Dahlia pulang ke rumah dengan luapan perasaan gembira.
Malam itu Krisna lembur. Dahlia makan malam hanya berdua dengan Claudia dan dia menceritakan semua yang dia kerjakan sore itu bersama Fajar, Okta dan Wawan.
“Kamu makan gulo puan? Terus nggak nyisain Bunda apa-apa?” Claudia terdengar seperti akan meledak, tetapi Dahlia tahu bundanya cuma bercanda.
“Ya Allah, Bun, maap pisan! Abisnya enak bener! Terus wadahnya kecil banget lagi, cuma sekantong kertas kecil, belum sampe ke rumah aja udah abis. Budi aja cuma bisa ngiler,” kilah Dahlia.
“Sudah jarang banget orang yang jualan gulo puan di Palembang. Apalagi yang pake sepeda,” kata Claudia, seraya menerawang gelasnya yang bening. “Bunda jadi inget pas zaman masih muda dulu.”
“Zaman masih muda dulu” adalah kata kunci yang menyinggung ingatan Dahlia.
“Nah iya, Bunda kan masih ada hutang cerita sama Adek! Katanya Bunda dulu ketemu Papi di Palembang, kan? Hayo, gimana ceritanya?”
Wajah Claudia langsung merah demi mendengar anaknya menyinggung topik itu sambil menunjuk-nunjukkan garpu ke langit-langit ruang makan. Claudia sudah keceplosan.
“Sudah lah. Sudah gak ninggalin Bunda gulo puan, sekarang malah minta cerita. Tidur aja sana,” seloroh Claudia, lalu dia membawa tumpukan piring makan kosongnya ke dapur. Dahlia tertawa tidak peduli, memanggil-manggil bundanya dari jauh.
Anehnya, ada firasat janggal yang memberati suasana hati Dahlia sejak dia meninggalkan rumah Fajar. Rasanya persis seperti saat dia berangkat sekolah dengan meninggalkan PR, atau ponsel, atau kotak pensilnya di rumah, atau seperti saat dia lupa mengerjakan PR, tapi tidak sadar apa yang dia lupakan—dan inilah bagian terburuknya, tidak ada manusia yang tahu apa yang sedang dilupakannya pada saat itu juga.
Sembari menaiki tangga ke kamarnya, Dahlia berusaha mereka-reka apa yang sudah dia lupakan atau dia tinggalkan. Dan Dahlia tidak kunjung tahu apa jawabannya, sampai dia mengeluarkan buku-buku pelajarannya dari dalam tas untuk ditukar dengan buku pelajaran besok, lalu benda berwarna hitam itu jatuh dari dalam lipatan buku cetak sejarah yang tebal ke atas meja belajarnya dengan bunyi menjeplak.
“Dahlia. Bego,” umpatnya kepada dirinya sendiri.
Dahlia sama sekali lupa soal mengembalikan buku harian Fajar.
- - - - - - - -
Fajar membiasakan dirinya untuk selalu menulis kejadian menarik dan berkesan yang dia alami di buku hariannya, sehingga saat buku itu hilang, Fajar merasa sangat aneh. Tapi keanehan lainnya yang lebih besar terjadi pada diri Fajar dan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan buku hariannya yang hilang.
Fajar menjadi lebih sering melamun. Sesuatu yang gaib seolah mencuri kemampuan Fajar untuk berkonsentrasi, sehingga dia kini lebih sering dan lebih gampang terantuk meja, menyerempet kursi atau tersangkut di kenop pintu saat sedang berjalan. Sekarang, Fajar tanpa sadar menuang terlalu banyak air minum ke cangkirnya, sehingga airnya tumpah menggenangi perlak yang menjadi taplak meja makan.
“Oi, Jar, tumpah! Makmano kau nih?” bentak Nyai Yani saat hal itu terjadi. Fajar buru-buru menyeruput gelasnya yang kepenuhan, lalu mengelap perlak meja yang basah dengan lap dari dapur.
Saat itu Fajar sedang makan malam bersama Bajak Laut Kemas Fuadi di ruang makan rumahnya. Fajar menatap piringnya yang hampir kosong, lalu dia mempertanyakan hal yang sebelumnya tidak pernah dia pertanyakan sama sekali : seperti apa suasana makan malam keluarga Dahlia? Apa yang dia makan? Terlebih lagi, seperti apa keluarga Dahlia? Apakah dia memiliki orangtua yang lengkap, baik hati, rupawan, kaya, bersahaja dan memberi teladan baik kepada anak-anaknya, seperti orangtua Dian?
Dan pertanyaan inilah yang menduduki puncak piramida pertanyaan di kepala Fajar : apakah Dahlia adalah Dian? Jika Dahlia bukan Dian, lantas mengapa segala hal tentangnya terasa begitu familier? Terasa tidak asing? Mengapa segala tindak-tanduk Dahlia mengingatkan Fajar pada Dian? Muara dari segala pertanyaan itu kini tersumbat oleh masalah buku hariannya yang hilang. Fajar kehilangan media katarsisnya dan itulah yang membuatnya lebih sering melamun.
Tapi di sisi lain, hilangnya buku harian tersebut juga turut merubuhkan Tembok Besar Cina yang ada di antara Dahlia dan Fajar. Mereka kini menjadi jauh lebih akrab, terutama sejak kunjungan singkat Dahlia ke rumah Fajar. Kegemaran Dahlia mengobrol dan bertanya kini menemukan muara yang tepat, karena Fajar adalah pendengar yang sangat baik.
“Bunda pernah cerita,” Dahlia membuka pembicaraan di suatu jam pelajaran matematika, “katanya orang Palembang asli itu biasanya punya gelar di depan nama, ya? Kayak kiagus, masagus, terus.... eh, apalagi, ya?”
“Kemas,” sambung Fajar. “Kayak namaku.” Dahlia melirik nama yang dijahit di seragam Fajar. Kata “Kms.” Memang tampak mengawali nama Fajar yang panjangnya empat kata.
“Gelar Palembang itu diturunkan dari jalur laki-laki. Semua laki-laki di keluargaku punya gelar Kemas. Buyut, kakek, abah, mamang. Katanya pemilik gelar Palembang ini masih keturunan bangsawan Kesultanan Palembang.”
“Wih, bangsawan? Beneran?” Dahlia hampir terpekik karena antusias. Bu Tina langsung menegur mereka. Dahlia dan Fajar terdiam. Okta tertawa menyebalkan di belakang punggung mereka.
Hening sejenak. Lalu Dahlia melanjutkan wawancaranya dengan Fajar.
“Bangsawan kayak Raden atau Tengku, gitu?”
Fajar takut sekali penghapus papan tulis akan melayang ke arahnya jika dia membuka mulut lagi, tapi akhirnya dia tetap berbisik. “Iya. Ada juga orang Palembang yang punya gelar Raden. Total gelarnya ada empat, setahuku : raden, masagus, kemas, kiagus. Tapi itu gelar untuk laki-laki, perempuannya beda lagi.”
“Perempuan juga punya gelar?”
“Kalau pelajarannya membuat kalian bosan, silakan keluar saja dari kelas,” suara Bu Tina menggelegar dari seberang kelas, “matematika itu harus dipelajari dengan konsentrasi. Tidak ada ruang untuk galat, apalagi untuk obrolan yang tidak ada hubungannya dengan materi pelajaran. Kecuali kalau kalian sudah pintar, silakan gantikan Ibu mengajar di depan kelas.”
Reputasi Bu Agustina Hajarwanti sebagai guru yang dingin dan galak memang sudah terkenal di seantero SMA Kebangsaan. Kali ini bukan cuma Dahlia dan Fajar, seisi kelas pun bahkan langsung diam. Bu Tina melanjutkan penjelasannya di papan tulis.
Tapi Fajar salut—entah karena rasa ingin tahunya yang besar atau karena sifat keras kepalanya yang luar biasa—Dahlia masih meneruskan obrolan mereka.
“Jangan bilang Masayu itu gelar orang Palembang yang perempuan?” tanyanya,sambil bersikeras menatap wajah Fajar. Dahlia teringat nama salah satu butik songket yang pernah dia kunjungi bersama Claudia beberapa waktu lalu.
“Memang. Masayu itu pasangannya Masagus,” bisik Fajar, pelan sekali, tanpa menatap Dahlia sedikitpun.
“Kalo Raden pasangannya apa? Raden Ajeng?”
Fajar baru mau mengatakan “Raden Ayu”, tetapi Bu Tina lagi-lagi meneriakkan alarmnya.
“Sudah, cukup. Maju kalian sini!”
Seperti pemuda dan gadis kampung yang baru tertangkap basah melakukan perbuatan tidak senonoh, Dahlia dan Fajar maju ke depan papan tulis dengan pelan dan cemas, menghadapi warga kampung yang tak lain adalah teman-teman sekelas mereka sendiri. Fajar yakin sekali dia mendengar beberapa orang terkikik dari deretan bangku paling belakang. Mia bahkan menatap mereka berdua dengan ekspresi aneh, seperti campuran antara puas dan jijik. Fajar tahu jika sejak kedatangannya ke kelas IPS 1, ada banyak anak perempuan yang tidak menyukai Dahlia, mungkin karena iri. Mereka pasti sudah lama menunggu Dahlia kena masalah.
“Kenapa kalian tidak menyimak?” Dahlia dan Fajar diam. “Oh, sudah pintar,” Bu Tina menjawab pertanyaannya sendiri. Liza cs kali ini terang-terangan tertawa. “Pasti bosan sekali ya, menyimak pelajaran yang gampang ini.”
Fajar sudah biasa dibentak, diejek dan direndahkan oleh siapapun—termasuk keluarganya sendiri—seumur hidupnya, sehingga kata-kata Bu Tina sama sekali tidak mampu menyakitinya. Dia hanya malu karena Dahlia jadi terseret masalah berdua dengannya.
Hal yang terjadi berikutnya sudah bisa Fajar duga : Bu Tina menyuruh mereka berdiri di sudut depan kelas hingga pelajaran selesai, kecuali jika mereka bisa menjawab soal yang ada di papan tulis dengan benar. Itu soal tentang statistika dasar yang baru saja dijelaskan Bu Tina sejak jam pelajarannya dimulai pagi itu. Seisi kelas menyalin soal itu ke buku tulis mereka masing-masing, sementara Fajar dan Dahlia hanya bengong menatap soal di papan tulis putih itu.
“Enak kan, berdiri berdua disitu? Lanjutkan saja mengobrolnya, tidak ada yang gang—”
Dahlia tiba-tiba mengangkat tangannya.
“Kenapa?” tanya Bu Tina spontan.
Dahlia ternyata menolak tunduk terhadap hukumannya. Dia mengambil opsi lain yang tersedia : melawan. Dahlia akan mencoba menjawab soal di papan tulis.
“Silakan saja kalau bisa,” tantang Bu Tina, kali ini sambil tersenyum dingin. Dahlia tidak perlu disuruh dua kali. Setelah seisi IPS 1 selesai menyalin soal, Dahlia menghapus sebagian papan tulis dan mulai mengerjakan soalnya.
“Kamu, bujang, mau bengong saja disana? Masa kalah sama pacarmu?” ledek Bu Tina.
Sadar bahwa dirinya akan terlihat tolol sendirian di pojok kelas jika dia tidak melakukan apa-apa, Fajar pun mengambil spidol dan ikut menerima “tantangan” Bu Tina. Fajar tidak yakin, apakah Bu Tina lengah atau memang sengaja menolongnya, tetapi soal yang diberikan Bu Tina kepada Fajar—menurutnya—jauh lebih mudah daripada yang dikerjakan oleh Dahlia. Dia hanya perlu mencari mean, modus, median dan kuartil data, materi yang sudah sering mereka ulang-ulang, sementara Dahlia harus menuntaskan soal tentang rataan gabungan.
Bu Tina mundur beberapa langkah untuk mengamati pekerjaan Dahlia dan Fajar. “Jangan dibantu!” dia membentak Akmal yang berusaha membisiki rumus rataan gabungan kepada Dahlia. Tapi Dahlia, entah bagaimana caranya, bisa menyelesaikan jawabannya dalam waktu kurang dari tiga menit tanpa dibantu oleh siapapun di kelas itu. Dia berbalik, kembali ke tempatnya berdiri dan bahkan masih sempat-sempatnya mengoreksi jawaban Fajar.
“Kuartilnya salah, Jar,” bisiknya saat melewati punggung Fajar. “Datamu ganjil. Rumusnya bukan yang itu.”
Fajar bersyukur sekali Dahlia mau membantunya. Dia segera menghapus dan memperbaiki jawabannya, lalu menyusul Dahlia ke pojok kelas tak lama setelahnya.
Bu Tina mendekati papan tulis, memeriksa jawaban mereka berdua dengan cepat, lalu berbalik dan bertanya ke seisi kelas.
“Bagaimana? Ada yang mau mengoreksi jawaban mereka?” Seisi kelas bergeming.
“Tidak ada? Ya sudah, silakan duduk. Jawaban kalian benar semua,” Bu Tina menyilakan mereka berdua dengan isyarat tangan. Fajar bisa melihat Bu Tina tersenyum tipis walau hanya beberapa detik. Tapi itu tidak ada artinya dibandingkan senyum yang mekar di wajah Dahlia. Dia tampaknya puas sekali bisa ribut di kelas, namun tetap lepas dari hukumannya. Okta dan Wawan menyambut mereka dengan tepuk tangan, diikuti beberapa orang lainnya.
“Very well. Materi ini bahkan belum Ibu ajarkan di kelas IPS yang lain, tapi kamu bisa menjawab soalnya dengan benar. Siapa nama kamu?” tanya Bu Tina kepada Dahlia.
“Dahlia, Bu. Dahlia Notonegoro,” jawab Dahlia tenang.
Bu Tina ber-oh pendek. “Tapi itu bukan alasan untuk mengobrol di kelas, oke? Masih ada jam istirahat kalau kamu mau ngobrol dengan pacarmu, sabar saja.”
Beberapa orang di kelas kembali cengengesan, tapi baik Dahlia maupun Fajar sudah tidak peduli lagi.
“Dengerin tuh, Lia,” bisik Fajar gemas. Tapi Dahlia hanya tertawa.
“Besok-besok kalau ada pemilihan Bujang-Gadis SMA Kebangsaan, kalian harus daftar,” bisik Okta dari belakang sambil memegang bahu Fajar. “Aku pasti bakal dukung!—”
“M. Taufiq Oktariansyah!” Bu Tina tiba-tiba memanggil nama Okta yang tertulis di buku absennya. “Kamu kerjakan soal berikutnya!”
Pegangan Okta tiba-tiba mengendur. Tangannya berkeringat hebat, persis ketiaknya.
- - - - - - - -
“Ehm, Dahlia?”
Dahlia mencabut earbud-nya dan menatap orang itu dari balik buku yang dia baca.
“Anu, kami mau minta tolong, boleh?”
Mereka adalah Bertha dan Irma, dua perempuan yang duduk sebangku di depan Dahlia dan Fajar.
“Boleh, boleh, boleh! Minta tolong apa nih?” sambut Dahlia.
“Boleh nggak aku gabung ke kelompok kalian buat tugas kelompok ekonomi?” tanya Bertha.
“Wah, itu. Memangnya kelompokmu kenapa? Bukannya kita sekelompok empat orang, kan? Jadi sekelas pas jadi sembilan kelompok?”
Bertha menatap berkeliling, seolah dia hendak mengatakan sesuatu yang rahasia sekali. Jam istirahat masih panjang dan kelas masih sepi.
“Aku dikeluarin dari kelompok Mary,” bisiknya lirih.
“Hah? Kok bisa?”
“Panjang ceritanya, Lia,” kali ini Irma yang menyahutnya. “Kemarin Bertha nggak masuk sekolah pas hari pembagian kelompok. Tapi seharusnya dia sekelompok sama Mary kan, karena duduk kami deketan. Nah, ternyata Mary nggak nyatet nama Bertha di kelompoknya.”
“Dia bilang makalahnya sudah selesai diketik sebelum aku kasih kontribusi apapun, jadi aku nggak dimasukin ke kelompok,” Bertha menyambung. “Itu nggak masuk akal, seenggaknya aku kan masih bisa bantu pas presentasi nanti. Menurutku Mary cuma nggak suka sama aku, makanya aku nggak dimasukin ke kelompoknya.”
“Terus sekarang Bertha nggak punya kelompok,” kata Irma, lirih bercampur jengkel. “Aku sudah coba ngomong sama Mary dan Riri, tapi mereka tetep masa bodoh. Tolong dong, Lia, kami nggak tahu mau minta tolong sama siapa lagi. Kasihan Bertha.”
Perhatian Dahlia kini fokus tercurahkan untuk Bertha dan Irma. Dahlia tidak mengerti apa yang membuat Bertha bisa diusir dari kelompoknya hanya karena masalah yang begitu sepele. Jika hal yang sama menimpanya, Dahlia pasti sudah melabrak Mary habis-habisan. Tapi mengingat mereka berdua adalah perempuan paling pendiam di kelas XI IPS 1, Dahlia menduga ini ada hubungannya dengan “lingkaran pergaulan” yang pernah Fajar tulis di buku hariannya.