Buku Harian Fajar

Ahmad Redho Nugraha
Chapter #14

KEPING 13 - Homo Homini Lupus

Sejak usianya menginjak 15 tahun, dia mengalami gangguan tidur yang konstan—orang-orang menyebutnya insomnia. Tapi neneknya di dusun bersikeras mengatakan jika tubuhnya ditempeli jin, dan memang selalu jin yang disalahkan setiap kali dia melakukan hal-hal kelewat batas—misalnya mematahkan lengan anak tetangga yang mengatainya babirusa. Dan manapun yang benar, dia tidak peduli. Semua orang memang gemar berteori tentangnya, seolah kepribadiannya adalah nomor togel yang bisa direka-reka dan memberikan keuntungan besar jika rekaan tersebut benar. Dia tidak pernah suka dihakimi, tapi semua orang selalu menghakiminya. Begitu lama dia diperlakukan dengan cara yang dia tidak sukai hingga akhirnya dia tidak lagi peduli. Semua orang bisa mengatakan apapun tentang Gilang Rambu Anarky, dan Gilang akan selalu membuktikan kalau mereka semua salah.

Contohnya pagi ini. Gilang kembali membuktikan jika, berkebalikan dengan penghakiman semua guru sekolahnya selama ini, dia bisa datang pagi ke sekolah dan tidak terlambat ke kelas gara-gara bergadang semalaman. Tapi persetan dengan penilaian mereka. Gilang tidak datang pagi-pagi untuk mengklarifikasi apapun kepada gurunya di SMA Kebangsaan. Setibanya di sekolah, dia berdiri dan menunggu di balik tembok parkiran motor.

Jantung Gilang bergetar keras saat motor yang dia tunggu itu mendekati parkiran, seolah sebuah stereo orgen tunggal yang memainkan lagu dangdut saat itu tengah diletakkan persis di belakangnya. Ini dia, batin Gilang. Kali ini Gilang akan benar-benar mendekatinya, lalu...lalu...membayangkan rencananya sendiri saja rasanya sudah bisa membuat Gilang meninggal karena serangan jantung.

Tara memarkirkan motornya, lalu melepas helm. Rambut-rambut lurusnya yang pendek berjatuhan ke pipinya—ini dia, mati aku!—Tara menyisir rambutnya dengan alakadar di depan kaca spion menggunakan tangannya. Tara tersenyum—mati aku (dua kali)!—beranjak dari jok motornya, merapikan seragamnya dan bersiap ke kelas XI IPA 3.

“Anu...Gilang...”

“MINGGIR DULU BANGSAT!” Gilang mengayunkan tendangan brutal ke arah sumber suara itu bahkan tanpa menolehkan kepalanya. Si pemilik suara—sepertinya—terbang menjauh hingga beberapa meter, lalu jatuh tersungkur. Tara mendengar kericuhan itu dan menoleh ke arah tempat persembunyian Gilang, tepat saat Gilang menarik lehernya dan berlindung sepenuhnya di balik tembok parkiran. Tara masih sempat melihat pucuk-pucuk rambut jabrik Gilang menghilang ke belakang tembok itu.

“Mati aku!” Gilang mengumpat dirinya sendiri untuk kesekian kalinya. Dia seketika menyesal sekali terlahir sebagai manusia dengan suara menggelegar—bahkan suaranya saat berbicara pelan pun terdengar seperti teriakan bagi orang di sekitarnya. Gilang melipir menjauh, memutari tembok parkiran dan berusaha mengintip Tara dari sisi lain tembok yang lebih aman, tapi dia celaka. Tara justru lewat tepat di hadapannya saat dia melongokan kepalanya lagi.

“WAAH!”

“GYAAA!!”

Mereka berdua terperanjat, tapi Gilang lah yang paling terkejut. Bukan hanya dia akhirnya bisa berada begitu dekat dengan Tara, tapi Gilang sendiri tidak ingat kapan mereka terakhir kali pernah bicara—jika teriakan barusan dapat dikategorikan sebagai “bicara”. Interaksi Gilang dan Tara selama ini hanya terjadi di dalam lamunan atau mimpi Gilang. Sisanya, di parkiran motor setiap pagi, saat Gilang menguntit Tara memarkir motor dari balik tembok. Dan itu bahkan bukan sebentuk interaksi sama sekali.

“Kamu...Gilang, kan?”

Otot-otot wajah Gilang menegang, disusul otot-otot kaki, pantat, perut, dada, leher, bahu dan lengan. Paru-parunya berhenti bekerja. Tara ternyata ingat namanya.

“Ngapain disini?”

“Ba..ba...ba...” Gilang menggagap. Tara menelengkan kepalanya dan menatap Gilang dengan heran—Ya Allah, alangkah imutnya makhluk ciptaanmu yang satu ini!

“Ba...ba...ba...babirusa.”

Lalu Gilang berlari meninggalkan Tara. Kencang sekali. Tidak ada yang bisa menandingi kecepatan lari (baca : kabur) laki-laki yang kehilangan harga diri di hadapan perempuan pujaannya. Tidak atlet lari Jamaika sekalipun. Dan tidak ada yang tahu kecuali Tuhan Yang Maha Esa, mengapa Gilang harus memilih mengucapkan kata “babirusa” saat gagap di depan Tara.

“BONGOK!” Gilang meneriaki dirinya sendiri saat dia sudah cukup jauh. Dia tidak berhenti berlari. Entah sampai kemana kakinya—dan rasa malunya—akan membawanya. Tara menangkap basah dirinya sedang mengintipnya di parkiran motor. Apa yang selama ini dia rencanakan? Meminta nomor ponsel atau pin BBM Tara? Otot-ototnya selalu mengejang tiba-tiba, jangankan saat bicara, bahkan saat dia melihat senyum di wajah Tara dari kejauhan. Memenangkan piala Juara I cabor atletik POPDA Sumsel rasanya jauh lebih mudah bagi Gilang daripada mendapatkan nomor ponsel Tara.

- - - - - - - -

Nama Aswan, Dahlia dan Akmal ditempel di papan pengumuman SMA Kebangsaan, lengkap  pas foto mereka yang dicetak dalam ukuran 10R. Mereka bertiga adalah caketos yang lulus seleksi berkas.

Perasaan lega Dahlia ketika melihat pengumuman itu langsung didepak oleh perasaan tegang yang baru. Dia sama sekali tidak menyangka jika Akmal juga mencalonkan diri untuk pemilihan ketos. Di kepala Dahlia, kompetisi ini tadinya akan menjadi seperti Pemilu Amerika Serikat : hanya ada dua calon yang masing-masing merepresentasikan dua partai besar yang mereka bawa—dalam konteks SMA Kebangsaan, dua partai ini adalah jurusan IPA dan IPS. Bergabungnya Akmal ke pertarungan ini bukan hanya berpotensi memecah suara para pemilih dari jurusan IPS, tapi lebih buruk, membuat posisi Dahlia terpojok. Dia akan menjadi caketos dengan basis pendukung paling lemah.

Ketika bertolak ke arah kelas XI IPS 1, Dahlia berpapasan dengan Fajar.

“Pagi, Jar,” tegur Dahlia.

“Pagi,” jawab Fajar.

Canggung. Tidak pernah sebelumnya mereka bertukar sapa dengan hanya mengucapkan “pagi”. Meski Fajar memang sedikit bicara, Dahlia tahu ada yang lain dalam sikapnya hari itu, sama seperti dulu saat Dahlia mencuri buku hariannya. Dahlia berjalan menuju kelas, melewati Fajar.

“Lia?”

Dahlia menoleh kepada Fajar.

“Sukses, ya.”

Dahlia tersenyum tulus. “Makasih, Jar.”

Saat itu ada banyak sekali yang ingin Dahlia ceritakan dan tanyakan kepada Fajar, tetapi sesuai keputusan awalnya, dia tidak mau melibatkan Fajar ataupun Tara di dalam pencalonan ketosnya sebelum mereka semua berbaikan secara resmi, dan Dahlia hanya akan berbaikan dengan mereka semua setelah urusannya dengan pencalonan ketos selesai. Dia sudah punya konsep, visi, strategi dan bahkan time schedule kegiatan menuju pencalonan OSIS yang sudah dia susun dan diskusikan bersama Claudia, termasuk menghabiskan waktu istirahat dengan menyendiri di perpustakaan, mempelajari tes tertulis dan teknik wawancara yang baik. Dia bahkan menghentikan wisata kulinernya keliling kantin-kantin SMA Kebangsaan dan beralih membawa bekal untuk makan siang—yang dia habiskan di perpustakaan sekolah sambil mengerjakan tugas atau belajar. Dahlia hanya perlu fokus pada rencananya sebaik mungkin, dan jika dia tidak berhasil menjadi ketos, maka yang perlu dia siapkan berikutnya adalah kemampuan berdamai dengan kegagalannya.

Tapi semua itu tentu saja jauh lebih mudah dilakukan di dalam kepalanya. Sejak seisi sekolah tahu dia mencalonkan diri menjadi ketos, Dahlia merasa mata semua orang mengawasinya. Seolah semua mulut membicarakannya dari belakang. Itu bukan paranoia. Saat berpapasan dengan anak-anak IPS lain dalam perjalanan ke perpustakaan, Dahlia mendengar beberapa dari mereka terang-terangan mengoloknya.

“Pst, calon ketos,” bisik salah seorang perempuan yang dia lewati kepada teman-temannya, lalu mereka cekikikan. Seolah mencalonkan ketos adalah aib. Tapi Dahlia mampu mengendalikan dirinya dan berfokus kepada tujuannya. Sejauh ini.

Dahlia lulus tes tertulis dan wawancara tanpa hambatan berarti—kecuali kakak-kakak OSIS menyebalkan bernama Bowok yang terang-terangan berusaha mendekatinya sejak dia selesai mewawancarai Dahlia. Pengumuman hasil tes wawancara dilakukan langsung di sekretariat OSIS setelah semua wawancara selesai, disusul dengan penjelasan petunjuk teknis masa kampanye.

“Selamat, kalian bertiga lulus tes wawancara!” Nadifa mengumumkan dengan ceria. Tepuk tangan pengurus OSIS yang hadir menggema di tembok sekretariat OSIS, menghentak  gendang telinga Dahlia. “Tapi rangkaian tes kalian masih panjang ya, adek-adek. Setelah ini masih ada masa kampanye selama tiga minggu.”

Lalu Nadifa menjabarkan peraturan dan teknis masa kampanye caketos. Dahlia mencatat penjelasan Nadifa di bloc note-nya dengan campuran perasaan ngilu dan cemas. Sejak awal  di antara semua rangkaian tes, masa kampanye adalah bagian yang paling dia khawatirkan. Ini berbeda dengan tes tertulis dan tes wawancara yang bisa dia persiapkan dan dia hadapi sendiri.

Selama tiga pekan ke depan, dia akan memperkenalkan dirinya sebagai calon ketos kepada khalayak siswa SMA Kebangsaan dengan cara apapun yang diizinkan—termasuk mencetak brosur kampanye dan menempelkannya di seluruh SMA Kebangsaan, atau mendatangi kelas satu per satu dan membacakan visi-misinya di depan kelas. Nadifa menekankan jika semua calon tidak diwajibkan melakukan kampanye, tapi sangat disarankan—dia memakai istilah sunnah muakkad untuk menyebutnya—demi menciptakan apa yang pengurus OSIS tahun ini sebut dengan “iklim politik sekolah yang progresif dan demokratis”. Masa kampanye bertujuan memperkenalkan langsung caketos kepada para calon pemilihnya, sehingga tidak ada bias dalam pemilihan umum caketos nantinya.

Nadifa juga mengatakan jika dalam masa kampanye, para caketos diizinkan merekrut tim sukses untuk melancarkan kampanye mereka. Dahlia sontak berhenti mencatat saat mendengar bagian ini.

“Anggap saja ini ujian paling awal kalian dalam menggalang kerjasama tim. Kalian diizinkan mengajak teman-teman terdekat kalian untuk menjadi tim sukses. Gunakan semua sumberdaya dan ide kreatif kalian untuk mempopulerkan diri beserta ide dan gagasan kalian untuk OSIS dan SMA Kebangsaan dalam satu periode kepemimpinan ke depan.”

Perasaan ngilu dan cemas Dahlia kini sudah memanjat naik ke pangkal kerongkongannya, seolah siap keluar melalui mulutnya dalam bentuk cairan kental yang pahit. Dia mengelap pelipisnya yang berkeringat. OSIS membatasi jumlah anggota tim sukses hingga maksimal sebanyak 20 orang. Dahlia tidak perlu berhitung sama sekali untuk paham jika jumlah temannya di SMA Kebangsaan saat ini bahkan belum mencapai angka maksimal itu. Sementara Akmal dan Aswan? Meski Dahlia tahu jika masa kampanye bukan penentu kemenangan secara mutlak, tapi sampai disini, dia sadar jika dia sudah ratusan langkah tertinggal di belakang kedua pesaingnya.

Aswan bukan hanya populer dan cerdas, dia juga termasuk ke dalam jajaran pengurus OSIS tahun sebelumnya. Dia kenal semua orang di ruangan itu. Belum lagi ditambah dengan basis pendukungnya dari jurusan IPA, tidak mengherankan jika Nurjannah menyebutnya sebagai kandidat kuat caketos.

Di pihak lain, Akmal aktif di Paskibra SMA Kebangsaan. Walau dia mungkin tidak punya jaringan di dalam kepengurusan OSIS, dia punya dukungan penuh dari anggota paskibra, termasuk junior, senior dan bahkan mungkin alumni-alumninya. Itu belum termasuk dukungan potensial dari siswa-siswa jurusan IPS.

“Ada pertanyaan?” Nadifa memandang mereka bertiga. Dahlia punya ratusan pertanyaan saat itu saja, tapi pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan menunjukkan betapa terpojoknya posisi Dahlia di tengah Akmal dan Aswan. Ruangan sekretariat itu terasa menyempit dan menghimpitnya dari segala sisi. Sesak.

Dahlia punya banyak teman di Bandung dan Surabaya : teman-teman SD, teman asrama, marching band, english club dan kelas X.1-nya yang sangat kompak. Meski tidak semua temannya akrab dengan Dahlia, tetapi mereka adalah sosok-sosok suportif yang selama ini mendukungnya, teman-teman pertama yang membuatnya merasa diterima dan punya tempat di tengah lingkaran pergaulannya. Tapi setelah dia pindah ke Palembang, mereka semua seperti ditarik masuk ke dalam bola kristal dan berubah menjadi hiasan yang hanya bisa dilihat dari balik kaca, tapi tidak bisa Dahlia sentuh. Mereka seperti tabungan deposito yang baru dia setorkan dan tidak akan bisa dia cairkan hingga beberapa tahun ke depan. Bagian diri Dahlia yang paling kekanak-kanakkan seketika ingin sekali berharap jika ini bukan Palembang, tapi Surabaya, agar dia tidak perlu lagi mencari dukungan dari orang-orang baru yang tidak dia kenal. Hati kecilnya ingin mengutuk Krisna yang membuat keluarga Notonegoro jadi harus pindah ke Palembang, sehingga Dahlia “kehilangan” semua teman-temannya.

Dahlia juga punya bundanya, support system paling kokoh dan paling kukuh yang pernah bisa dia miliki seumur hidupnya. Dia juga punya papinya yang, dia yakin, rela mengorbankan apapun miliknya agar Dahlia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan. Tapi semua itu adalah privilese yang hanya dapat mengiringinya sampai ke gerbang SMA Kebangsaan. Setibanya disini, dia harus menanggalkan semua itu dan bertarung dengan kemampuannya sendiri, karena sejak awal Dahlia sendirilah yang memulai pertarungan ini. Dia sendiri yang menjatuhkan dirinya ke tengah stadium gladiator caketos, semata-mata demi membuktikan jika dirinya memang anak Notonegoro yang istimewa, sama seperti kakak-kakaknya, bukan hanya anak bawang yang selama ini diistimewakan karena kebetulan terlahir belakangan. Dahlia mengatur napasnya. Dia meraup sisa-sisa kepercayaan dirinya—yang rasanya sudah hancur menjadi serpihan pasir kasar—lalu menguatkan dirinya sekali lagi. Aku bisa. Pasti ada cara untuk menang, atau setidaknya mengimbangi keadaan.

Setelah Nadifa mempersilakan mereka bubar, Dahlia berdiri dan meninggalkan ruangan itu dengan dada yang rasanya ingin meledak. Perseneling emosinya sudah berpindah ke posisi tertinggi, dan kini tanpa dia sadari, dia berjalan sangat cepat menuju pintu keluar.

“Dahlia?” panggil suara merdu itu. Dahlia tahu siapa pemilik suara itu bahkan sebelum dia menolehkan wajahnya.

“Kamu kenapa? Nggak enak badan?” Citro, yang berdiri di luar pintu sekretariat OSIS menanyainya.

“Nggak, nggak apa-apa, Kak,” dusta Dahlia. Dia pasti akan senang sekali bertemu dengan Citro di kesempatan yang lain, tapi saat itu dia hanya ingin memakai sepatunya cepat-cepat dan pulang ke rumah untuk berdiskusi dengan Claudia tentang keadaannya. Citro ternyata tidak bisa menerka suasana hatinya.

“Wan, kamu apain anak gadis orang?”

Lihat selengkapnya