tersebut dan itulah pertama kalinya Dahlia melihat rumah Kemas Fuadi.
Rumah yang ditinggali Fajar berada tepat di sebuah pertigaan jalanan kampung. Jika dilihat dari jauh, rumah itu harusnya tampak seperti dua bangunan berbeda yang ditetak horizontal, lalu ditumpuk satu sama lain begitu saja. Lantai dua bangunan tua itu berupa rangkaian papan, kayu lapis, lis kayu dan jendela kayu panjang yang berhiaskan kaca patri berwarna kuning dan hijau. Walau sudah tias karena cuaca panas, warna biru pucat masih menutupi sebagian besar permukaan tembok papannya, sama seperti warna pagar beton pendek yang mengelilingi pekarangannya yang sempit. Tembok di lantai bawahnya berupa rangkaian batako yang tidak diplester dan tidak dicat, sehingga tampak kontras dengan bangunan kayu di atasnya. Empat deret kusen pintu dan jendela pendek berjejer di sepanjang muka lantai satu rumah Fajar, menyerupai bedeng kontrakan. Dari sudut tempat pagar beton bertemu dengan tembok bedeng, sebuah pohon kersen tumbuh mencuat dan merentangkan ranting-rantingnya di atas pekarangan, seperti tangan-tangan yang ramping, menaungi sebuah becak yang teronggok tak bergairah di dekat pagar. Okta memarkir sepeda motornya di seberang becak tersebut, di sisi lain pagar yang lebih teduh karena tertutup bayangan rumah panggung tersebut dan dedaunan pohon belimbing.
Fajar mengajak mereka menaiki tangga batu di sisi rumah. Dahlia amat tertarik menelusuri bagian-bagian unik rumah tersebut satu per satu, mulai dari kepingan tegel teraso kasar yang menutupi permukaan tangga, jendela-jendela kayu berkisi-kisi di sisi Barat rumah, pilar-pilar batu kecil berukiran kembang yang memagari beranda, hingga lantai papan di beranda yang mereka pijak. Sebuah papan nama kecil yang usang tampak tergantung di pucuk kusen pintu, tapi Dahlia sudah tidak bisa membacanya karena banyak huruf-huruf kayunya yang sudah lepas. Fajar agak kesulitan membuka pintu rumah itu karena kuncinya macet.
“Oh, ini ya rumah kamu, Jar?” komentar Dahlia. Jantung Fajar berdetak tidak karuan membayangkan apa yang akan dikatakan Dahlia berikutnya setelah Fajar bilang “iya”.
“Bagus banget, Jar. Antik. Mirip rumah nenek buyutku di Semarang.”
Hati Fajar seperti dicelupkan ke air es saat mendengar komentar Dahlia. Fajar menatap takjub rumahnya sendiri, berusaha mencari bagian mana yang dapat membuat Dahlia sampai berkomentar “bagus banget”.
Lubang kunci itu akhirnya mau berkompromi dengan tangan Fajar yang sudah licin karena berkeringat. Pintu depan rumah Fajar menjeblak terbuka. Fajar mengucap salam, lalu masuk melewati ambang pintu, memimpin teman-temannya.
Ruang tamu rumah Fajar adalah sepetak ruangan kayu yang berwarna serba kuning dan cokelat, diisi dengan meja dan beberapa kursi rotan. Ruang tamu itu, dan ruang tengah di sebelahnya, hanya dipisahkan suatu rangkaian sekat papan yang saling bertaut satu sama lain dengan engsel. Dahlia menduga papan itu dapat dilepas, dilipat dan dipinggirkan saat rumah itu menggelar hajatan besar, agar ruang tamu dan ruang tengah rumah itu dapat menyatu dan bisa diduduki oleh tamu dalam jumlah yang banyak.
Fajar membuka jendela-jendela berkaca patri di sepanjang sisi ruang tengah. Di seberang jendela-jendela tersebut, adalah deretan pintu kamar yang kesemuanya tertutup. Ruangan itu diisi beberapa meja dan sofa, satu mesin jahit Singer, sangat banyak gerobok kayu berukir yang tidak diisi apa-apa, serta yang paling menarik perhatian Dahlia, sebuah benda berbentuk balok berkaki empat yang semua permukaannya dilapisi pelitur berwarna kayu. Dahlia tidak ingat kapan dia terakhir kali pernah melihat benda itu secara langsung.
“Ini TV?” tanya Dahlia takjub, seolah yang dia tunjuk itu adalah harta karun nasional yang harus segera mereka selamatkan.
“Iya, tapi udah rusak, kok,” jawab Fajar kalem.
Jawaban Fajar tidak mengurai rasa kagum Dahlia. Mungkin Dahlia memiliki kenangan istimewa dengan TV Nasional Quintrix 21 inci, pikir Fajar. Fajar sendiri dulu masih sempat menonton sinetron Jinny Oh Jinny di RCTI setiap malam Senin-Jumat lewat TV yang bentuknya mirip oven tersebut, sebelum TV kesayangan kakeknya itu rusak pada tahun 2002.
Mereka meletakkan ransel lalu duduk di sofa yang mengelilingi meja. Barulah Fajar sadar betapa canggungnya suasana yang mungkin tercipta di bawah atap rumah itu, karena Dahlia satu-satunya perempuan di kelompok mereka, dan sekarang hanya ada mereka berempat di dalam rumah tersebut. Tidak ada orang lain. Tapi Dahlia tampak tidak mempedulikan kondisi tersebut.
“Antik, Jar. Antik banget,” gumam Dahlia, sembari tatapan matanya menggerayangi tembok rumah itu. Pandangannya meloncat-loncat dari satu objek ke objek lain yang tergantung di sana : kipas-kipas merah berukuran jumbo digantung bersusun di tembok, mirip sekelompok kupu-kupu gajah raksasa; sendok dan garpu besar berkepala tokoh wayang yang dibingkai kayu; poster kaligrafi berbentuk laki-laki yang sedang duduk tasyahud; cetakan agar-agar berbentuk ikan koi; piring-piring hitam berlakuer dengan tulisan beberapa nama—mungkin suvenir pernikahan seseorang; serta kaligrafi ayat kursy yang tergantung di atas pintu masuk ke dapur.
“Jar, numpang ke WC, yo,” pinta Okta.
“Iyo, lajulah,” kata Fajar, “eh, kalian sudah makan, belum?” Fajar tiba-tiba teringat jika dia sendiri belum makan apa-apa dari siang.
“Beluuum,” teriak Okta dari arah dapur.
“Ya udah, kita makan aja dulu, ya,” Fajar lebih menujukan kata-kata itu kepada Dahlia daripada Wawan. Fajar merasa terdorong untuk memperlakukan Dahlia sebaik mungkin selama dia berada di rumah Fajar.
“Jar, gak usah repot-repot,” tolak Dahlia halus.
“Masak yang enak ya, Jar,” cetus Wawan, membuat sopan santun Dahlia jadi mentah.
“Rewangi aku, woi,” Fajar menabok dengkul Wawan, lalu mereka berjalan ke dapur sambil tertawa. Dahlia mengikuti mereka. Dia sempat mengira Fajar akan membeli makanan saja dari warung, tapi ternyata Fajar memutuskan ke dapur dan memasak sesuatu.
Dahlia berhenti di pintu masuk dapur. Pandangan matanya terpaut pada beberapa ornamen lain yang menempel di sebelah ambang pintu. Sebingkai foto kecil yang sudah berubah warna mengambil tempat di salah satu permukaan yang kosong di tembok. Di dalamnya, sepasang suami istri dengan pakaian pernikahan adat Palembang tampak berdiri di atas pelaminan, tersenyum, diapit banyak orang lainnya yang tampak lebih tua dan mengenakan busana kondangan formal : laki-laki mengenakan teluk belango atau jas, sementara perempuan mengenakan baju kurung dan kerudung tipis. Jika bukan karena warna fotonya yang luntur, Dahlia yakin sekali mempelai perempuan di foto ini memiliki rambut berwarna merah. Mungkinkah itu Ibu Fajar?
Foto lain di atasnya, dengan ukuran yang sama kecil, menampilkan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang saling berangkulan sambil tertawa. Si anak laki-laki berwajah tembam, bermata bundar dan berambut merah tebal itu langsung Dahlia kenali sebagai Fajar. Anak perempuan yang berdiri di sebelahnya tampak mirip dengan Fajar, hanya saja rambutnya hitam dan tubuhnya beberapa kilan lebih tinggi dari Fajar. Cek Nisa tertawa lepas sambil memamerkan gigi-giginya yang ompong ke arah tustel yang memotretnya.
“Lia? Kamu mau yang pedes atau nggak pedes?” panggil Fajar dari arah dapur. Dahlia cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan mengikuti arah suara tersebut.
Bagian rumah Fajar yang rapi ternyata berakhir di ambang pintu dapur. Dapurnya, yang merangkap ruang makan, berantakan sekali. Berbagai kuali, wajan, dandang, centong dan loyang kue segala ukuran tampak bertumpuk-tumpuk sembarangan di sudut ruangan, di atas kulkas atau di atas gerobok. Jika tembok ruang tengah Fajar digantungi berbagai hiasan, maka tembok dapur itu digantungi berbagai jenis tutup panci, sendok alumunium, alat pengayak adonan—Dahlia membayangkan nenek moyang Fajar dulu menggunakan alat ini untuk mengaduk adonan kue, lalu dia tersenyum sendiri—dampar kayu dan adukan kayu berukuran raksasa yang mungkin hanya pernah digunakan beberapa kali untuk menanak nasi dalam hajatan besar. Aroma apek yang manis menguar dari beberapa sudut dapur, mirip aroma mentega wijsman yang dipanaskan atau karamel yang gosong. Siapapun yang memiliki alat-alat masak di dapur tersebut tentu sudah membuat ratusan kue disana, sampai-sampai aroma bahan kuenya bisa awet melekat di papan-papan tembok dapur itu.
Fajar ternyata memasak nasi goreng. Wawan membantunya dengan menuangkan nasi ke dalam wajan, kemudian mengomentari cara Fajar mengaduk nasi yang menurutnya terlalu “halus”.
“Lebih kuat, Jar! Biar bumbunya merata, kayak nasi goreng buatan mas-mas Jawa. Aduh, lemah banget! Itu nasinya masih ada putih-putih itu, gimana tuh?”