Buku Harian Fajar

Ahmad Redho Nugraha
Chapter #15

KEPING 14 - Gilang Rambu Anarky

Dahlia menandaskan bekal makan siangnya dengan frustrasi di ruang tunggu perpustakaan. Sendirian. Teman-temannya setuju untuk mendukungnya sebagai timses, tapi masalah berikutnya adalah bagaimana caranya menemukan waktu yang tepat untuk berkumpul dan membahas soal masa kampanye secara rutin. Dan Dahlia tidak punya waktu. Okta dan Wawan belakangan hampir selalu latihan dengan ekskul mereka masing-masing, sementara Irma sibuk karena pelantikan pengurus baru di ekskul Jurnalistik. Mereka seharusnya sekarang duduk bersama di ruang tunggu itu, menyelesaikan mading promosi Dahlia yang rencananya akan dia tempel di papan pengumuman SMA Kebangsaan. Tapi kini Dahlia hanya menatap kotak bekalnya yang kosong dan tumpukan peralatan untuk membuat mading yang belum lagi dia sentuh sejak dia duduk di ruangan itu. Bagian dirinya yang paling frustrasi ingin sekali percaya jika baik Irma, Okta maupun Wawan sebenarnya sengaja menghindarinya, bukan sibuk dengan ekskul mereka.

Semuanya sekarang terasa bodoh baginya. Pencalonan ketos. Timses. Dirinya yang mencari dan meminta dukungan dari orang-orang yang tidak punya utang atau ikatan emosional apapun dengannya. Dahlia merasa bodoh karena sejak awal mendaftarkan dirinya sebagai caketos hanya untuk membuktikan dirinya di hadapan orangtuanya. Membuktikan apa? Sekarang dia tidak mungkin memenangkan pemilihan ketos, dan semua orang sudah terlanjur mengenalnya sebagai calon ketos yang akan gugur. Satu-satunya hal yang akan terbukti  setelah pencalonan ketos ini berakhir adalah bahwa dirinya adalah seorang perempuan ambisius yang oportunis, dan ironisnya, tidak memiliki dukungan dari siapapun di SMA Kebangsaan. Semua orang akan ingat jika Dahlia Insania Abdi Notonegoro pernah mencalonkan diri sebagai ketos SMA Kebangsaan dan dengan konyolnya mengira dia akan berhasil, tapi justru gagal dengan sangat menyedihkan.

Dahlia ingin menangis. Claudia selalu memberitahunya jika menangis bukan bentuk  kelemahan, tapi tindakan alamiah manusia dalam melepaskan beban emosional yang terlampau banyak untuk ditampung. Tapi Dahlia tidak peduli lagi apa penyebabnya. Dia hanya ingin menangis. Dan konyolnya, harga dirinya masih bekerja dengan normal bahkan dalam kondisi tertekan. 10 menit lagi bel masuk istirahat kedua akan berbunyi dan dia tidak sudi siapapun melihatnya menangis seperti orang cengeng di ruang tunggu perpustakaan itu atau di ruang kelas XI IPS 1. Dahlia akan membereskan perlengkapan madingnya, pergi ke toilet perempuan di lantai 1 dan menangis sejadi-jadinya disana hingga bel masuk berbunyi.

Dahlia berjalan melewati meja tamu dengan pandangan tertunduk. Saat tangannya hampir menyentuh kenop pintu perpustakaan, seseorang tiba-tiba mendorong pintu tersebut terbuka dari luar. Daun pintu itu menabrak lengan kiri Dahlia, sehingga perlengkapan mading yang dia bawa pun jatuh berhamburan ke atas karpet perpustakaan. Dahlia meringis kesakitan. Dia yakin sekali airmata yang sedari tadi dia tahan kini tumpah setetes. Dahlia memutuskan masa bodoh dengan siapapun yang menabraknya, lalu duduk berlutut, memungut satu per satu perlengkapan madingnya yang berserakan. Tapi orang yang menabraknya ternyata melakukan hal yang sama tepat di hadapannya.

“Dahlia?”

Dahlia lebih memilih mati daripada harus menatap mata Fajar saat itu juga. Dia tidak menjawab Fajar dan lanjut memungut perlengkapan madingnya dengan enggan. Paru-parunya berontak. Bahu Dahlia terguncang. Tidak, jangan sekarang! Jangan di depan Fajar!

Fajar cemas luar biasa. Selama ini dia berusaha menjauhi Dahlia sesuai perintah Krisna, tapi sepanjang siang dan malam, benaknya terus-menerus memikirkan apa dampak sikapnya tersebut terhadap Dahlia. Terutama setelah mereka meributkan masalah Tara, lalu Dahlia mencalonkan diri menjadi ketos. Fajar yakin sekali Dahlia akan membencinya setelah dia kembali bersikap “sengak”, seperti yang dulu Dahlia teriakkan kepada Fajar di depan hidungnya. Fajar sudah menyiapkan diri seandainya Dahlia akan menjauhinya, memusuhinya  atau bahkan bersekongkol dengan orang lain untuk menjelek-jelekkannya dari belakang. Tapi dia tidak pernah mengantisipasi apa yang tengah terjadi di depan matanya saat ini : Dahlia menangis.

Mereka berdua tidak mengatakan apapun, sementara tangan Dahlia gemetaran saat dia berusaha mengambil penggaris plastik di dekat lutut Fajar. Fajar meraih penggaris plastik itu mendahuluinya, memasukkannya ke tote bag Dahlia, lalu membujuknya untuk berdiri.

“Ayo,” ajak Fajar. Dahlia berdiri tanpa diminta, tapi dia kemudian langsung berjalan melewati Fajar begitu saja. Secara refleks, Fajar meraih tangan Dahlia dan menahannya.

“Dahlia, tunggu,” Fajar berkata selembut mungkin. “Sini dulu bentar.” Dia menarik Dahlia masuk lagi ke ruang tunggu perpustakaan, pelan-pelan, kali ini ke sudut yang paling sepi dan tersembunyi di balik rak buku dan meja komputer.

Fajar melonggarkan pegangannya dengan canggung karena telapak tangannya berkeringat. Dia bahkan tidak tahu kenapa Dahlia menangis. Apa yang akan Fajar lakukan? Tadinya dia berniat mencari Dahlia untuk mengembalikan buku puisi Kolam, lalu meminta maaf. Itu hal yang belakangan ini selalu dia pikirkan. Dia akan minta maaf pada Dahlia untuk segala sikap tidak menyenangkannya, termasuk karena dia sudah bertingkah “sok ganteng” di depan Tara, lalu dia akan kembali mematuhi perintah Krisna untuk menjaga jarak dengan Dahlia. Tetapi demi melihat Dahlia menangis, dia merasa perlu melakukan sesuatu yang lain, apapun itu. Pertama-tama mereka harus duduk di tempat yang tenang.

Fajar mendudukkan Dahlia di depannya, dan Dahlia—secara mengejutkan—menurut saja. Tapi baru dua detik mereka duduk berhadapan, tangis Dahlia tiba-tiba meledak.

“Dasar bego!” bisik Dahlia serak. Sebuah kapak seperti dihujamkan ke dada Fajar. “Bengak! Buyan!” Dahlia mengambil gandin dan menghantamkannya berkali-kali pada kapak yang menancap di ulu hati Fajar.

Fajar mengikhlaskan saja dirinya menjadi bantalan tinju Dahlia sementara ini, asal Dahlia bisa menenangkan diri. Fajar tidak sadar jika kata-kata barusan Dahlia persembahkan untuk dirinya sendiri, bukan untuk Fajar.

Sudahlah merasa bodoh karena akan gagal dalam pencalonan ketos, sekarang Dahlia merasa bodoh karena Fajar. Karena dia sudah berusaha menjauhi Fajar dengan kekanak-kanakan. Karena dia memisahkan urusan Fajar dengan pencalonan ketos, alih-alih bermaafan dengan Fajar sejak awal. Jika saja Dahlia mau memilah prioritasnya dengan lebih bijak dan meminta maaf pada Fajar, maka sekarang Fajar tidak perlu memergokinya menangis di perpustakaan sendirian, dengan menyedihkannya. Bahkan mungkin dia tidak perlu menangis sama sekali. Dan meski Dahlia enggan mengakuinya, tapi dia merasa jika segala tetek-bengek urusan OSIS ini akan jauh lebih mudah dia lewati jika Fajar ada di dekatnya sejak awal.

Dahlia menangkupkan kedua tangannya ke wajah, berusaha menenangkan diri. Isak tangisnya mereda menjadi tangis dalam diam. Fajar waswas. Dia tidak pernah menenangkan perempuan yang menangis sebelumnya. Tapi secara instingtif, dan lebih banyak karena pengaruh sinetron-sinetron percintaan murahan yang kerap dia tonton bersama neneknya dulu sekali saat masih kecil, Fajar memberanikan diri meletakkan tangannya di atas kepala Dahlia. Dia lalu mengusap-usap rambut Dahlia, pelan sekali, seolah kepala Dahlia adalah kulit telur burung puyuh rebus yang bisa retak seketika.

“Kamu ngapain, Jar?” bisik Dahlia dari balik kedua tangannya.

Fajar langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Aku... mau balikin buku yang kemarin, Lia. Sudah selesai aku baca,” Fajar membelokkan topik pembicaraan dengan gugup.

Mereka hening sejenak. Dahlia sudah tidak mengeluarkan suara tangis lagi, tapi dia belum melepaskan kedua tangan dari wajahnya.

“...sama aku juga mau minta maaf soal yang kemarin-kemarin. Maaf, ya.”

Dahlia menggeleng, masih dengan tangan di wajahnya. “Nggak, Jar, nggak. Aku yang minta maaf.”

“Kamu bener, aku sengak, nggak sensitif...”

“Nggak, aku salah. Aku yang selama ini nggak sensitif. Aku ngediemin kamu semenjak aku daftar OSIS. Padahal aku nggak punya banyak temen selain kamu di SMA ini...”

Fajar melongo. Kata-kata itu sama sekali tidak dia duga. Pemilihan OSIS. Peralatan mading. Dahlia yang menyendiri di perpustakaan beberapa hari belakangan ini. Semuanya sekarang jelas bagi Fajar. Dahlia butuh dukungan orang lain untuk pencalonan ketosnya, dan kemana saja Fajar selama ini? Dia berusaha menghindari Dahlia, tentu saja, justru di saat Dahlia sangat membutuhkannya. Betapa bodohnya.

“Aku nggak peka, seharusnya aku sadar sejak awal kalo kamu butuh bantuan buat pencalonan ketos.”

“Nggak, aku egois banget kalau minta bantuan kamu. Maksudku, aku bahkan belum minta maaf.”

“Udah kubilang, kan aku yang salah. Kamu bener waktu bilang aku sengak, aku—”

“Nggak, aku yang salah!” Dahlia membuka tangannya kali ini. Ingusnya menggantung dari lubang hidungnya ke telapak tangan yang dia buka. Fajar tersedak tawanya sendiri.

“Bentar, bentar,” Fajar berdiri dan mengambil kotak tisu di meja terdekat, lalu mengopernya kepada Dahlia. Dahlia mengembat tisu yang diberikan Fajar dan buru-buru mengelap ingusnya. Dia tidak mungkin bisa tampak lebih memalukan lagi dari itu. “Aku bego banget, Dahlia. Aku nggak peka,” sambung Fajar.

“Bukan, aku yang bego,” bisik Dahlia dari balik tisunya.

“Jadi sekarang kita mau tanding siapa yang paling bego?” guyon Fajar. Dia lega sekali karena Dahlia tertawa.

“Nggak, nggak usah diadu. Kayaknya bakalan imbang,” Dahlia mengerjapkan kelopak matanya yang masih basah.

“Harusnya kamu bilang sejak awal kalo kamu butuh bantuan. Kan waktu itu aku sudah bilang, aku mau bantu kamu nyalon ketos.”

Dahlia tersenyum. Fajar benar. Satu-satunya orang di sekolah ini yang mau membantunya dengan tulus mungkin hanya Fajar, dan Dahlia justru membelakanginya selama ini. “Memang aku buyan,” kata Dahlia.

“Yaudah, iya, memang kamu buyan, mare. Jadi sekarang gimana?” Fajar tertawa. Dahlia juga tertawa. Mereka berdua tertawa sampai pengawas perpustakaan membentak mereka. Dahlia dan Fajar berbaikan, begitu saja. Betapa mudahnya semua ini.

“Aku udah ngajak Okta, Wawan sama Irma untuk gabung jadi timsesku. Tapi mereka semua sibuk sama urusan ekskul masing-masing,” Dahlia akhirnya bisa bicara dengan stabil.

“Sejak kapan Okta dan Wawan bisa sibuk dengan ekskul mereka?” batin Fajar. Dia geram membayangkan Okta sebenarnya langsung melipir ke warnet sepulang sekolah, sementara Wawan pulang karena dia memang tidak pernah nyaman di sekolah. “Nanti biar aku yang ngomong sama mereka,” tawar Fajar.

“Tapi Irma sibuk gara-gara pelantikan pengurus kalian? Kamu gimana?”

“Pelantikannya baru selesai kemarin sore,” ujar Fajar. “Nanti aku juga ngomong sama Irma—sekalian nanti aku ajak anak-anak Jurnalistik lain untuk gabung ke timses kamu.”

Dahlia merasa jika separuh kata-kata Fajar sebenarnya hanya bualan, tapi dia tidak keberatan. Dia senang ada orang lain yang benar-benar peduli pada nasib pencalonan ketosnya.

“Fajar, makasih, lho. Makasih banget.” Mata Dahlia yang sembab berubah menjadi dua garis tebal saat dia tersenyum lebar.

Bel masuk istirahat berbunyi. Mereka berdua berjalan menuju kelas. Fajar mendahului Dahlia, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.

- - - - - - - -

Lihat selengkapnya