Bu Sri berdoa tiap malam sampai pagi buta setelah kematian suaminya. Anak-anaknya terdiam di kamar, menangis, merintih, sekaligus malu atas fakta penyebab kematian bapak. Nadia, anak kedua bahkan sampai harus mengganti sarung bantal tiap malam karena basah oleh air mata. Zidane anak pertama sering melamun di depan komputernya, kau tak salah, namanya Zidane, lengkapnya Zinedine Zidane.
Ini enggak jadi lo kasih nama lo sendiri?
Enggak
Kenapa?
Kurang lucu.
Memang Zinedine Zidane lucu?
Berhari-hari Zidane tak berhenti memikirkan tentang bagaimana mungkin seseorang mati karena menahan berak? Apa yang akan ia katakan pada teman-temannya? Mereka yang seringkali menghabiskan waktu gabut di burjo atau warung kopi, pesan minuman paling murah dan memakai jaringan internet berjam-jam hanya untuk menujukkan permainan buruk di game online. Zidane tak begitu suka dengan cirlce pertemanannya itu. Dulu teman-temannya tak menyebalkan, ia baru memahami belakangan bahwa manusia berubah seiring waktu, dalam kasus ini, teman-teman masa kecilnya berubah ke arah yang tak semestinya—tak ia harapkan. Zidane sadar itu bisa menular.
Gua ada saran, gimana kalau namanya tetap Zidane, tapi panggilannya Budi.
Aneh dong?
Ya buat aja satu peristiwa yang bikin dia dipanggil Budi… Mirip Ahmad Fuadi di novel Anak Rantau misalnya, nama karakternya donwori biepi. Enggak aneh, malah bagus.
Setelah peristiwa kematian bapak Zidane, yang ia takutkan terjadi, orang-orang—teman yang ia kenal baik, justru menjadikan sebab kematian itu sebagai candaan. Booty Man begitu terus yang Zidane dengar setiap kali pertemuan. Sampai suatu hari seorang yang punya power di antara teman-temannya memanggilnya Bud, dari booty—Budi, sejak saat itu semua memanggilnya Budi. Nadia, adiknya tertawa getir mendengar cerita Budi. Nadia pun akhirnya memanggil kakaknya, Budi. Barangkali mungkin itu cara Nadia berdamai dengan sebab kematian bapaknya. Anggap saja lelucon, seumur hidup.
Zidane atau sekalian saja kita sebut booty alias Budi, mulai khawatir melihat tingkah ibunya, Bu Sri. Sejak kematian Bapak Budi, Ibu Budi selalu berdoa dari malam sampai subuh, duduk di atas sajadah, atau kadang tertidur di sana. Tiap kali Budi berusaha membangunkan supaya Ibu Budi bisa pindah ke kasur untuk tidur, Ibu Budi selalu menolak, sesekali bahkan sempat marah. Budi tak pernah lagi melakukannya, ia menghindari konflik,
Suatu pagi, dini hari, Budi terbangun mendengar isak tangis Ibu Budi, sebuah doa dirapalkan supaya Bapak Budi bisa kembali dari kematiannya, hidup berdampingan bersama. Budi sama sekali tak menangis, karena baginya doa semacam itu sudah menjelma jadi obsesi. Malam-malam selanjutnya Budi sudah tak lagi tergerak pada isak tangis atau rapalan doa semalam suntuk yang dipanjatkan Ibu Budi.
Budi masih sering melamun di depan layar laptopnya, berusaha memilih tontonan untuk melupakan hal-hal buruk namun tetap saja tak ada tontonan yang berhasil ia pilih. Budi sudah menghindari pertemanan penuh racun, baginya memang perlu untuk menjaga jarak setelah hal aneh yang terjadi dalam hidupnya. Budi mencoba mencari kegiatan baru, sesuatu yang akan menyibukkan dirinya. Adiknya, Nadia sama sekali tak bisa diganggu, tiap orang memang punya cara untuk beduka, cara-cara merelakan yang membuatnya tetap menginjak bumi. Dari kesedihannya itu Budi belajar bermain golf, billiard, boling, dan tenis.
Budi berhasil menyibukkan diri, meski pada akhirnya Budi menyadari menyibukkan diri pun tidak cukup untuk merelakan kematian bapaknya. Ikhlas memang perilaku paling sulit, pekerjaan seumur hidup, dan Budi tahu itu. Tak ada batas yang jelas, bagaimana Budi perlu bertindak.
Namun pada suatu sore, ia bertemu seorang perempuan saat kelas tenis kedelapannya. Anak baru, Budi menyukai senyum perempuan itu, beberapa kali pelatih mengingatkannya untuk fokus. Namun pelatih tenis itu tak tahu apa yang membuat Budi tampak tak fokus.
Satu, dua, tiga minggu dilalui Budi tanpa perkenalan, ia hanya memandangi perempuan itu sesekali, inikah rasanya diselimuti perasaan menyenangkan saat badai memabukkan mengitari pikirannya. Saat pertama kali keduanya saling bertukar senyum Budi terpikirkan bermalam-malam senyum singkat itu. Seperti ombak di pantai selatan, atau malam-malam dingin sehabis hujan. Dingin menusuk tulang namun terus teringat dan layak dibicarakan. Budi menceritakan pengalaman itu pada adiknya, suatu malam saat seperti biasa ibunya sudah berada di kamar—di atas sajadah dan merapal doa. Satu bulan setelah pertemuannya, hampir dua bulan setelah kematian bapak. Nadia menyambut Budi dengan senang, tak seperti sebelumnya, tak ada kemurungan menghiasi raut muka Nadia.
Kayaknya ini waktu yang pas buat mereka saling cerita soal kematian bapak.
Terus cerita soal perempuan itu gimana?
Bikin saja mereka cerita sampai pagi. Benar enggak?
Budi mengangguk mantap. Ia setuju.
Malam itu pukul sebelas, Budi mengetuk pintu kamar Nadia, singkat—dua kali. Nadia langsung mendengar, tanpa membukakan pintu, Budi masuk setelah Nadia menyaut. Nadia sedang merapikan lemari bajunya, Budi melihat sekeliling—berantakan, tampak Nadia baru memulai merapikan lemarinya. Budi duduk di kursi meja belajar. Nadia dengan suara yang ramah namun datar, bertanya pada Budi tentang maksud kedatangan ke kamarnya setelah sekian lama.
“Kamu ngapain?” Budi basa-basi.
“Bersih-bersih?” Nadia mempertanyakan pertanyaan Budi, seolah kegiatannya tak tampak.
Biasanya Budi tertawa untuk sebuah pertanyaan aneh yang ia ajukan pada tiap orang, ia tak pandai berbasa-basi. Tapi yang satu ini, situasinya berbeda, sangat intens, dan bisa saja mencekat. Nadia terlihat dingin, membiarkan Budi berpindah duduk di tepi ranjang yang juga dingin—seperti sudah tak pernah lagi ditiduri.
“Kamu gimana kondisinya?” tanpa basa-basi. Budi tahu, Nadia paham apa yang ia maksud. Namun Nadia tak langsung menjawab, Budi terus mengikuti pergerakkan Nadia, membawa setumpuk baju yang sudah dilipat rapi ke lemari cokelat kayu muda.