September tiba di Palembang dengan membawa gemuruh. Angin dan debu muncul seperti siswa SMK yang sedang tawuran : berhamburan ke jalanan, bertabrakan, kemudian membuat para pengendara sepeda motor terpaksa meminggirkan kendaraan mereka ke bahu jalan—karena mata mereka kelilipan. Di sepanjang Jalan Dr. M. Isa, pohon-pohon kelapa bergoyang seperti raksasa yang terbatuk-batuk karena kencangnya tiupan angin muson. Musim hujan merangkak dari Muara Sungsang, dan sekarang sedang menyusuri bantaran Sungai Musi menuju 10 Ilir.
Fajar turun dari angkot yang dia tumpangi dan dia bersumpah di dalam hati jika itu akan menjadi hari terakhir di Bulan September dimana dia mandi keringat gara-gara terpanggang di dalam kaleng beroda empat itu. Besok-besok, penderitaannya di bawah terik matahari Palembang yang panas bedengkang akan berganti dengan mandi hujan yang tidak direncanakan. Tapi itu masih lebih jauh lebih menyenangkan dibandingkan mandi keringat.
Pun demikian, musim hujan tidak merasa perlu menunggu besok. Siang itu juga, saat tubuh Fajar tengah lengket oleh keringat, rintik-rintik hujan pertama turun ke bumi dan menegurnya. Tapi baik tetes hujan maupun keringat nyatanya datang terlambat. Sebelum mereka tiba, Fajar sudah jauh lebih dulu basah karena sesuatu yang lain. Dia basah karena tercebur ke dalam kolam perasaan yang hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu apa namanya.
Fajar tidak punya alasan lagi untuk menyangkal perasaannya sendiri : dia memang sedang kasmaran. Dan kasmarannya sudah memasuki fase baru. Otaknya belakangan lebih rajin melepaskan oksitosin, dan kini panca indera Fajar menjadi lebih peka dalam menganalisa ruang dan bentuk di sekitarnya. Bukan hanya dia tidak pernah lagi tersandung kaki meja, terantuk kursi atau tersangkut di kenop pintu, tapi segala sesuatu di dekatnya kini seolah menumbuhkan sulur-sulur tidak terlihat yang berbuah bait-bait puisi. Selama ini Fajar memandang jatuh cinta sebagai hal yang konyol, dan jatuh cinta justru menjadi jauh lebih konyol lagi saat Fajar sendiri yang mengalaminya. Dia merasa bisa membuat puisi dari apapun yang ada di sekitarnya pada saat itu juga : gerobak penjual minyak tanah, angkot, kulit durian di tumpukan sampah, air comberan, tiang listrik, papan reklame, koko penjual plastik, mamang penjual tembikar, cece penjual emas, peluit tukang parkir dan tentu saja, rintik hujan yang kini sukses membuat kacamatanya buram.
Tepat sebelum laskar hujan merapatkan barisan mereka dan membasahi Fajar hingga ke lapisan terdalam sempak, Fajar melepaskan jaketnya, menyelubungkannya ke tas selempang yang dia bawa, lalu menentengnya menerobos hujan seperti seorang martir. Bahkan dia tidak terpikir untuk berteduh di bawah naungan kanopi toko-toko, seperti yang dilakukan semua pengendara sepeda motor di Jalan Slamet Riady—yang kini menatapnya dengan tatapan heran bercampur takjub. Fajar tersenyum ke arah mereka.
Petir dan bayu berseteru
Tentang siapa yang menumpahkan gelas air dari atas meja langit
Hingga bumi yang tak ikut bermain, basah dibuatnya
Manusia-manusia menepi
Untuk lalu bersedekap di dalam hening yang berontak
Koyak
Oleh derap ricik hujan yang berteriak serak
Manusia-manusia menepi, dan aku menengah
Mereka tertawa seperti melihat orang gila
Padahal apa bedanya?
Toh di bawah rinai hujan pertama
Orang gila dan tidak terlalu gila,
Semuanya tertawa gembira
Di kolong mendung yang megah
Orang gila dan sangat gila
Kuyup sebasah-basahnya
Fajar meloncati bongkahan batu trotoar yang rusak parah dengan tenaga yang tidak wajar. Dia merasa ringan. Tubuhnya seperti memiliki tenaga ekstra yang entah muncul darimana.
Batu
Kaku
Ngilu
Rikuh
Singkuh
Menunggu
Habisnya rerimbunan detik yang seperti butir terigu
Pakaian Fajar sudah benar-benar lekat ke badannya. Rambutnya basah kuyup. Betapa Fajar menikmati itu, meski dia tahu akan membayarnya dengan terbaring di kasur karena demam malam nanti. Meski air hujan merembes lewat sudut-sudut matanya dan membuat matanya perih. Meski kaus kakinya basah karena dia menginjak genangan air. Meski seorang pengendara mobil sialan mencipratkan genangan air ke celana pramukanya.
Derik suara air hujan di genteng seng sebuah toko menajamkan ingatan Fajar tentang apa saja yang dia temukan hari itu di sekolah, berkat panca inderanya yang menjadi makin peka tanpa dia minta.
Untuk pertama kalinya sejak mereka duduk bersebelahan, hidung Fajar menyadari jika rambut Dahlia menguarkan aroma shampo yang sama setiap harinya. Sesuatu yang ringan, harum, manis dan lucu. Fajar membayangkan kulit pisang cavendish saat mencium baunya. Hidung Fajar juga menemukan aroma deodoran semprot dan parfum pakaian di udara di sekitar mereka, atau aroma mint dan jahe dari mulut Dahlia setiap dia menyapa Fajar dari dekat.
Sementara itu, sepasang telinga Fajar berubah menjadi semacam seismograf. Mereka dengan pekanya mendeteksi, lalu merekam getaran suara Dahlia di tengah jam pelajaran, kemudian mengidentifikasinya sebagai “ajakan mengobrol”, “menyanyi”, “menguap” atau “menggerutu”. Sering kali seismograf ini rusak sendiri selama beberapa saat karena guncangan hebat yang timbul saat Dahlia tertawa. Walau teramat sensitif, alat itu masih belum mampu mendefinisikan lengkungan gelombang suara tawa Dahlia menjadi keindahan yang bisa dicatat dalam bahasa apapun.
Bahkan mata Fajar yang rabun itu bersumpah kepada Fajar jika mereka menjadi jauh lebih jeli. Lewat observasi-observasi singkat—dengan mencuri-curi pandang—duo intel Melayu itu menyadari jika bekas jerawat di pipi Dahlia bukan benar-benar bekas jerawat, melainkan bintik-bintik khas yang terdapat di kulit wajah orang berdarah kaukasia, sama seperti Fajar. Dan Fajar berani bertaruh jika rambut Dahlia memiliki sedikit warna cokelat saat sinar matahari dari jendela di belakang Fajar menerpa wajahnya. Jika Fajar terlalu lama menatap Dahlia—dan memang itu yang kerap terjadi—maka Dahlia akan menatap balik mata Fajar dan bertanya “Kenapa?” lalu disanalah Fajar berkesempatan mengamati pula dua butir batu safir itu, tertanam di kedua sisi pangkal hidungnya yang luncung dan tirus. Mengapa bisa ada manusia yang begini rupawan—atau rupawati?
Fajar hampir mengarang sebuah puisi lagi di perempatan Lorong Tapakning – Lorong Kemang, ketika tiga sosok kurus, bertopi dan berjaket menodongnya dan meminta uang beberapa ribu. Gareng cs, yang kelek-nya selalu berbau lem sepatu. Sama seperti Fajar, mereka berambut merah, hanya saja berwajah kampungan dan bergigi kuning. Dan entah mengapa, hari itu pun di bawah tirai hujan pertama September yang deras, mereka berubah menjadi begitu tampan dan agung dari balik kacamata Fajar yang basah. Fajar bahkan merasa ingin menyerahkan semua uang di kantong celananya kepada mereka bertiga saat itu juga, tapi karena dia masih memiliki sedikit kewarasan, maka Fajar hanya memberi mereka dua ribu rupiah. Dan tentu saja sebuah puisi.
Jika diizinkan
Aku akan dengan gembira mengintip masa
Ketika malaikat-malaikat Zabaniyah
Melepas tiga kepala reges dari lehernya
Lalu memainkannya bagai gundu
Di dasar kerak neraka
Fajar melalui mereka dengan perasaan menang, walau dua ribu rupiahnya raib. Dia memanjat naik tangga rumahnya, mengetuk pintu tiga kali dengan bernada, lalu menunggu Nyai Yani membukanya dari dalam. Nyai Yani muncul di ambang pintu dengan wajah berjengit, seolah yang dia tatap saat itu adalah antu banyu yang sedang menatapnya balik sambil tersenyum. Tapi bahkan Fajar merasa ingin sekali mengecup pipi Nyai Yani dan berkata “Nyai cantik sekali hari ini, muah”.
Fajar melangkah masuk, mengabaikan pekikan tidak setuju Nyai Yani saat pakaian Fajar yang basah mencipratkan air ke lantai papan rumahnya yang berderit ketika dia menginjaknya. Aneh, batin Fajar. Dia bahkan tidak merasa berjalan sama sekali. Dia terbang, menuju tempat paling nyaman di dunia : kamarnya.
Fajar mengunci pintu kamar, melepas pakaiannya, lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Rambutnya bahkan belum benar-benar kering saat tangannya mengembat pulpen dan buku catatan puisinya dari dalam laci meja. Fajar membuka sebelah daun jendela di hadapannya, lalu angin lembut yang dingin bersiut-siut dari celah kisi-kisinya. Kamarnya sangat berisik karena ricik hujan yang mendarat di genteng. Satu-satunya bentuk kebisingan yang Fajar pernah rindukan di dunia ini.
Mungkin tidak ada waktu yang lebih tepat lagi untuk melakukannya : Fajar ingin menulis sebuah puisi tentang Dahlia saat itu juga. Satu saja. Tapi yang sempurna. Dan dia tahu itu berarti dia tidak akan berhenti menulis puisi sampai dia lelah, karena tidak ada puisi yang sempurna di dunia ini. Tidak jika manusia yang mencoba menciptakannya.
Fajar menulis, lalu mencoret, lalu menulis, lalu mencoret lagi. Dia tidak kunjung lelah, dan puisi yang sempurna itu tak kunjung menampakkan putih giginya. Fajar tersenyum sendiri. Sekarang dia makin yakin jika jatuh cinta adalah hal yang konyol, karena di hari yang lain, dia dapat menatap lembar-lembar putih di bukunya sampai berjam-jam, dan yang dia bisa peroleh hanya beberapa baris dan bait yang rapuh. Tapi saat ini dengan hati yang penuh kembang dan suasana yang paling mendukung, dia mampu membuat enam puisi hanya dengan sekali duduk, dan gobloknya, bahkan tidak ada satu pun di antara semua itu yang menurutnya cukup mampu menggambarkan perasaannya kepada Dahlia secara utuh.
Fajar memijat batang hidungnya dan berpikir deras, sederas air hujan yang mengucur turun dari talang genteng rumahnya. Dia ingin bahasa di dalam puisi itu seperti Dahlia : kuat, tangguh, lugas, namun juga tenang, halus dan anggun. Dia ingin puisi itu harum seperti napas Dahlia, segar seperti rambut Dahlia, renyah seperti suara Dahlia. Dia ingin Dahlia berubah menjadi puisi di dalam kepalanya, lalu Fajar tinggal menuliskannya ke atas kertas-kertas putih itu. Kumpulan emosi dan inspirasi tersumbat di dada Fajar, membuat jantungnya berdetak tidak karuan, lalu meledak menjadi sesuatu yang liar yang kemudian menggerakkan tangannya untuk menulis lagi. Sesekali Fajar berhenti, membaca ulang kalimatnya, lalu kembali menulis. Begitu terus hingga dia sadar bahwa tidak peduli sebanyak apapun dia menulis dan mengoreksi, di hadapan sifat manusianya yang banyak mau namun sangat tidak sempurna, puisi sempurna itu tidak akan pernah lahir. Tapi Fajar sudah mengerahkan segala sumber daya kreatifnya untuk menulis puisi ketujuh tersebut, dan kini dia lelah. Maka Fajar harus menerima bahwa puisi terbaik tentang Dahlia mungkin tidak akan lahir dalam sekali duduk, tetapi dalam proses kontemplasi yang lebih panjang lagi. Menulis puisi untuk Dahlia mungkin adalah proses yang tidak akan selesai. Tapi cukup untuk hari ini.
Fajar memakai kaus hangat berlengan panjang dan berbaring di kasurnya. Dia mengangkat buku itu ke dekat wajahnya dan sekali lagi membaca kata “Epona” yang tertulis di baris paling atas puisi ketujuh tersebut. Mungkin puisi adalah gelas yang terlalu liliput untuk menampung tuangan perasaannya yang bagai banjir rob. Dia rindu menulis surat panjang-panjang di buku hariannya yang sudah hilang itu, dan dia lelah. Maka setelah membaca puisi Epona beberapa kali lagi, Fajar berguling ke kanan, menaruh buku itu di sisi dipan, di celah sempit yang ada di antara kasur dan tembok. Lalu dia menyadari sesuatu yang membuat kesadarannya kembali terlonjak.
Buku harian Fajar tersempil tepat di tempat dia akan meletakkan buku puisinya. Pikiran Fajar yang berkabut tidak bisa mencerna bagaimana buku itu bisa ada disana sekarang setelah dulu dia mengobrak-abrik isi kamar itu berkali-kali dan tidak menemukannya dimana-mana. Tapi tenaganya masih cukup untuk dia gunakan meraih pulpen kembali, lalu membuat sebuah catatan singkat di balik halaman terakhir yang pernah dia tulis di buku itu.
Assalammualaikum, Ibu
Buku ini sempat hilang, dan sekarang aku menemukannya lagi. Tapi ada hal lain yang lebih mendesak untuk aku beritahu. Ini sebenarnya pesan yang sangat pendek :
Aku jatuh cinta, Bu.
Sudah. Begitu saja. Titik.
Oh, satu lagi. Aku tidak ingat siapa yang pernah bilang begini, tapi benarlah jika bagi orang yang jatuh cinta, suara kentut bisa menjelma suara terompet, tahi ayam bisa berubah jadi cokelat.