Pulogadung, 16 Januari 2018
Kepada Srintihil, adikku.
Kembaranku yang paling ayu. Meski kamu selalu iri dengan kecantikanku, bagiku kamu jauh lebih cantik Sri, dan aku yang seharusnya iri padamu, pada ketulusan hatimu, kelembutan tuturbahasamu, kecerdasanmu, dan semua yang ada pada dirimu. Terutama kasih sayang almarhum bapak padamu yang tidak pernah kurasakan sama dengan kasih sayangnya padaku.
Ini pertama kali aku memberanikan diri menulis surat untukmu Sri, setelah setengah tahun aku pergi dari rumah.
Maafkan aku Sri. Meninggalkanmu dan simbok itu pilihan hidup tersulit yang kuambil. Hancur hatiku ketika bis meninggalkan terminal menyisakan debu dan tentu saja kenangan tentang kita. Aku, kamu, simbok dan almarhum bapak.
Mas Danang anak pak RT membantuku kabur. Dengan sepedanya dia mengantarku ke terminal siang itu Sri. Waktu simbok di sawah dan kamu di balai desa ngurus beasiswamu.
Banyak hal terjadi Sri selama setengah tahun aku ada di Jakarta, banyak sekali. Percaya atau tidak, airmataku tumpah ruah saat menulis surat ini padamu. Kamu tahu aku jarang meangis, tapi disini hampir setiap malam aku menangis Sri.
Aku tidak bahagia meski aku bertemu dengan banyak orang, sebagian dari mereka menyebutku permata di tengah kegelapan, sebagian lagi menyebutku mawar dari lembah kelam, lalu sebagian meneriakkan namaku dengan mata berbinar "bintang malam!" Padahal mulut mereka yang bau bir bintang. Aku sendiri menyebut diriku Jalang.
Senyum mengembang di bibir penuhku, meski hatiku rasanya bagai dirajam.
Jalang! Entah itu panggilan atau umpatan yang keluar dari bibir bau minuman, kubalas salam dan kerlingan, bahkan tak jarang belaian. Jijik…Aku jijik pada diriku sendiri Sri.
Pertama kali aku menyerahkan diriku pada pria hidung belang membuatku merasa bersalah hingga ingin mengakhiri hidup. Kubasuh ribuan kalipun rasanya sia-sia, wajah sedih simbok menggantung di hadapan wajahku seolah tak mau lepas. Aku tahu simbok pasti hancur jika tahu anak tak berguna yang selalu dia benci ternyata benar-benar mencoreng wajahnya dengan kelakuan menjijikan.
Benar kata simbok, setiap kali marah padaku. “harusnya kamu nggak pernah di lahirkan!”
Harusnya aku memang tak pernah di lahirkan, jika dengan tanganku sendiri aku melempar kotoran di wajah simbok dan bapak seperti ini. Tapi aku tak punya banyak pilihan.
Aku yang dengan tanganku sendiri memilih menjadi jalang tak bertuan. Hinggap dari satu pelukan ke pelukan lain. Menjadi budak kepuasan hina dina, Bahkan sebagian berkata najis!
Setelah membaca surat ini, bakar, dan lupakan. Lupakan aku pernah lahir sebagai saudari kembarmu. Lupakan aku pernah ada di daftar nama keluarga kita. Aku yakin, akan lebih mudah bagi simbok untuk melupakanku, karena simbok membenciku.
Aku akan selalu mendoakanmu, meski aku tak yakin Tuhan mengampuni dosaku dan sudi mendengar doaku, tapi aku akan terus mendoakanmu, almarhum bapak dan simbok.