Buku Paling Bagus di Alam Semesta

Zahid Paningrome
Chapter #6

Kematian Keempat: Fira

Fira percaya ada kekuatan jahat di tidur malamnya, berbagai ritual yang ia lakukan untuk membuat tidurnya nyenyak gagal total. Penyebabnya? Selimut. Delapan tahun sudah ia tidak tidur dengan selimut, kejadian itu mengubah pandangannya tentang tidur dan mimpi-mimpi. Fira harus sangat lelah untuk tidur panjang tanpa mimpi, atau ia harus menunggu pukul dua pagi untuk tidur dan bangun jam delapan pagi agar genap enam jam.

Fira akan mengalami mimpi buruk yang sama; selimut berubah jadi monster bermata merah, melahapnya dalam-dalam dari ujung kaki. Fira membaca banyak buku tentang mimpi, ia mempelajari bagaimana manusia bisa bermimpi, atau kenapa itu disebut bunga tidur, padahal sama sekali tidak indah. Mimpi hanya membuatnya lelah, pun tidak ada satu pun dari buku-buku atau literatur yang ia baca membantu masalahnya soal mimpi, mungkin lebih bisa disebut sebagai momok tidur, Fira terganggu—bertahun-tahun.

Ibunya membawa Fira ke psikolog empat tahun lalu, dan ia masih mengalaminya. Selama empat tahun itu Fira mencatat mimpi-mimpi dalam sebuah buku catatan bergambar kucing, sebuah saran dari psikolog. Mencatat hal-hal buruk pada sebuah buku dengan visual yang ia sukai, agar tidak terlalu menakutkan.

Bapak Fira bertahun-tahun tidak menemukan pria yang menjadi sebab anaknya takut pada selimut. Pria yang pada suatu malam menembus jendela kamar, berdiri di samping kasur dan menatap Fira yang tertidur. Fira berteriak kencang saat terbangun dan melihat sosok itu. Namun saat ibu bapaknya menuju kamar, sosok itu hilang. Fira berkeringat—panas-dingin, ia langsung dilarikan ke rumah sakit.

Kejadian itu menimpa Fira saat usia delapan tahun. Selama itu pula Fira menganggap itu adalah kejadian yang benar-benar nyata, bukan mimpi. Meski berulangkali bapak tidak menganggapnya serius. Namun pada akhirnya setelah melihat anaknya bergelut pada masalah yang sama, Bapak Fira ikut jadi gila, ia terobsesi siapa sosok yang datang malam itu, yang dikemudian hari ia ketahui adalah seorang pria. Fira didatangi sekali lagi seminggu kemudian, kali ini lebih tenang, Fira tidak berteriak, meski debar di dadanya seolah akan pecah.

Sosok itu tidak ada hubungannya dengan selimut, atau ketakutan Fira pada selimut. Tapi Fira tahu kemunculan sosok itu adalah awal mula dari keseringannya memimpikan hal-hal aneh. Pada malam sebelum ulang tahun, Fira bermimpi menjadi komplotan rampok yang mengendarai sebuah sedan perak, ia bersama dua orang lainnya terjebak pada sebuah perkampungan di atas bukit yang jalannya berkelok-kelok, dan letak rumah-rumahnya tertata rapi—seperti sebuah labirin tanpa ujung, dan mereka terjebak di sana. Dari sana Fira bisa melihat jejeran gunung yang ujungnya keroak, dan mengepulkan asap putih, sebuah gunung yang dimakan monster-monster, pikirnya.

Di mimpi itu, Fira mencuri sebuah arloji emas, dan komplotan itu mendapatkannya dengan mudah. Seorang dari komplotan tiba-tiba menghilang di dalam mobil, namun, Fira di mimpi itu, tidak kaget, atau bertanya-tanya, seolah itu hal biasa, tabiat dari perampokan. Sebuah kekuatan nyata, barangkali seperti babi ngepet, Fira kehabisan kata-kata untuk menjelaskan fenomena itu. Komplotannya muncul beberapa menit kemudian dengan arloji emas di tangan.

Mereka bergembira, selanjutnya Fira terbangun karena di mimpi itu ia tidak bisa menemukan jalan pulang, dan berputar-putar di lahan yang sama, perkampungan yang sama, jalan berkelok yang sama. Bertahun-tahun Fira memimpikan hal serupa, ia selalu terjebak di akhir mimpi. Malam itu sosok di kamarnya berbisik, namun Fira tidak mengetahui apa maksud ucapannya.

Sosok gelap itu hampir tidak pernah muncul lagi, di titik itu Fira mulai mengalami gangguan tidur. Ia selalu menunggu sosok gelap muncul, hingga pagi—terjebak pada insomnia. Fira hanya berbaring dan menatap langit-langit. Ia belum takut pada selimut saat itu. Namun ibunya sudah khawatir, Fira selalu keluar kamar dengan wajah lesu dan gundukkan pekat di bawah matanya. Mata perih terlihat sipit, pandangan kabur seolah butuh kacamata.

Tidak ada selimut di rumah, bapak-ibunya membuang semua selimut setelah satu kejadian; Fira dilecehkan oleh kekasihnya sendiri, ia diperkosa. Fira, seperti banyak perempuan lain, yang tidak berani menolak demi menghindari konflik, berkata ia kedinginan saat kekasihnya mencoba menyetubuhi, maksud Fira ia tidak ingin bersetubuh, namun kekasihnya mengambil selimut dan menutup tubuhnya yang berada di atas Fira. Berulang kali Fira bergerak—menolak, namun kekuatan besar kekasihnya itu memaksanya pasrah, saat Fira teriak, ia ditampar—keras. Sangat keras, berulang kali.

Malam itu, malam terakhir Fira tidur dengan selimut, paginya ia bangun dan tidak mendapati kekasihnya di sana. Ibu dan bapak pergi sejak kemarin, dan di depan cermin Fira terpaku, menatap seluruh inci tubuhnya, ia biarkan selimut yang membungkus tubuhnya jatuh pada dingin lantai, ia menangis—menyadari buruk rupa dirinya, tidak lagi cerah, tidak lagi sumringah. Ia habiskan pagi itu dengan menangis, menendang selimut, bergelung di lantai—tubuhnya bergetar, tangis dan dingin—ia peluk diri sendiri.

Fira memikirkan teman-temannya, bagaimana respon mereka jika ia menceritakan kejadian semalam, atau reaksi ibu dan bapak, mungkinkah itu sampai telinga para tetangga, dan menjelma menjadi gosip liar. Fira bahkan sibuk memikirkan apa yang akan kekasihnya katakan pada teman-temannya, akankah pandangan orang-orang tentang dirinya berubah?

Fira menyadari keberadaan janin di rahimnya dua bulan pasca pemerkosaan itu, tak biasanya ia telat menstruasi, berhari-hari Fira merasakan perut melilit yang tak pernah ia alami sebelumnya—lebih menyakitkan, lebih gila rasanya. Fira memilih menggugurkan kandungan itu—tanpa pikir panjang, ia cemas akan menghadapinya sendiri. Rahasia besar yang tak pernah ia ungkap pada ibu atau bapak, apalagi setelah mengetahui jalur hukum tak memihaknya.

Setelah kejadian itu, bertahun-tahun kemudian, setiap kali Fira sakit perut, entah karena menstruasi, telat atau salah makan, ia mengingat janin di rahimnya, rasa sakit yang sama, melilit yang serupa—bertahan lebih lama. Rasa bersalah terus menghantui sebab membunuh nyawa manusia, merasa penuh dosa—khawatir tuhan tak akan pernah memaafkan. Fira selalu menganggap dirinya jahat, ia adalah pembunuh. Setiap kali perasaan itu muncul, ia menangis di kamar, menampar dan memukul diri sendiri. Penyesalan yang akan ia tanggung selamanya.

Sejak itu hidup baginya hanya hitam-putih, tidak ada yang benar-benar bisa Fira nikmati, satu peristiwa itu menggelapkan dunia, mengaburkan pandangannya, Fira tidak lagi sanggup melihat dunia dalam warna-warni cerah, tidak ada yang positif, pikirannya terbelenggu, ia jadi penyendiri. Menolak siapapun yang hadir, ia tidak sanggup. Ada hina dalam dirinya yang tidak boleh dilihat orang lain.

Dalam kesendirian, ia sering bosan, kesepian nyaris merenggut nyawanya. Ia tidak lagi tahan, menjalani kesepian di siang hari, dan mengalami mimpi-mimpi aneh pada malam hari. Fira lebih bingung dari orang-orang bingung, lebih gila dari orang-orang gila. Setiap pagi matanya merah karena ia tidak memilih tidur, badanya lemas, panas—dingin. Meski ibu-bapaknya telah membawa Fira ke dokter, namun sosok gelap itu nyatanya masih mendatanginya. Mimpi tentang monster selimut itu pun selalu ada. Di punggung kaki Fira membekas noda hitam sebab gatal yang tak tertahankan, ia tidak sadar menggaruk kakinya pada kasur saat mimpi itu terjadi, keras, kencang, hingga luka, memerah.

Pernah pada suatu malam, Fira yang lelah seharian tertidur di sofa ruang tengah, bermimpi—Ia belum berganti pakaian, masih memakai sepatu. Mimpi itu adalah perasaan baru, terasa lebih nyata kali ini, ia melihat dirinya sendiri, tertidur di sofa, dengan pakaian dan sepatu yang sama. Ia bingung, sekaligus penasaran, pada level tertentu mungkin ini adalah lapisan mimpi baru, yang belum pernah ia ketahui dari bertahun-tahun mengalami mimpi aneh. Fira seperti pengembara labirin dalam film The Maze Runner, yang pada tiap malam selalu menemukan jalan baru, sebuah jalan keluar menuju kebebasan, Fira bertanya Apakah ini serupa? Menemukan dan merasakan lapisan mimpi baru, sampai terbebas dan bisa tidur nyenyak?

Bedanya, di mimpi itu Fira memeluk seekor kucing jantan oren dengan bulu lebat. Kucing itu tampak nyaman, pun juga Fira, seperti sudah biasanya dua makhluk itu tidur bersama. Mimpi itu hanya berlangsung sesaat. Sedetik, dua detik kemudian Fira bangun, dan ia mampu mengingat mimpi itu lebih lama, sebelum akhirnya hilang setelah mencatat.

Fira selalu menceritakan mimpi pada ibunya, Fira pun paham ibunya mulai bosan, namun tetap berusaha antusias setiap kali mimpi itu terdengar hingga telinganya. Tapi untuk mimpi yang satu ini, ibunya benar-benar terperanga, dan karena itu, sepanjang pagi di hari sabtu yang mendung Fira dan ibunya bercakap-cakap—menghabiskan waktu bersama. Ibunya sambil membuat arem-arem, pesanan tetangga belakang rumah yang akan mengadakan pengajian rutin.

Ibu Fira sudah hapal apa yang hendak Fira sampaikan tiap pagi, dan seringkali ia menunggu, menebak mimpi apa kali ini yang akan Fira ceritakan. Sejak remaja mungkin hanya dua-tiga kali Fira tak bermimpi dalam satu tahun kalender, diam-diam, ibunya pun ikut mencatat mimpi-mimpi itu, meski ia tahu Fira tidak selalu menceritakan semua mimpinya. Termasuk mimpi tentang monster itu.

Awalnya Fira tak banyak menceritakan mimpi-mimpi itu, tidak begitu dekat dengan ibu dan bapaknya, sampai saat musibah buruk yang ia alami dari kekasihnya terjadi, ia akhirnya bercerita. Ibu Fira marah, pada pria malu-malu yang ternyata brengsek. Namun ia tidak mampu mengekspresikan kemarahannya. Kecelakaan di jalan adalah musibah, perkosaan lebih dari itu, bukan sekadar musibah. Satu peristiwa bejat—mencekam yang mengubah sisa hidup seorang manusia, selamanya.

Lihat selengkapnya