“Bentar, Bud… Nadia sudah mati?” Bimo memastikan.
“Nanti gua jelasin, Bim.”
“Gokil!” Bimo tampak bersemangat.
Seminggu setelah kematian ibu, Budi menemukan Nadia mati di kursi kamarnya, menyayat leher dengan pisau cutter karatan, darah sudah membanjiri lantai saat ia ditemukan. Kejadian pagi itu dicurigai oleh Budi karena bau menyengat, yang tak biasanya ia hirup di pagi hari. Pintu kamar Nadia terbuka sedikit dan Budi membukanya lebar-lebar. Melihat pemandangan itu dengan mata yang deras oleh air mata. Budi kini sendirian, ia tak bisa mencegah Nadia, sekalipun ia telah membaca tulisan Nadia di malam kematian Ibu Sri. Hatinya hancur—remuk redam. Tak seharusnya ini terjadi. Budi yang lama tak ibadah, makin marah pada tuhannya. Ia mengutuk segala nasib buruk yang menimpanya.
Kematian Nadia memicu memori buruk selama bertahun-tahun yang bertubi-tubi Budi alami, sebuah peristiwa penyebab trauma yang jadi alasan Budi terus berpikir untuk bunuh diri dan pikiran itu jadi lebih intimidatif setelah kematian beruntun Bapak dan Ibunya. Budi dalam catatannya pernah menulis, dan tampaknya tulisan itu jadi mantra untuk Budi tetap bertahan dan menapak di bumi.
“Kita akan terus mengalami nasib buruk di dalam hidup jika kita tak bisa dan tak pernah mau belajar untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran dengan cara yang sehat, tak pernah mampu dan tak pernah belajar untuk bilang tidak, untuk menolak apapun yang dalam prosesnya seringkali membuat kita cemas. Kita seringkali tak mengizinkan orang marah, padahal amarah itu disebabkan oleh diri kita sendiri. Kita tak sadar, karena kita tak pernah peduli.”
Budi suka mencatat, ia tak pernah melupakan segala memori yang orang lain tanamkan padanya—termasuk memori buruk yang sering membuatnya cemas, merasa tak pernah cukup untuk orang-orang, sebab kebaikannya seperti tak punya nilai. Budi jadi terbiasa pada pengalaman-pengalaman buruk karena perilaku orang padanya. Ia curiga ketika suatu hal berjalan dengan baik tanpa halangan apapun. Budi selalu menunggu kabar buruk yang akan datang. Budi tak percaya nasib baik masih mau memeluk dan menyertainya. Tak ada yang menyadari itu. Selain pada akhirnya Nadia membaca seluruh catatan lusuh milik Budi, catatan yang berumur, namun tetap terus Budi simpan.
Jelas ada amarah dalam diri Budi, yang tak sanggup ia ekspresikan, karena meski orang-orang seringkali datang menjadikannya sampah untuk membuang segala cerita yang menggantung di kepala, Budi tahu ia butuh energi dan mental yang stabil untuk mendengarkan kabar buruk dan cerita orang-orang, Budi tak mau mereka jadi terbebani karena harus mendengar keluh-kesahnya. Dari kepercayaannya itu, Budi tak sadar bahwa ia tetap manusia, punya batas rasa sakit dari yang bisa ditampung dan ditahan. Ia bukan robot yang bisa dipakai orang lain tanpa memedulikan pikiran dan perasaannya. Tak peduli pada yang ia lalui, dan alami selama ini.
Budi memilih jalan sunyi dan mengubur dalam-dalam memori buruknya. Namun ia lupa, mengubur memori buruk pada diri sendiri yang masih bernyawa dan bisa berpikir adalah pilihan gila. Seperti mempersiapkan bunuh diri. Hidup di dunia modern ini, menguras energi kita jauh dari yang bisa kita duga. Budi bahkan seringkali harus sampai memohon orang-orang untuk bisa membalas pesannya, atau memohon sebuah pertemuan. Budi merasa mereka begitu jahat, tak sebanding dengan apa yang pernah ia laukan untuk mereka.
Di kehidupan manusia modern ini, mereka bisa jadi antagonis, bisa jadi jahat bahkan tanpa melakukan aksi apapun, hanya diam seperti patung, tak merespon apapun. Tak bereaksi apapun. Budi selalu tertawa saat orang-orang itu datang kembali ke hidupnya karena nasib buruk yang mereka alami. Budi tetap menerimanya, karena Budi senang bisa berkomunikasi seperti manusia normal pada umumnya. Meski Budi mengetahui persis bahwa setelah mereka lega, ia tak lagi dianggap sebagai manusia. Saat Budi berusaha memuntahkan perasaan buruknya, Budi dianggap marah dan menyerang mereka. Orang-orang ini tak sadar hal buruk yang mereka lakukan pada Budi, karena mereka tak pernah peduli.
Budi sangat tidak menyangka, bahwa kematian Nadia akan sama persis yang ditulis di laptopnya. Sebelum kejadian itu datang Budi telah membacanya, ia sama sekali tak mampu mencegah, ia mengutuk diri atas hal itu. Semua beban di pundaknya, kini benar-benar melambatkan dunianya, ia nyaris tak melakukan apapun; hanya diam di kamar, tak berangkat kerja, dan rumahnya sudah tak pernah lagi ia bersihkan. Saudara-saudara bergantian datang, menjenguk Budi, memastikan kondisinya. Namun setelah berhari-hari Budi tetap belum keluar dari kamarnya, ia tak makan. Semua makanan yang dibawakan berakhir jadi basi, dikerubung semut, atau mengeluarkan bau busuk yang menyengat.
Budi mengingat kembali seluruh kejadian menyedihkan dalam hidupnya, kematian ketiga anggota keluarga yang paling ia sayangi mungkin hanyalah puncak kesedihan. Lingkungan yang tak bersahabat, bertahun-tahun diperlakukan buruk oleh orang-orang di luar rumah, mengubah pandangan Budi sekejap akan dunia. Rasanya begitu sakit. Dan ia baru menyadari setelah tiga kematian paling berat dalam hidupnya. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia menahan rasa sakit lebih dari yang ia tahu, lebih dari yang ia sadari. Ingatan-ingatan jauh kini terasa dekat, tak ada satupun teman yang menjenguk. Bahkan mereka yang selalu datang saat butuh cerita, butuh memuntahkan isi kepala, tak ada satu pun yang datang. Budi menyadari bahwa ia tak memiliki teman—selama ini ia sendirian.
Tak ada pengajian resmi, Budi tak sanggup mengurusnya, dan ia lebih nyaman untuk menangis sendirian, meski saudara-saudaranya datang untuk mendoakan bapak, ibu, dan Nadia, beberapa tetangga juga ikut mendoakan dengan datang sehabis salat isya, bersama anggota saudara yang lain. Budi tetap di kamarnya.
Di minggu ketiga kesedihannya seorang perempuan bertamu, dan ia terkejut, perempuan dengan senyum manis yang ia temui di kelas tenis datang ke rumahnya. Budi merasa malu, ia tampak lusuh, rumahnya sangat berantakan. Baru di momen tak terduga itu ia tahu namanya.
“Zulfa,” ia mengulurkan tangan lebih dulu, masih berdiri di muka pintu. Budi terpaku dingin.
“Budi…” ia salah menyebutkan nama, Zulfa menyadari itu—lalu Budi meralatnya, “Sorry… Zidane.” Jabat tangan itu berlangsung beberapa detik lebih lama. Zulfa tersenyum canggung, Zidane menyadarinya, ia lalu buru-buru melepas jabat tangan itu, dan menyilakan Zulfa duduk di teras. Tempat biasanya Nadia dan bapak duduk, mengobrol hampir tiap pagi.
Budi jelas tak tahu apa yang harus ia katakan di antara duka mendalam yang masih membekas di hati dan pikirannya. Zulfa memikirkan kalimat yang tepat untuk memulai percakapan itu. Ia tak ingin menyinggung atau berlagak jadi orang peduli namun sejatinya hanya menampilkan rasa kasihan. Memang sulit menempatkan diri pada situasi duka seseorang. Mungkin itu adalah keahlian yang butuh dilatih, sebuah keahlian yang harus dimiliki setiap orang.
Pada akhirnya Budi harus berlagak tak memiliki masalah apapun, untuk membuat obrolan itu lancar, dan keduanya tak terlibat dalam keheningan yang intimidatif. Obrolan-obrolan selayaknya mereka yang baru bertemu, dalam kondisi stabil dan bahagia. Zulfa mungkin kesulitan memulai obrolan karena ia melakukan kesalahan kecil—basa-basi tak perlu, saat bilang bahwa ia sudah lama tak melihat Budi di lapangan, Zulfa tahu itu kesalahan dan Budi sadar. Zulfa mencoba menetralkan kembali situasi di antara mereka, agar tak ada lagi kecanggungan. Budi tahu Zulfa ingin mengerti keadaan dan kabarnya, Budi juga sadar Zulfa tak mungkin memulainya lagi setelah satu kesalahan kecil itu.
“Saya sengaja menyakiti diri sendiri untuk tahu seberapa jauh saya bisa menahan rasa sakit,” ucap Budi terdengar dramatis setelah menyuguhkan air putih pada Zulfa, ia kehabisan kopi dan teh, “kalau itu yang ingin kamu tahu, Zulfa, atau kamu penasaran sama kondisi saya,” Budi tersenyum—getir.
“Zidane, aku enggak peduli sama rasa sakit kamu, kalo kamu enggak membaginya ke aku.”
“Saya enggak akan banyak cerita ke kamu, Zulfa. Tapi saya punya ini,” Budi memberikan sebuah kertas yang dilipat, “dibaca nanti aja,” Zulfa menerima kertas itu dengan pertanyaan yang menggelora. Ada gemuruh dingin yang merasuki tubuhnya, bertanya-tanya apa yang sedang menunggu untuk ia baca.
“Aku senang setiap kali bisa lihat kamu di lapangan,” ucap Zulfa, setelah melipat sekali lagi dan memasukan kertas di saku celana.
“Ohiya? Kenapa?” tanya Budi, ia bingung, sedang antusias pada ucapan Zulfa atau sekadar berusaha membuat waktu dan kedatangan Zulfa ke rumahnya jadi sepadan. Bahkan dalam keadaan buruk pun, Budi memikirkan kondisi orang lain.
“Enggak tahu… Tapi aku merasakan ada gejolak…”
“Saya suka senyum kamu,” ucap Budi tiba-tiba—memotong Zulfa.
“Enggak perlu pake saya,” Zulfa menutupi perasaan tersipu pada kejujuran Budi tentang senyumnya.
“Tapi itu fakta. Tiap kali lihat kamu senyum, rasanya beban di pundak saya hilang satu.”
“Cuma satu?”
“Iya makanya harus liat senyum kamu terus,” Zulfa makin tesipu, ia semringah.
“Makasi pujiannya.”