Buku Harian Fajar

Ahmad Redho Nugraha
Chapter #12

KEPING 11 - Kolam

“Ehm. Dian punya pengumuman penting.”

Claudia dan Krisna menatap Dahlia, yang kini berdiri di antara mereka dan televisi yang sedang menayangkan Headline News malam.

“Sesuai janji Dian waktu mau pindah ke IPS dulu, sekarang Dian mau aktif di organisasi sekolah.”

“Anu, bisa nggak kamu ngomongnya dari samping aja, biar TV-nya kelihatan?” pinta Krisna. Dahlia langsung minggir sambil cekikikan, kemudian duduk menyempil di antara Claudia dan Krisna.

“Dian, kamu itu udah gede, mana muat duduk di tengah-tengah Papi sama Bunda!” Krisna menggerutu.

“Pap, Dian mau ikut OSIS aja. Menurut Papi gimana?” Dahlia menatap papinya dengan manja.

“OSIS? Bentar, kamu bukannya mau ikut ekskul fotografi?”

“Mana ada ekskul fotografi di SMA Kebangsaan, Papi,” Dahlia berkata, setengah protes.

“Kamu kenapa memangnya mau masuk OSIS?” Claudia bertanya.

“Biar bisa deket sama kakak kelas ganteng, hehe,” Claudia langsung menatapnya galak. “Nggak lah, Bun. OSIS itu kan sentral kegiatan segala ekskul di SMA Kebangsaan. Kalau gabung kesitu, Dian bisa belajar banyak tentang organisasi, punya akses ke organisasi dan ekskul lain, terus kenal sama banyak orang dan punya jaringan yang luas.”

“Nggak ada alasan lain?” Claudia skeptis.

“OSIS SMA Kebangsaan itu berantakan, Bun,” sekarang gantian Krisna yang melotot menatap Dahlia saat dia mengatakan ini. “Makanya butuh orang-orang yang bener untuk memperbaikinya. Nah, supaya bisa bener...”

“Dan cara memperbaikinya adalah dengan?” selidik Claudia.

“Dian harus jadi Ketua OSIS.”

Baik Claudia dan Krisna kini menatapnya nanar.

“Oh, oh, bentar, bentar,”

“Kamu ngapain daftar jadi Ketua OSIS? Nanti sekolahmu yang berantakan!”

Dahlia sadar pernyataannya barusan berpotensi membuka pintu gerbang sebuah drama malam itu. Tapi tekadnya sudah bulat. Dahlia sudah tahu apa yang dia inginkan dan dia tidak akan berhenti menginginkannya begitu saja hanya karena orangtuanya tidak sependapat dengannya.

“Anggap aja ini ujian naik level bagi Dian, Pap, Bun,” Dahlia membuka orasinya. “Kakak-kakak yang lain pas masih SMA semuanya berprestasi di bidangnya masing-masing,” Dahlia hampir menyebut Dhian dan segudang prestasinya, tapi buru-buru mengoreksi rencananya. “Kak Krisan dulu langganan JU dan sering menang lomba cepat-tepat. Mbak Yasmin dulu jadi Paskibraka dan ikut Kirab Pemuda Nusantara. Kalau mau jujur, Dian merasa nggak bakat di bidang akademik, dan sekarang sudah kelas XI, sudah terlambat kalau mau mulai bersiap-siap ikut program kepemudaan atau yang sejenisnya. Rekrutmen anggota ekskul lain juga sudah pada tutup. Cuma OSIS yang sekarang buka seleksi jadi ketua langsung dan bisa diikutin sama siapapun.”

“Tapi apa nggak terlalu buru-buru, sayang?” tanya Krisna. “Kamu kan masih....”

“...Anak baru di sekolah. Iya, Pap, Dian tahu. Dan itu sebabnya Dian perlu doa restu dan dukungan dari Bunda dan Papi,” kata Dahlia. “Sejauh ini Dian bisa keep up dengan baik sama pelajaran-pelajaran IPS, Pap, malah terkadang banyak banget sisa waktu luang pas libur atau pulang sekolah. Rasanya sayang banget kalo Dian nggak ngelakuin apa-apa selain belajar di sekolah.”

“Papi bisa bantu kamu untuk urusan apapun yang berkaitan sama akademik, tapi kalau organisasi, nggak deh.”

“Dian cuma minta doa restu, Pap, bukan bantuan material,” Dahlia tersinggung. “Untuk urusan program kerja dan tim sukses, Dian sudah punya rencana matang.” Perkataan itu setengah dusta, karena persiapan Dahlia untuk mencalon Ketua OSIS sebenarnya masih mentah.

“Menurut Bunda, ya,” Claudia mengambil alih obrolan, “Dian memang punya jiwa kepemimpinan yang perlu disalurkan. It’s already in our blood, isn’t it?” dia mengatakan itu kepada Krisna yang kelihatan tidak setuju. “Anak-anak Notonegoro semuanya natural leader. Jadi kalau Dian memang mau, ya, why not?”

Dahlia kesengsem pada perkataan bundanya. Jika di keluarga lain ibu adalah sosok cerewet, serba takut, suka marah-marah yang diimbangi oleh sosok ayah yang tenang, suportif dan diplomatis, maka peran itu seolah tertukar di dalam keluarga Notonegoro. Krisna adalah sosok ayah yang protektif dan—selagi dia bisa—akan menjauhkan anak-anaknya dari risiko apapun yang masih bisa dihindari, meski itu berarti dia harus kontra dengan semua sikap anak-anaknya. Sementara itu Claudia, adalah ibu yang bukan hanya mampu mengendalikan keadaan, tetapi juga tahu kapan harus memindahkan perseneling dalam mengontrol anak-anaknya. Dan sepertinya ini adalah saatnya Claudia menurunkan posisi persenelingnya ke titik yang lebih rendah dan pelan-pelan membiarkan Dahlia mengambil alih keputusan hidupnya sendiri.

“Kamu pernah jadi ketua angkatan dan kepala dirijen marching band pas SMP. Bunda percaya kok sama kemampuan kamu, Dian,” Claudia mengangkat kedua jempolnya dengan cara konyol sampai-sampai Dahlia tersenyum. Tapi hanya sebentar, karena Claudia menurunkan jempolnya lagi. “Tapi tetap saja, lebih baik kamu pikir-pikir lagi. Ketua OSIS itu bukan jabatan kecil, apalagi di sekolah besar kayak SMA Kebangsaan. Dan kamu tahu apa yang lebih besar lagi? Konsekuensinya. Inget kata Peter Parker : with great power comes great responsibility.”

Soal mengutip quote dari film dan buku, Dahlia memang perlu belajar banyak dari bundanya. Tapi soal tekad dan niat, Dahlia adalah yang paling teguh di antara seluruh anggota keluarganya. Dia selalu merasa diperlakukan sebagai anak bawang, baik oleh orangtua maupun kakak-kakaknya. Dahlia hanya meminta kesempatan, dan jika dia mendapatkannya, Dahlia akan berusaha keras membuktikan jika dia bukan anak bawang lagi.

“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa ngebuktiin diri di masa SMA, Pap, Bun. Masa SMA-ku terpotong setahun karena pindahan, dan waktu sekolahku tinggal dua tahun lagi. Setidaknya kalau aku jadi ketua OSIS, aku bisa punya bekal pengalaman yang kubawa ke dunia universitas nanti, selain nilai-nilai akademik.”

Dahlia sepertinya sudah mengatakan hal yang tepat, karena Claudia tersenyum. Krisna menatap Claudia dalam diam. Mereka seperti juri Indonesian Idol yang sedang berunding lewat telepati. Claudia mengangguk. Krisna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Do your best, then.” Dahlia hampir meneriakkan terima kasihnya pada Claudia, “tapi jangan putus asa kalau kamu nggak berhasil. Kamu itu masih belum pinter mengendalikan ekspektasi kamu, Dian,” titah Claudia. “Kamu sekarang nggak sedang berkompetisi dengan siapa-siapa, oke? Bahkan tidak dengan kakak-kakakmu. Luruskan niat kamu. Kalau memang mau jadi ketua OSIS, rencanakan dan pikirkan baik-baik, pegang alasan yang kamu sebut tadi : ingin memperbaiki OSIS SMA Kebangsaan, bukan untuk prestasi dan reputasi kamu sendiri. Ingat omongan Bunda.”

Dahlia merangkul Claudia dan Krisna. Dia sudah bukan anak kecil lagi—bahkan secara literal, dia sudah cukup besar hingga bisa merangkul tubuh kedua orangtuanya—dan Dahlia akan membuktikannya. Dahlia ingin kakak-kakaknya tidak lagi menganggapnya anak bawang yang dispesialkan di rumah hanya karena terlahir bontot. Dia ingin dihargai karena mampu melakukan hal-hal besar dan mengambil keputusan secara mandiri seperti yang mereka semua pernah lakukan.

Malam itu sebelum tidur, Dahlia mengobrol habis-habisan dengan Claudia di kamar orangtuanya. Mereka membahas rencana dan persiapan Dahlia untuk mencalonkan diri, termasuk tentang merancang visi misi dan program kerja OSIS setahun ke depan.

“Sudah lama banget Bunda nggak ngurus yang beginian. Jadi kangen zaman kuliah dulu,” kata Claudia.

Obrolannya dengan Claudia membuat Dahlia sadar betapa dia merindukan pillow talk bersama Claudia dan Yasmin yang belum pernah dilakukannya lagi semenjak keluarga mereka pindah ke Palembang. Pembicaraan Dahlia dan Claudia pun melompat-lompat ke beberapa topik di luar OSIS, mulai dari kelas XI IPS 1, mata pelajaran, ekskul, kemudian guru-guru dan teman-teman Dahlia di sekolah, termasuk Fajar.

“Fajar siapa?” Krisna ternyata hanya pura-pura tidur di kasurnya dari tadi. Telinganya langsung berdiri saat dia mendengar Dahlia menyebut nama teman laki-lakinya di kelas.

“Fajar ini yang kemarin ngasih kamu gulo puan?” tanya Claudia.

Ngapunten, Fajar saha?” Krisna mengulangi pertanyaannya lagi dengan mendesak. Dahlia dan Claudia tertawa.

“Fajar itu temen sebangkuku di kelas, Pap,” jawab Dahlia.

“Cewek?”

“Ya cowok, lah, Pap! Mana ada cewek namanya Fajrul Akbar!” olok Dahlia.

“Hah? Kok kamu duduk sebangku sama anak cowok?!”

Dahlia langsung bisa menebak kemana arah pikiran papinya. Krisna memang melarang anak-anaknya berpacaran, tapi insting protektif papinya kali ini menurut Dahlia agak berlebihan. Demi mengurai hal tersebut, Dahlia menceritakan bagaimana dia akhirnya bisa duduk sebangku dengan Fajar.

“Nggak masuk akal,” geram Krisna, “siapa sih wali kelas kamu? Harusnya duduk kalian itu dipisah, biar kalian duduk sendiri-sendiri.”

“Papi apaan, sih? Memangnya kenapa kalo Dian temenan sama cowok?”

“Temenan, nggak apa. Duduk sebangku? No way.”

“Tapi Fajar orangnya baik, kok, nggak kayak cowok-cowok lain yang kebanyakan modus.”

“Laki-laki itu, Dian, mau apapun warna rambutnya, warna kulitnya, warna duit di dompetnya, tetap saja laki-laki. Gombal semuanya,” Krisna menutup pembicaraan itu dan membalik badannya ke arah tembok, seolah berusaha tidur. Padahal jelas-jelas dia masih menguping obrolan ibu-anak itu.

“Iya deh, iya, memang cuma Papi yang nggak gombal,” gerutu Dahlia.

“Nggak usah didengerin. Papimu itu sendiri raja gombal, apalagi waktu ngedeketin Bunda dulu,” bisik Claudia.

“Oh, wajar. Jadi nggak mau kegombalannya disaingin sama yang lain,” cemooh Dahlia, dan Claudia tertawa.

“Papi denger, lho!” Krisna menyahut dari balik selimut.

- - - - - - - -

Kesempatan itu ternyata datang jauh lebih cepat dari yang Tara duga.

“Coba tebak siapa yang mau aku temuin sesudah balik sekolah nanti?”

Nurjannah hanya mengangkat sebelah alisnya saat Tara menanyakan itu. “Guru BK?”

Baseng bae! FAJAR!”

Nurjannah ber-oh pendek. “Tapi hari ini bukannya jadwal kamu latihan taekwondo?”

“Hari ini aku cuma piket ngawasin latihan adek-adek kelas X, tapi bukan aku sendirian. Ada anak-anak lain juga yang piket, jadi aku bisa pergi,” Tara menatap ke tempat lain saat mengutarakannya, merasa agak bersalah.

Nurjannah baru mengenal Tara satu tahun, tapi mereka sudah sangat dekat. Tara dan Nurjannah adalah tempat sampah satu sama lain—dan sebagian besar “sampah” yang dilemparkan Tara ke dalam Nurjannah selalu berhubungan dengan Fajar. Mereka berdua bisa berteman akrab bukan karena kemiripan karakter atau kesamaan idola dan hobi, melainkan karena peran mereka yang saling mengisi. Tara menemukan sosok kakak perempuan di dalam diri Nurjannah, sementara Nurjannah, menemukan sosok adik perempuan yang labil dan sentimentil yang harus dia jaga pada diri seorang Tara. Mereka berdua bagai dua papan kayu berbeda ukuran yang saling bertaut di tembok, lalu begitu saja merekat dan tidak terpisahkan.

“Tara, tanpa mengurangi rasa hormat,” Nurjannah mengokang senapannya, “untuk kesekian kalinya aku mau bilang : tolong jangan terlalu berharap sama Fajar. Nah, lho, aneh kan? Kenapa aku sampe harus minta tolong supaya kamu mau menyelamatkan diri kamu sendiri?”

“Menyelamatkan diri dari apa, Nur? Aku tuh cuma mau ketemu dan ngobrol lagi sama Fajar, nggak ada yang lain,” Tara menangkis. “Nggak salah, kan?”

“Bukan aktivitasnya yang aku maksud, Tara. Tapi harapan kamu dari pertemuan itu,” sambung Nur. “Kamu itu masih suka sama Fajar, dan Fajar tahu soal itu. Nah, sejauh ini gimana respons dia yang kamu lihat?”

“Nggak ada. Fajar memang pendiem darisananya,” Tara mulai tidak nyaman.

“Fajar mungkin—eh, nggak, Fajar itu memang nggak ada rasa yang sama ke kamu, Tara. ”

“Terus kenapa? Apa aku harus batalin janji juga sama Lia?”

“Janji apa?”

“Dia ngajak aku ke rumahnya bareng Fajar,” terang Tara. “Balik ini. Mereka ada kerja kelompok berdua, jadi Lia minta kutemenin. Menurutku aku bisa sekalian kenal lebih jauh sama Lia dan keluarganya. Aku juga kan belum pernah main ke rumah Lia sebelumnya.”

Nurjannah menutup Alquran kecil yang dia pegang sedari tadi, agar dia bisa lebih fokus menceramahi sahabatnya satu ini. “Nggak masalah sih kalo kalian bertiga. Tapi denger ini Tara, laki-laki dan perempuan yang jatuh cinta itu, selama mereka nggak diikat oleh hubungan yang pasti dan halal—pernikahan—selamanya mereka itu bakal terombang-ambing karena perasaannya sendiri. Nggak ada arah. Nggak jelas. Ujung-ujungnya cuma sakit hati.”

“Jadi gimana, dong? Masa aku harus minta Fajar ngehalalin aku, gitu, baru aku boleh ngobrol sama dia lagi?”

Nurjannah tertawa sebal, lalu merangkul Tara karena kehabisan kata-kata. “Aku tuh ya, bingung banget sebenernya aku ini sayang atau sebel sih sama kamu. Pengen nampol, tapi kesian, tapi pengen banget, hih!”

Tara berusaha melepaskan pipinya yang dicubiti oleh Nurjannah. “Tapi aku nggak apa, Nur. Serius. Kan ada Dahlia, aku bisa ngobrol sama dia kalau Fajar nggak mau ngomong sama aku.” Tara menelan ludah, takut membayangkan asumsinya sendiri.

“Inget kata-kata aku, Tara,” Nurjannah berbisik, “Walau jatuh cinta itu fitrah, jangan berharap orang yang kamu suka itu bakal suka balik sama kamu. Jangan. Berharap sama manusia itu cuma buat kecewa, buat sakit. Kalau memang kamu mau ketemu Fajar cuma untuk ngobrol, tolong jangan bawa-bawa perasaan kamu ke dalam obrolan kalian. Aku nggak mau kamu sakit lagi gara-gara berharap sama Fajar.”

Tara tersenyum. Nurjannah adalah temannya yang paling dia sayang di seluruh dunia ini. “Kamu tuh so sweet banget, Nur. Mau nggak jadi pacar aku?”

“NGGAK!”

- - - - - - - -

Lambat laun Fajar merasa Budi bukan hanya berperan sebagai supir keluarga Dahlia, tapi juga sosok yang akan menjadi saksi mata pertumbuhan lingkaran pertemanan Dahlia di sekolah dari waktu ke waktu. Setelah Fajar dan Wawan, kini Budi berkenalan dengan Tara yang duduk tepat di belakang bangku supirnya.

“Motor kamu gimana, Tar?” tanya Dahlia dari bangku depan.

“Tadi udah aku titip sama temenku, nanti dia yang bawa balik ke rumah,” jawab Tara setenang mungkin. Perasaannya terguncang, karena saat itu Fajar sedang duduk di sebelahnya—walau dia sama sekali tidak melirik ke arahnya.

Lihat selengkapnya