“Tak ada berak yang tak retak.”
“Yakin?”
“Kenapa?”
“Komedi sih komedi, banyol sih banyol tapi masa iya judulnya begitu? Kan enggak lucu orang baca koran pagi, sambil ngopi atau ngeteh, mungkin nyemil roti, tiba-tiba buka koran headline paling depan tercetak tebal Tak ada berak yang tak retak.”
“Itu kalimat pertama buat novel.”
“Novel?”
“Siapa bilang itu buat koran?”
Temanku satu itu sungguh lucu, dia mengeluhkan judul yang aku ajukan sambil menungguku di depan pintu kamar mandi. Aku beneran sedang berak, sudah seminggu aku tahan, saat pertama kali keluar leganya bukan main, aku selalu suka perasaan lega saat tai-taiku terjun bebas ke lobang WC. Tai dari hasil segala makanan selama seminggu, mulai dari nasi padang setengah porsi dari warung belakang kantor, Es Doger Mak Comblang karena penjualnya sering mencomblangkan pelanggan, sampai kopi susu yang hampir tiap siang aku minum untuk mengusir kantuk.
Ya tapi benar, itu kalimat untuk novelku nanti, kau tak salah baca, tak salah dengar—kau harus membaca novelku dengan suara lantang, atau pelan juga boleh, tapi usahkan sekencang mungkin, agar yang lain mendengar dan penasaran. Aku sudah lama ingin menulis novel, aku suka membaca novel, tapi banyak novel yang sifatnya cuma normatif, tak ada kedalaman, sama sekali tak menggugah. Atau kebanyakan para penulis itu memaksakan opininya pada tiap karakter yang mereka ciptakan. Karakter-karakter itu jadi tak hidup. Aku tak merasakan mereka punya suara sendiri.
Aku baru saja selesai pada urusan berak setelah sepuluh menit, waktu yang termasuk sebentar, biasanya aku bisa sampai setengah jam duduk di kamar mandi. Sepuluh menit kuhabiskan untuk scroll twitter, tiktok, sepuluh menit kedua fokus menulis ide-ide untuk prosa-prosa wajib yang harus aku tulis dan dimuat setiap hari minggu, baru di sepuluh menit terakhir kubiarkan tai-tai itu terjun bebas, setelah sengaja kutahan di ujung lobang. Temanku itu kaget, tumben aku secepat itu.
“Aku mau resign,” ucapku, menutup ritsleting.
“Ngapain…”
“Mau fokus nulis novel.”
“Terus aku?”
“Kenapa? Jadi editor, lah—masih. Apa masalahnya?”
“Masalahnya aku editormu,” keluhnya.
“Jadi editor buat novelku aja kalau begitu.”
Ia terdiam, kulihat dari pantulan cermin di kamar mandi, lalu aku keluar setelah membasahi dan merapikan rambut, ia tetap di sana. Sampai aku kembali ke meja kerjaku—ia masih di sana. Kutunggu hingga lima menit, ia muncul—dengan raut muka bingung—penuh pertanyaan. Seperti ada buah apel siap dipetik di depan kepalanya.
“Tapi, Bud, seyakin apa kamu sama novel pertamamu?”
“Come on,” kutatap editor sekaligus temanku—penyuka novel-novel Ika Natasha yang ceritanya sekadar glamor itu, “ini bakal jadi buku paling bagus di alam semesta.”
“Lebay.”
“Aku serius banget ini.”
“Memang ceritanya tentang apa?”
Jadi ada seorang pria, yang bergulat sama pemikiran untuk bunuh diri, karena satu-per-satu keluarganya meninggal. Namanya Budi.
“Lah, pakai nama sendiri?”
“Bentar dulu, dong, Bim. Aku kelarin dulu.”
“Ya oke, lanjut.”
Nah bapaknya meninggal karena nahan berak, akhirnya meledak deh itu di celana, enggak cuma tai yang keluar tapi juga darah, meninggalnya karena waktu dibawa ke rumah sakit bapaknya kehabisan darah.
“Ini ceritamu, kan? Suka nahan berak, suka lama di toilet?”
“Fiksi, Bim. Fik-Si.”
“Ya oke, memang pasti personal kalau penulis itu… Terus?”
Terus satu keluarga ini antara malu dan berduka, bapak-suami meninggal dengan cara yang… ya, tahu sendiri lah ya—nahan berak. Satu keluarga ini stress lah intinya, ibunya kepikiran terus, selalu diomongin di arisan atau pengajian soal penyebab kematiannya.
“Bentar, nama bapaknya siapa?” tanya Bimo.
“Belum sampe situ, Bim. Gampanglah itu.”
“Oh oke.”
“Aku lanjut, ya.”
“Silakan.”
Enggak ada yang simpati apalagi empati sama kematian itu. Anaknya dua, pertama Si Budi, dia punya adik, perempuan. Belum ada namanya, gampanglah kalau soal nama.
“Nama justru paling penting, Bud.”
“Ceritanya dulu dong lebih penting.”
“Tapi, nama itu yang mengikat pembaca pertama kali.”
“Ada benarnya, tapi ini bukan novel seperti kebanyakan novel lain, yang fokus sama nama-nama bagus, glamor, sekadar enak didengar atau estetik, tapi ceritanya nol besar, mirip Ika Natasha, lah. Penulis kesayanganmu itu.”
“Hina aja terus… Oke lanjut.”
“Ibu Budi akhirnya memutuskan untuk bunuh diri, nah aku masih belum tahu cara bunuh dirinya akan seperti apa. Atau mungkin mati aja karena stress.”
“Sebenarnya serius mau nulis novel enggak, sih? Kok banyak yang belum tahu.”
“Novel pertama, Bim. Wajarlah. Jangan langsung menghakimi dong, jangan bandingkan semua penulis itu harus seperti Eka Kurniawan yang bagus bikin cerita tapi kurang bagus bikin detail pengadeganan, atau jangan bandingkan seperti Dee Lestari yang super edgy kalau bikin cerita.”
“Memang mereka begitu?”