Buku Harian Fajar

Ahmad Redho Nugraha
Chapter #10

KEPING 9 - Kurt Cobain

“Itu pintu kamarku,” Fajar seolah bicara untuk menjawab asumsi Dahlia. “Kalau toilet, di sebelah sana,” Fajar menunjuk pintu lain di seberang dapur.

“I, iya, Jar. Tadi aku udah pipis, kok,” dusta Dahlia.

“Terus kamu sekarang ngapain?” tanya Fajar, yang kata-katanya tidak bernada curiga sama sekali.

“Aku...Aku sebenernya penasaran banget sama ibu kamu sejak lihat fotonya di ruang tengah itu.” Astaga! Cerita macam apa lagi yang hendak kamu karang, Dahlia?

“Terus?”

“Kupikir kamu nyimpen foto ibumu yang lainnya di dalam kamarmu?” Itu bukan pernyataan, tapi pertanyaaan. Dahlia sendiri tidak yakin dengan apa yang sedang dia bicarakan.

Tapi Fajar, lagi-lagi, tidak curiga sama sekali. Dia justru mengeluarkan sekumpulan kunci dari kantong celananya, lalu membuka pintu kamarnya di hadapan Dahlia dengan salah satu kunci itu.

“Masuk aja kalau mau liat. Nggak apa-apa, kok,” ajak Fajar.

Dahlia hampir tidak percaya dengan efek cerita karangannya sendiri. Sekarang dia sudah berdiri di tepi kamar Fajar, teman sebangkunya yang selama ini menutup diri dari banyak orang. Begitu saja.

Fajar membuka jendela di depan meja belajarnya. “Memang agak gelep kalo udah sore,” Fajar bicara sendiri. Di luar jendela, Dahlia bisa melihat sebuah dam yang airnya tengah surut, memisahkan pagar belakang rumah Fajar dengan rumah panggung lain di seberangnya. Fajar kemudian menarik tali yang terjulur dari langit-langit kamarnya, lalu kipas angin yang tergantung di atas mereka berputar dengan pelan. Dia berbalik dan menghadapi Dahlia.

“Nah, ini kamarku. Nggak banyak yang bisa dilihat disini,” terang Fajar.

Fajar berkata apa adanya. Ruangan itu berlantai papan dan hanya diisi meja belajar tua, gerobok baju besar, ranjang besi, jam dinding dan sebuah televisi tabung kecil yang diletakkan di atas sebuah meja pendek. Dahlia membayangkan kembali suasana kamar yang pernah Fajar tuliskan di salah satu catatannya. Kamar itu adalah satu-satunya tempat di rumah Fajar yang pernah Fajar deskripsikan dengan jelas di dalam buku harian itu. Dahlia tidak yakin apa yang berikutnya akan dia katakan kepada Fajar, tetapi saat dia melihat ranjang, dia perlahan berjalan mendekatinya dan duduk di pinggirnya.

Fajar merogoh kantongnya kembali, mengeluarkan rangkaian kunci yang dia bawa, lalu membuka gerobok di depan ranjangnya. Itu membuat Fajar membelakangi Dahlia, dan itulah kesempatannya. Dahlia mengeluarkan buku harian Fajar dari tas selempangnya yang terbuka, lalu menyelipkannya ke celah di antara ranjang dan dinding kamar Fajar tanpa membuat suara sedikitpun.

“Kamu itu aneh, lho,” Fajar tiba-tiba membuka obrolan, masih sibuk dengan apapun yang tengah dia cari di dalam gerobok itu. “Rasa ingin tahumu itu besar sekali.”

Fajar berbalik. Tangannya memegang sebuah buku kecil tebal bersampul hitam. Dahlia merasa tidak asing dengan buku itu.

“Di rumah ini, rasa ingin tahu itu dosa. Terutama yang berkaitan dengan ibuku.” Fajar berjalan mendekati Dahlia, lalu duduk persis di sebelahnya. “Sedikit banget orang yang mau ngomongin soal Ibu di bawah atap rumah ini.”

Dalam kondisi normal, keadaan itu tentu akan menimbulkan kecanggungan luar biasa : Dahlia dan Fajar, berdua saja di dalam kamar, duduk bersebelahan di atas ranjang. Tapi Fajar tampaknya tidak peduli pada apapun selain barang yang sedang dia pegang.

“Ibuku kabur dari rumah ini waktu aku kelas 2 SD,” Fajar membuka cerita. “Waktu itu subuh, dia dijemput taksi. Aku bahkan belum bener-bener melek. Aku juga nggak tahu kenapa dia pergi.” Fajar membuka buku tebal bersampul hitam yang ada di tangannya. “Ibu nggak pernah balik-balik lagi ke rumah setelah itu. Dan coba tebak gimana respons orang-orang di rumahku waktu itu?”

Dahlia menggeleng. “Nggak tahu.”

“Mereka marah. Mereka bukan sedih, Lia, mereka marah. Kakekku, nenekku, Nyai Yani. Abah bahkan waktu itu nggak ada di rumah,” Fajar menatap mata Dahlia dan untuk pertama kalinya, Dahlia takut menatap balik mata Fajar, seolah dia enggan menemukan sesuatu yang tidak seharusnya dia temukan di balik mata biru itu. “Mereka pikir ibuku kurang ajar karena meninggalkan rumah begitu saja tanpa meminta izin siapapun. Orang yang benar-benar merasa kehilangan di rumah ini cuma aku dan kakakku.”

“Cek Nisa?” sebut Dahlia.

“Kok kamu tahu nama panggilannya?”

“Okta yang kasih tahu waktu itu.”

“Memang ember! Raja gosip SMA Kebangsaan!” gerutu Fajar. Dahlia ingin tertawa, tapi dia sadar itu akan merusak atmosfer cerita Fajar.

Fajar lalu menunjukkan salah satu lembar kekuningan di bukunya. Sebuah foto yang diambil dengan kamera film ditempel di halaman itu menggunakan potongan kecil lakban. Dahlia menatap bayi berambut cerah dalam gendongan seorang perempuan cantik, yang rambut ikalnya juga berwarna cerah.

“Sejak saat itu, semua barang dan foto milik ibuku di rumah ini dibuang sama kakek dan nenekku,” sambung Fajar. “Cuma sedikit foto yang bisa diselametin Cek Nisa. Salah satunya ini,” Fajar melirik foto itu dengan tatapan merana. “Satu-satunya foto aku sama Ibu.”

Dugaan Dahlia sama sekali tidak salah. Fajar tidak mengunci rahasia-rahasia hidupnya di dalam buku harian untuk menyembunyikannya dari semua orang. Sebaliknya, dia justru berharap rahasia-rahasia itu ditemukan oleh siapapun, oleh orang lain yang bisa menjaganya. Dan sekarang Dahlia paham siapa orang itu. Fajar telah membuka peti harta karun itu tepat di hadapan wajahnya, lalu menyerahkan isinya kepada Dahlia, bahkan tanpa diminta.

“Keluarga besarku kolot. Biasalah, uong tuo. Mereka benci orang Belanda karena faktor historis,” Fajar berkata lirih. “Dan seolah kena karma, sekarang salah satu cucu mereka yang dikatai “Belanda” dan dibenci orang-orang di sekitarnya. Aku dipanggil Belanda sama orang lain, padahal aku orang Palembang asli dengan gelar kemas, sama seperti keluargaku yang lain. Ironis.”

“Dan disaat aku butuh penjelasan tentang asal-usulku, satu-satunya orang yang bisa memberinya malah menghilang.” Fajar membalik halaman bukunya, dan memperlihatkan foto-foto lain : ibunya dengan topi piknik, ibunya yang sedang menyiram bunga, ibunya yang sedang menggandeng Cek Nisa—yang tampaknya sedang belajar berjalan—lalu ibunya yang sedang duduk bersandar di bahu seorang laki-laki berambut ikal.

“Itu Abah,” Fajar menjawab, bahkan sebelum Dahlia sempat bertanya.

“Tapi Abahmu...Dia pasti berusaha mencari ibumu, kan? Maksudku, mereka kan suami-istri. Mereka seharusnya—”

“Aku nggak tahu Abah cinta atau nggak sama Ibu,” potong Fajar, lalu dia tertawa sinis. Tawa yang tidak disukai Dahlia. “Seharusnya dia mencari Ibu, bahkan sampai ke ujung dunia kalau perlu. Tapi dia bahkan tidak banyak komentar soal kepergian Ibu. Waktu rumah ini ribut karena Ibu pergi, Abah cuma duduk-duduk, mengomel, merokok, keluar rumah beberapa jam, lalu balik lagi.” Fajar menyerahkan buku itu kepada Dahlia, yang kemudian mengamati foto-fotonya dengan lebih lekat.

“Kakakmu sekarang dimana?”

“Di luar kota,” Fajar menjawab. “Mungkin Bandung. Dulu kami pernah mikir kalau Ibu kabur kesana. Pada gilirannya, Cek Nisa juga kabur dari rumah, lalu menyusul Ibu.” Itu tidak sepenuhnya benar, tapi itu yang Fajar ingin percayai tentang kakaknya. “Foto-foto kami dan Ibu di ruang tengah itu baru kugantung disana setelah kakek dan nenek meninggal tahun 2007. Kalau mereka sekarang masih ada, mereka nggak mungkin sudi melihat gambar ibu digantung di rumah ini.”

Dahlia kehabisan kata-kata. Semua rahasia ini terlalu mendadak untuk dia terima. Terlalu berat. Dan entah seberat apa bagi Fajar yang selama ini sudah menyimpannya seorang diri. Sejenak kemudian dia sadar tentang betapa kehidupan bisa begitu memihak, dan bagi orang yang tidak mau bersyukur, mungkin menjadi begitu tidak adil. Dahlia tinggal di rumah yang nyaman—meski berpindah-pindah—bersama keluarga yang stabil, bersama orangtua dan kakak-kakak yang selalu menghujaninya dengan kasih sayang dan perhatian—dalam berbagai bentuk, termasuk bentuk-bentuk yang paling rese’ sekalipun. Dia bisa tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan mandiri, karena itulah yang diajarkan dan dicontohkan langsung oleh orangtua dan kakak-kakaknya. Hampir segala hal yang dipahami dan dikuasai Dahlia diajarkan oleh keluarganya. Tapi di tengah keluarga yang rusak seperti keluarga Fajar...siapa yang dapat Fajar jadikan teladan? Dahlia menemukan koneksi antara sifat Fajar yang pembingung, penyendiri, pendiam, pemalu dan tidak percaya diri dengan keadaan keluarganya yang berantakan, dan semua sifat tersebut jadi terasa masuk akal. Dahlia sudah sering mendengar tentang teman-teman bermasalahnya di sekolah yang memang berasal dari keluarga yang juga bermasalah. Mereka biasanya tumbuh menjadi pribadi yang agresif, impulsif, kurang ajar dan suka menindas orang lain. Beberapa contoh paling buruknya melibatkan keberadaan rokok, bahkan narkoba. Tetapi Fajar sama sekali tidak terlihat seperti itu. Dibandingkan semua contoh orang-orang “rusak” yang pernah Dahlia temui, Fajar adalah yang paling mampu mengendalikan dirinya. Jika anak-anak dengan keluarga bermasalah adalah serigala, maka Fajar mungkin adalah serigala yang sudah jinak.

Dahlia berhenti membalik-balik halaman buku itu saat halaman berikutnya tidak menunjukkan foto lagi, melainkan tulisan tangan yang berantakan. Fajar tiba-tiba merebut buku itu dari tangan Dahlia.

“Fajar? Itu buku harian kamu?”

Fajar tampak berhitung dengan keadaan, sebelum akhirnya dia memutuskan berkata jujur. “Iya. Buku harian. Aku punya buku harian.”

“Oh, gitu.”

“Kamu nggak merasa aneh?”

“Aneh kenapa?” tanya Dahlia heran.

“Karena ada cowok yang nulis buku harian?” tanya Fajar ragu.

“Memangnya kenapa kalau cowok nulis buku harian? Memangnya cuma cewek yang boleh nulis buku harian?”

Lihat selengkapnya