Sejak SD, Yanto sudah dijebloskan orangtuanya ke berbagai kursus, mulai dari sempoa, bahasa Inggris, bahasa mandarin, musik hingga bimbingan belajar. Memasuki masa SMP, dia berhenti kursus sempoa dan Bahasa Mandarin, lalu sebagai gantinya dijejali kursus komputer dan akuntansi. Jika tidak sedang kursus atau sekolah, dia akan membantu orangtuanya mengelola toko elektronik milik keluarga, dan karena toko itu buka di hari Minggu, maka secara teknis Yanto tidak pernah mengenal libur dalam 7 hari x 52 minggu kehidupannya selama setahun, kecuali saat libur nasional, hari besar umat Konghucu atau saat keluarga besarnya menggelar hajatan.
“Jadi manusia jangan malas. Kita dikasih otak, dikasih badan biar bisa belajar, bisa kerja. Papa dan Mama sudah banting tulang peras keringat dari dulu masih tinggal di ruko tempat jualan, sampai sekarang kita punya rumah sendiri, cuma supaya anak-anak Papa dan Mama bisa jadi orang sukses. Kamu masih muda, masih banyak waktu dan tenaga, jangan disia-siakan. Harus lebih baik dari Papa dan Mama,” Toni, papanya Yanto menceramahi Yanto pada suatu hari saat ranking-nya di sekolah turun dari 4 ke 5. Orangtua Yanto sebenarnya tidak pernah menyalahkannya, tetapi Yanto yakin mereka skeptis pada hobi Yanto yang selama ini luput dari radar pengertian mereka: menggambar komik. Yanto ingin menjadi komikus. Tapi dia bingung bagaimana cara menjelaskan betapa kerennya cita-cita itu kepada orangtuanya.
Lahir sebagai anak laki-laki dari keluarga Tionghoa memang tidak mudah, terutama dengan keberadaan kakak yang sudah lebih dulu sukses secara akademik dan finansial. Tekanan untuk bertumbuh itu benar-benar nyata adanya. Selain tentang urusan sekolah dan usaha keluarga, Yanto dan orangtuanya cukup jarang mengobrol. Di meja makan, kakaknya yang sedang bekerja di Singapura selalu menjadi topik favorit kedua orangtuanya. Tidak lama setelah itu, biasanya mereka akan menghubung-hubungkan “kesuksesan” kakaknya dengan kondisi Yanto saat ini.
“Kamu mau lanjut kemana setelah tamat nanti?”
Aku mau kuliah desain komunikasi visual di Jawa. Tapi orangtuanya tidak pernah mendengarkannya, karena Yanto tidak pernah berani mengatakan hal itu kepada mereka.
“Aku mau lanjut kuliah akuntansi,” mulut Yanto mengambil alih pikirannya. Dia tidak mau mengecewakan orangtuanya, tetapi juga tidak mau terlalu menyusahkan dirinya sendiri. Akuntansi memang jalan tengah yang paling adil untuk mereka semua.
Maka Yanto pun bersekolah di jurusan IPS. Namun justru disanalah pangkal segala problematika barunya di bangku SMA bermula. Jika masuk ke jurusan IPS sama halnya dengan masuk ke kandang binatang buas, maka raja binatang buas di dalam kandang itu adalah Mammoth. Yanto sebenarnya sudah menjadi objek rundungan Mammoth sejak mereka sekelas di kelas X.5, tapi dia baru benar-benar menjadi kacung kampret Mammoth saat kelas XI. Mammoth menyebutnya “ATM berjalan”, “Tikus”, “Apek”, “Cino buto” atau sebutan apapun yang dia mau. Jika Mammoth berpapasan dengannya di SMA Kebangsaan, maka dia pasti memalak Yanto. Di jam istirahat, jika Mammoth malas ke kantin, maka Yanto terpaksa membelikan dan membawakan pesanannya dari kantin ke kelas XI IPS 3. Lebih sering lagi, jika Yanto sedang apes, teman-teman Mammoth juga akan ikut merundungnya. Sungguh aneh karena siapapun yang bersekolah di SMA Kebangsaan seharusnya cukup tajir untuk membeli jajanan apapun dengan uang sakunya sendiri, tetapi Yanto tidak pernah protes. Protes sama saja minta dihajar.
Yanto tidak memberitahu orangtuanya tentang hal ini—lagi-lagi, agar mereka tidak kecewa kepadanya. Yanto benci dirinya sendiri. Dia benci keragu-raguan dan ketakutannya. Tapi rasa takutnya untuk melawan ternyata jauh lebih besar dari rasa bencinya akan ketakutan itu sendiri. Seolah sejak awal dia hidup hanya untuk mengikuti kehendak orang lain dan tidak pernah punya kesempatan untuk menjalani kemauannya sendiri. Di kelas, dia melepaskan kefrustrasiannya itu dengan berlatih menggambar di sela-sela pelajaran.
“Bagus nian gambar kau.”
Yanto menoleh. Gilang, manusia menakutkan yang duduk di belakang bangkunya selama ini, tiba-tiba saja tertarik pada apa yang dikerjakan Yanto. Sudah dua bulan mereka bersekolah, dan hampir di sebagian waktu itu, Gilang bolos. Ketertarikan Gilang akan gambarnya itu sebenarnya sudah agak terlambat.
Di mata Yanto, Gilang sama saja dengan Mammoth: sosok siswa bertubuh besar, preman, sok kuasa dengan selera humor yang miring. Baik Gilang maupun Mammoth, semuanya memperoleh kesenangan mereka dengan menyusahkan orang lain yang lebih lemah.
“Gambari mukaku lah, kapan-kapan,” celetuk Gilang, lalu dia tertawa. Yanto tidak yakin apakah Gilang benar-benar serius memintanya, tapi mengingat dia adalah “Tikus”, maka Yanto merasa dia harus menaati perkataan “Gorila” agar terhindar dari balak dua belas. Yanto menggambar wajah Gilang—dalam versi karakter manga yang lebih ganteng—lalu segera menyerahkannya ke Gilang pada saat itu juga. Gilang menatap gambar yang dia pegang dengan perasaan tidak percaya.
“Gilo! bagus nian!” Gilang berkata riang, hampir berteriak. Seisi kelas saat itu sampai menatap mereka dengan heran. Gilang mengangkat gambar buatan Yanto ke udara, seolah yang dipegangnya adalah uang kertas palsu yang perlu diterawang. “Kau berbakat jadi pelukis!” tukas Gilang. Pelukis bukan profesi yang persis diharapkan Yanto, tapi itu pujian pertama yang pernah dia terima di kelas XI IPS 2 terkait bakat menggambarnya.Yanto nyengir. Dan demikianlah pertemanan Tikus dan Gorila itu berawal.
Setelah Gilang menghajar Mammoth, Ginyak dan Rio di gudang belakang SMA Kebangsaan, Yanto jadi lebih sering menghabiskan waktu istirahatnya bersama Gilang. Bukan karena dia menikmatinya, tapi lebih karena Gilang yang menahannya pergi kemana-mana. Di samping, sekarang dia tahu jika tempat yang paling aman untuk bersembunyi dari Mammoth adalah di balik punggung Gilang.
“Nah, sekarang kau gambarin aku lagi naik naga,” pinta Gilang. Dia tidak pernah memakai kata tolong, sehingga permintaannya selalu terdengar bagai perintah bagi Yanto. Yanto juga tidak habis pikir bagaimana imajinasi Gilang bisa begitu liar—dan narsis. Tapi lagi-lagi Yanto menurutinya, sebagaimana dia menurut pada siapapun yang menyuruhnya.
“Bagus nian! Kau makan apa pas masih kecil? Kok jago banget melukis?” Gilang menepuk bahu Yanto setelah dia menggambar Gilang yang sedang berpegangan di sirip punggung seekor naga versi mitologi Asia Timur. Yanto hanya tertawa kikuk. Jangan-jangan ini awal bagi era perbudakannya yang baru, sebagai tukang gambar.
Suatu pagi di tengah pelajaran Ekonomi, Gilang kembali meminta—atau lebih tepatnya menyuruh—Yanto menggambarkannya sesuatu. Tapi Gilang bertingkah aneh saat mengatakannya.
“Ja..jangan bi..bilang siapa-siapa tapi, ya?” gagap Gilang. “Kalau ada yang tahu, kugebuk kau!”
Yanto sebenarnya tidak perlu diancam sedemikian rupa agar menurut.
“Kau bisa gambar cewek telanjang?”
Yanto tersedak ludahnya sendiri, lalu terbatuk-batuk.
“Nggak, nggak...nggak usah telanjang. Pakai baju seksi aja,” Gilang mengoreksi dengan salah tingkah.
Yanto menegakkan posisi duduknya. Jika Gilang tidak sedang bercanda, maka ini akan menjadi komisi NSFW-nya yang pertama—walau dia tidak dibayar untuk itu. Yanto menganggap ini sebagai ujian naik level bagi kemampuan menggambar anatominya, lalu seketika merasa tertantang. “Bisa aja, sih,” dia berkata mantap. Gilang menatap berkeliling dengan gelisah, sebelum mengeluarkan selembar kertas foto berukuran A6 dari balik buku tulisnya. “Jangan bilang siapa-siapa. Ngerti?”
Tadinya Yanto pikir dia akan menggambar karakter fantasi dari imajinasi Gilang, tapi ternyata Gilang memintanya menggambar foto seorang gadis SMA. Kualitas foto itu buruk. Orang di dalam foto itu tampak agak gepeng. Kemungkinan besar Gilang mengambil foto itu sendiri menggunakan kamera ponselnya atau dari internet, lalu mencetaknya di tukang cuci foto murahan dengan skala resolusi yang tidak tepat. Sebentar saja, mata Yanto tertumbuk pada warna dasi yang dikenakan gadis itu. Dia tidak salah lihat. Gadis itu mengenakan seragam SMA Kebangsaan.
“Ini siapa, Lang?” tanya Yanto.
“Itu...itu... ada lah, pokoknya,” Gilang lagi-lagi salah tingkah.
Sisi moral Yanto kini diuji karena perempuan yang akan dia gambar bukanlah sosok fantasi, melainkan orang yang benar-benar ada di dunia nyata, bahkan sangat mungkin pernah bertemu langsung dengannya. Perasaan bersalah menggelayuti hatinya.
“Anu... kayaknya aku nggak bisa,” nyali Yanto menciut. “Nggak bisa kalau pakai baju seksi, tapi kalau cuma gambar biasa... masih bisa, sih,” Yanto buru-buru meralat karena jidat Gilang tampak mengkerut. Gilang tidak keberatan dengan tawaran Yanto, tapi dia juga merenung sejenak.
“Kau gambar aku juga di sebelahnya, gimana? Jadi kami kayak lagi pacaran, gitu.” Gilang menimpali permintaannya. Yanto mengiyakan permintaan ganjil Gilang tanpa menawar atau bertanya lagi. Apa saja, asal bukan gambar telanjang gadis malang di foto itu.
Pintu kelas XI IPS 2 tiba-tiba diketuk. Bu Marie yang sedang mencatat soal pelajaran Ekonomi di papan tulis, mempersilakan beberapa orang di depan pintu IPS 2 masuk ke dalam ruang kelas. Baik Yanto maupun Gilang pada saat itu juga mematung di tempat duduk mereka.
“Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” empat orang yang berdiri di depan kelas mereka mengucapkan salamnya hampir bersamaan. Salah satu orang itu tak lain adalah gadis yang fotonya baru saja Gilang perlihatkan kepada Yanto.
Yanto menatap Gilang, yang kini otot-otot wajahnya sudah menegang sekeras patung perunggu Dwarapala. Keringat mengucur dari sela-sela rambut Gilang, membasahi kepalanya hingga ke kerah baju. Begitu hebatnya beban mental yang ditimpakan gadis itu kepada Gilang hanya dengan berdiri beberapa meter darinya.
Tara ternyata bergabung dengan timses Aswan, dan mereka akan mempresentasikan visi-misi dan program kerja Aswan seandainya dia terpilih sebagai ketos SMA Kebangsaan. Tapi siapa yang peduli? Seisi kelas IPS 2 mengolok Aswan di sela-sela pidato pendeknya tentang masa depan OSIS yang lebih progresif, humanis dan down to the earth. Sejak awal, kehadiran OSIS tidak memiliki arti apa pun bagi anak-anak IPS 2—yang kebanyakan tidak mengikuti organisasi yang serius seperti OSIS. Jurusan IPS, secara keseluruhan, adalah Wild West-nya SMA Kebangsaan, dan OSIS tidak akan bisa menundukkannya hanya dengan pidato-pidato retoris, event pentas seni tahunan atau bahkan dengan menanam prasasti kutukan sekalipun.
Tapi Yanto hampir melompat terbang dari bangkunya saat Gilang tiba-tiba menggebrak mejanya sendiri, kemudian berteriak.
“DIEM, OY! LIAT DAK UONG LAGI NGOMONG DI DEPAN KELAS? DENGERI MEREKA NGOMONG BENER-BENER! DASAR KATEK OTAK GALO KAMU NIH JADI MANUSIO!”
Seisi kelas mendadak terdiam. Aswan bahkan berhenti mengoceh. Gema suara Gilang memantul-mantul di tembok kelas, mengisi kesunyian yang ditinggalkan semua orang.
“MEREKA LAGI BAHAS MASA DEPAN OSIS, MASA DEPAN SMA KEBANGSAAN! APA KALIAN NGGAK PUNYA EMPATI? INI TUH PENTING BANGET! KALAUPUN KALIAN MAU JADI SISWA SMA YANG APATIS, PALING NGGAK HARGAILAH ORANG LAIN YANG PUNYA INISIATIF UNTUK MEMPERBAIKI KEADAAN BANGSA INI! DASAR NGGAK TAHU TERIMA KASIH!”
Arwah mahasiswa demonstran yang hilang pada tragedi 1998 sepertinya tersesat di langit-langit kelas XI IPS 2, lalu memutuskan untuk hinggap di tubuh Gilang sejenak. Ruang kelas itu kini menjadi lebih hening daripada sebelumnya, entah karena mereka takut pada Gilang atau terhipnotis pada kemampuan orasinya yang tiba-tiba timbul entah darimana. Aswan tersenyum lebar, lalu melanjutkan presentasinya hingga selesai di tengah kelas yang sangat tenang. Dia dan timsesnya minggat dari kelas XI IPS 2 sambil berbisik-bisik heran.
Namun bak kereta babaranjang, setelah timses Aswan keluar kelas XI IPS 2, kini giliran timses Dahlia yang mengetuk pintu kelas XI IPS 2. Bu Marie menggerutu sebelum mempersilakan Dahlia, Okta, Irma, Wawan dan Fajar memasuki kelas IPS 2 dan menginterupsi proses belajar-mengajar kelas itu sekali lagi.
Kedatangan mereka disambut sorak dan bisik-bisik dari sebagian penghuni IPS 2. Dahlia berusaha untuk tidak terprovokasi.o
“Wah, mantap, nih,” celetuk salah seorang anak laki-laki yang duduk di dekat Gilang. “Dak usah jadi ketos, dek, jadi cewek kakak bae, galak dak?”
“Cewek!”
“Lap dulu dong keringetnya, sayang.”
Dahlia mulai tampak risih, tapi dia melanjutkan presentasinya, sementara Irma, Okta dan Fajar membagikan selebaran brosur promosi yang sepintas tampak seperti iklan bimbel.
“Oh, namanya Dahlia?”
“Iis Dahlia!”
“Dahlia, ihik. Dangdutan, yok!”
“Dahlia, yuk ngen—”
Kali ini Yanto lebih antisipatif. Dia menutup kedua telinganya tepat sebelum Gilang memukul meja dan kembali berteriak.
“KAMU INI! LANANG-LANANG KATEK AKHLAK GALO! SADAR DAK YANG LAGI NGOMONG DI DEPAN TUH CEWEK? HARGOI DIKIT OMONGANNYO, APO SALAHNYO? MALU SAMO BIJI!”
Okta terbahak mendengar ucapan Gilang. Fajar langsung menggamit pinggangnya.
“KALIAN TUH LAHIR DARI BETINO! MAK KALIAN BETINO! NENEK KALIAN BETINO! MUNGKIN KALIAN PUNYO KAKAK ATAU ADEK BETINO! GALAK DAK KALO MEREKA DIPERLAKUKE CAK TADI OLEH LANANG-LANANG KATEK AGOK, HAH? HARGOI DIKIT BAE, APO SALAHNYO? KALO KALIAN DAK SENENG ADO BETINO NYALON OSIS, NGAPO DAK KALIAN BE YANG NYALON OSIS? DAK USAH BANYAK OCEH!”
Dahlia susah payah menyembunyikan tawanya di balik tumpukan brosur yang dia pegang. Setelah kelas itu sunyi dengan ganjilnya untuk kesekian kali, Dahlia mengembalikan fokusnya, lalu kembali mempresentasikan visi, misi dan program kerja yang dia usung sebagai calon ketua OSIS.