Setibanya di SMA Kebangsaan keesokan paginya, Dahlia langsung mencari Tara di kelas XI IPA 3. Tapi ternyata Tara belum sampai di sekolah.
“Anak IPS ngapain disini?”
Dahlia menoleh. Dewa sedang berdiri di ambang pintu, mendukung ransel di salah satu bahunya.
“Mana Tara?”
“Mana kutahu. Memang aku pegang kakinya?”
Dahlia tidak ingin melepaskan emosi yang tidak perlu pada manusia menyebalkan itu. Dia meninggalkan XI IPA 3 dan menuju kafetaria. Tara juga tidak ada di kantin manapun. Dahlia akhirnya memutuskan kembali ke XI IPS 1 dan mencari Tara lagi di jam istirahat pertama nanti. Di kelas, Fajar sudah duduk di bangkunya sambil membaca buku yang Dahlia pinjamkan kemarin.
“Liat Tara, nggak?” Dahlia tembak lurus.
“Nggak. Kenapa memangnya?” Fajar bertanya balik.
Dahlia menggeleng. “Nggak, nggak apa-apa.” Fajar langsung tahu ada yang tidak beres. Tapi perkataan Krisna kemarin benar-benar membekas di hati Fajar. Perasaan senangnya saat berjumpa Dahlia kini bercampur perasaan bersalah dan sedikit perasaan mual.
Dahlia duduk di sebelah Fajar, lalu menatap Fajar dengan seksama. Bohlam di kepalanya tanpa dia sangka, menyala. Kenapa dia bisa begitu tidak peka? Mungkinkah sikap Tara yang aneh ada hubungannya dengan Fajar? Dahlia merasa bodoh sekali karena dia begitu tidak sensitif menilai keadaan, dan alih-alih mendekatkan Tara dengan Fajar, dia justru memonopoli segala percakapan dengan Fajar selama mereka berada di rumahnya. Tidak salah lagi.
“Jar, aku mau tanya sesuatu. Tapi jangan diceritain ke orang lain, oke?”
Pikiran Fajar langsung melayang kembali kepada Krisna, lalu hatinya seketika kecut. “Tentang apa?”
“Kamu tahu kan kalo Tara suka sama kamu?”
Fajar tertegun. Ternyata ini yang membuat Dahlia mencari Tara pagi-pagi sekali. Baik Fajar maupun Dahlia ternyata memiliki asumsi yang sama. Demi mempermudah komunikasi mereka, Fajar memutuskan jujur.
“Aku juga merasa dia punya perasaan begitu dari dulu. Tapi itu cuma anggapan aku aja, sih.”
Dahlia tertawa getir. “Cuma anggapan kamu? Jar, Tara itu memang suka banget sama kamu, itu tuh jelas banget! Kok kamu bisa nggak peka banget, sih? Setiap kami kumpul di kantin, pasti kamu lagi, kamu lagi yang dia bahas.”
Rasanya aneh sekali karena perempuan yang dia sukai sekarang justru memberitahu Fajar jika ada perempuan lain yang menyukainya. “Lalu?”
“Menurutku itu ada hubungannya sama sikap Tara kemarin. Menurutku dia....cemburu sama kita berdua.”
Fajar makin gusar. Hari masih pagi, dia belum sepenuhnya melupakan kata-kata Krisna, lalu sekarang dia harus memikirkan pula soal hubungan perasaan Tara kepadanya dengan sakit perutnya kemarin. “Lia, sejak awal aku sengaja nggak merespons balik tingkah Tara karena aku nggak mau keadaan seperti ini terjadi.”
Dahlia hampir tidak percaya pada apa yang dia dengar. Menurutnya “tingkah” bukan pilihan kata terbaik untuk menyebut perasaan Tara kepada Fajar. “Jadi kamu sengaja bersikap dingin, sengak, nggak sensitif di dekatnya supaya dia nggak sakit hati? Apa menurutmu bukan sifat kayak itu yang justru bisa buat orang lain sakit hati?” Ada motivasi personal di dalam perkataan itu, karena Dahlia tiba-tiba teringat pada masa awal perkenalannya dengan Fajar, dimana Fajar sering sekali mendiamkan dan mengabaikannya. Dahlia tidak menyangka jika Tara yang dulu memintanya berbaik sangka kepada Fajar, justru mengalami hal yang sama sepertinya selama ini.
Fajar ragu, tapi akhirnya dia menjawab “Iya”.
“Aku nggak nyangka ya, Jar. Ternyata kamu sok ganteng banget,” Kata-kata itu sukses menikam ulu hati Fajar.
“Nggak, kamu nggak paham. Aku kenal Tara dari SMP. Dia itu memang suka bisik-bisik ke temennya soal aku, ketawa cekikikan setiap aku lewat, terus ngeliat aku sambil sembunyi-sembunyi. Kalau ada orang lain yang ngelakuin hal kayak gitu ke kamu, kira-kira respons macam apa yang kamu kasih?” Fajar tidak tahu mana yang lebih mendasari kata-katanya barusan, rasa kesalnya kepada Krisna atau rasa kesalnya kepada Dahlia karena baru saja mengatainya “sok ganteng”.
“Aku nggak akan kasih muka ke cowok yang freak kayak gitu,” Fajar hampir lega, tapi ternyata Dahlia belum selesai, “karena aku cewek, Fajar, aku sudah biasa banget diperlakuin kayak gitu sama cowok-cowok ganjen. Dimana-mana, kapanpun. Tapi lain halnya kalau cewek yang ngelakuin hal ini—”
“Lain kenapa?” potong Fajar sebal.
“Kamu tuh ngerti nggak, sih? Cewek dan cowok itu mekanisme jatuh cintanya emang beda! Cewek itu secara naluriah emang nggak bisa nyimpen perasaannya sendiri, makanya mereka sering ngelibatin temen-temen terdeketnya waktu lagi naksir sama cowok, dan itu wajar banget. Tara ngelakuin itu bukan karena freak, tapi karena dia suka banget sama kamu, Fajar! Dan dia nggak punya cara yang tepat untuk ngungkapin perasaannya karena kamu selalu ngebangun tembok di antara kalian!”
Fajar merasa argumen Dahlia sudah berat sebelah. Sekarang dia yakin sekali jika kunjungan Tara ke rumah Dahlia kemarin memang sudah direncanakan oleh Dahlia. Dahlia ingin mencomblagi Fajar dan Tara. “Tapi aku tetap nggak nyaman sama perhatian-perhatian Tara yang nggak aku minta, dan itu juga wajar menurutku.”
“Nggak nyaman bukan berarti harus sengak,” Dahlia tidak menahan kejengkelannya lagi. Fajar sudah tersinggung setengah mati. Tadi sok ganteng, sekarang sengak. “Kamu itu harusnya bisa lebih sensitif. Tara itu nggak bisa digituin.”
“Jadi menurutmu aku yang salah karena Tara berharap sama aku?” Fajar sadar jika dia mulai terdengar arogan, tapi kata-kata Dahlia sendiri sudah melukai harga dirinya.
“Nggak. Nggak ada yang salah. Tapi kita tetep harus minta maaf sama Tara,” Dahlia mencoba menguasai dirinya kembali. “Dan jangan merasa kamu itu berhak mengabaikan Tara atau mandang dia sebelah mata cuma karena dia suka sama kamu. Dia itu temen aku,” ternyata sampai disitu saja pengendalian dirinya. Bersamaan dengan closing statement Dahlia, Okta dan Wawan tiba-tiba muncul secara bersamaan dari pintu masuk kelas.
“Hai,” Okta menyapa mereka berdua dengan gaya selengekannya yang biasa. Dahlia dan Fajar berhenti bertengkar, lalu diam dengan canggungnya. Pemandangan janggal itu benar-benar menggelitik Okta untuk mengolok mereka lebih jauh lagi. “Kok diem-dieman bae? Musuhan?”
Baik Dahlia maupun Fajar ingin sekali menghajar Okta pada saat itu juga.
- - - - - - - -
Malam sebelumnya, Nurjanah penuh oleh “sampah” yang dilemparkan Tara kepadanya via sambungan telepon. Tara lagi-lagi gagal mengendalikan ekspektasinya sendiri. Persis seperti dugaannya. Nurjannah memanfaatkan peluang tersebut untuk “menghajar” Tara habis-habisan dengan kumpulan quote anti pacaran yang dia peroleh dari liqo’ dan status-status Facebook Tere-Liye.
“Sukurin,” Nurjannah menimpali curhatan Tara.
“NUR JAHAT!—ZROT”
“Dari dulu tuh ini terus, Tar, yang kita bahas. Ini lagi yang buat kamu nangis. Bedanya sekarang ada orang lain yang buat kamu cemburu,” Nurjannah menghela napas. “Dari awal aku juga udah curiga Dahlia sama Fajar itu memang ada apa-apa.”
“Nur, udah, Ah—ZROT—nggak usah bawa-bawa Dahlia!—ZROT.”
“Kamu nangis gara-gara mereka, kan?” tantang Nurjannah. Ini peluangnya untuk memancing Tara agar lebih menggunakan logikanya dalam memandang persoalan ini.
“Aku nangis—ZROT—karena aku cemburu. Tapi itu karena—ZROT—Dahlia akrab sama Fajar. Bukan salah Dahlia kalo dia akrab sama—ZROT—Fajar. Aku nangis gara-gara aku yang langsung cemburu sendiri.”
“NAH, ITU PINTER! Kenapa nggak mikir begitu dari awal?!” sergah Nurjannah tanpa ampun, lalu suara tangis kembali pecah di gendang telinganya. “Sejak awal yang menyakiti kamu itu ekspektasi kamu, harapan kamu, Tara, bukan perlakuan Fajar atau Dahlia.”
“Tapi—ZROT—aku tuh—ZROT—udah kenal Fajar dari SMP—ZROT ZROT—Nur!”
“Buang dulu umbelnyo, jijik, ih.” Terdengar suara seseorang membuang ingus dari ujung sambungan telepon.
“Aku tuh udah kenal Fajar dari SMP, tapi Fajar nggak pernah bisa akrab begitu sama aku. Tapi sama Lia? Lain! Itu yang buat aku langsung merasa rendah diri. Kalau harus bersaing sama Lia, aku...aku...”
“Mungkin sejak awal memang kamu nggak perlu bersaing sama siapapun, Tar,” kata Nurjannah. “Jangan memperlakukan diri kamu itu kayak komoditas, deh, memangnya kamu pikir Fajar itu berhak milih antara kamu atau Dahlia? Mau kamu dipilih-pilih kayak barang beje begitu?”
Tara terdengar diam sejenak. “Ya mau aja kalau yang milihnya Fajar.”
Nurjannah meluat setengah mati. Dia kecewa sekali karena teknologi gampar via sambungan telepon belum ditemukan pada masa itu. “Susah ya ngomong sama samsak,” hilang sudah rasa teganya. “Tar, kunci dari lingkaran setan masalah kamu itu sebenernya ada di kamu sendiri. Kalau kamu bisa memahami perasaan kamu itu dari sudut pandang yang beda—kayak yang selama ini aku coba kasih tahu tapi cuma kamu iya-iyain—kamu bisa membentengi diri kamu dari perasaan kecewa kayak gini, sekalipun Fajar nolak kamu. Bahkan meski Fajar jadian sama Dahlia sekalipun, kamu bisa kuat dan nggak sakit hati.”
“Nur, jangan ngomong gitu, lah!”
“Pertama-tama kamu yakinin diri kamu, kalau memang jodoh, ya pasti nggak kemana. Terus, kamu tinggal berproses. Perbaikin diri kamu, fokus sama diri kamu aja, nggak usah mikir apa yang Fajar pikir soal kamu. Fajar mau pacaran sama Dahlia kek, mau jungkir balik kek, kamu cukup peduli sama diri kamu sendiri aja, sama proses kamu dalam memperbaiki diri. Terakhir, kalo memang sudah waktunya nanti ketemu jodoh, kamu bakal dapet yang terbaik. Baik sangka sama Allah, Allah itu selalu kasih yang terbaik sama hamba-Nya.”
“Terus gimana kalau aku sama Fajar nggak jodoh?” tanya Tara.
“Ya berarti itu yang terbaik buat kamu. Pasti kamu bakal dapet yang lebih baik dari Fajar. Lagian, heh, Fajar apa bagusnya, sih? Dulu banyak banget cewek yang suka ngegosipin dia diem-diem, padahal banyak cowok lain yang lebih ganteng.”
“Aku suka sama Fajar itu bukan karena dia ganteng,” Tara akhirnya membela diri, tapi Nurjannah langsung memotongnya.
“Iya, iya, tapi karena dia baik, rajin, pinter, jujur, nggak banyak tingkah. Iya, aku udah denger ratusan kali.”
“Nur...” Tara kembali mengadu. “Besok gimana aku ngadepin Dahlia? Dia pasti mikir yang aneh-aneh soal aku. Dari tadi dia nelpon, tapi nggak aku angkat-angkat. Aku jadi nggak enak.”
“Ya siapa suruh kamu nangis-nangis bombay di rumah dia, hih!” Nurjannah berkata gemas. “Kalau kamu belum siap ketemu dia, besok mending mojok dulu ke sekret taekwondo. Jangan temuin dia sampe kamu siap.”
Tapi alih-alih berhenti mencari Tara, keesokan harinya, Dahlia ternyata justru langsung mendatangi Nurjannah di kelas XI IPA 1 saat jam istirahat pertama. Nurjannah menurunkan Alquran kecil yang dia baca dari depan hidungnya.
“Nur, liat Tara, nggak?” Dahlia langsung menanyainya.
“Aku belum liat dia hari ini, Lia,” jawab Nurjannah jujur. “Kenapa memangnya?”
“Aku ada perlu sama dia, ada yang mau aku omongin,” ujar Dahlia.
Dahlia menatap berkeliling kelas XI IPA 1. Fajar pernah bercerita jika kelas dengan angka 1 di belakang namanya berisi siswa dengan nilai rapor terbaik di SMA Kebangsaan. Sepintas tak ada hal yang berbeda di kelas IPA 1 dibandingkan kelas-kelas lainnya. Perempuan bergosip, laki-laki bermain gitar dan menyanyi di pojokan kelas. Hanya ada beberapa orang yang tampak tekun membaca buku pelajaran atau mencoret-coret buku catatan mereka.
“Mau titip sama aku aja, nggak? Nanti aku sampein ke dia kalo ketemu,” tawar Nurjannah.