Buku Paling Bagus di Alam Semesta

Zahid Paningrome
Chapter #8

Kematian Keenam: Senyum Terakhir di Dunia

Nadia menunggu Budi, setelah melihat secara langsung kematiannya. Seminggu lebih seluruh media memberitakan peristiwa menggemparkan itu “Kematian Beruntun Satu Keluarga,” tercetak tebal di halaman utama koran-koran. Seluruh saluran TV kehabisan narasumber untuk terus membicarakan kasus ini, rating mereka naik karena membungkus peristiwa kematian dari berbagai sudut pandang. Sudut mistik, sudut pertemanan, membuat pihak TV kebingungan untuk mengundang narasumber yang relevan dan bisa menceritakan kisah hidup satu keluarga, hingga sudut psikologis tentang mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Teman-teman Budi memanfaatkan itu untuk jadi terkenal, membuat seolah Budi adalah teman tercinta mereka, sebuah kebohongan yang panjang umur hingga mereka membuatnya jadi konten tiktok—hanya untuk membuat akunnya dibanjiri komentar, love and share.

“Bentar Bud,” Bimo lebih fokus membaca naskah Budi dari biasanya, “Nadia lihat kematian kakaknya, tapi dia sudah mati? Gimana Maksudnya?” Bimo meneruskan, ia menatap Budi serius. Sudah beberapa minggu keduanya membicarakan naskah yang sama. Meski ini adalah novel pertama, Bimo pikir Budi melakukan pekerjaannya dengan baik.

“Jadi kucing, Bim.”

“Maksudnya?” Bimo memastikan jawaban Budi.

“Nadia terlahir kembali sebagai kucing hitam.”

“Ha?” Bimo memproses informasi yang masuk menusuk telinganya.

“Nah terus kakaknya bakal terlahir kembali sebagai kucing oren. Kucing yang paling dia benci.”

Bimo menggeleng, mengembalikan laptop Budi. Ia terdiam sesaat—hening. Menurutnya ide cerita itu bisa dibilang sangat liar hingga mungkin bisa jadi sangat bagus dan otentik atau terlalu seenaknya sehingga orang-orang tidak akan terikat oleh karakter—padahal itu adalah tujuan utama sebuah fiksi; membuat pembaca ikut merasakan apa yang dialami seluruh karakter yang ada, sehingga membangkitkan simpati atau bahkan empati. Bimo lalu kembali menatap komputernya—melanjutkan perkejaan lain, “Yaudah lanjutin dulu, Bud,” ucap Bimo. Budi tahu ada keraguan, terasa dari cara Bimo mengucapkannya. Budi tak mempersoalkan, ia hanya cukup membuktikan keyakinannya. Ia terus menulis.

 

Selama lebih dari seminggu, Nadia menunggu di tempat Budi mati, ia tahu mereka yang mati bunuh diri dan terlahir kembali akan muncul di tempat mereka menanggalkan nyawa. Tempat itu seolah jadi wahana wisata bagi orang-orang yang penasaran dengan kejadian itu. Mereka mengabadikannya dalam berbagai cara; foto, video, konten daily vlog, hingga siaran langsung di tiktok atau instagram. Semuanya berebut perhatian—seolah jadi orang paling peduli, namun sejatinya yang mereka pedulikan hanyalah angka-angka sosial media, hal yang bisa membawa mereka pada ketenaran. Mereka menggunakan peristiwa kematian—tragedi orang lain hanya untuk memberi makan ego dan Nadia tak suka itu semua. Sebagai kucing hitam yang terkenal misterius dan galak, Nadia memanfaatkannya untuk mengganggu orang-orang itu.

Nadia mengeong keras di dekat mereka yang sedang live instagram dan tiktok, membuat mereka merasa tak nyaman hingga berpindah tempat, namun Nadia terus mengikutinya. Awalnya mereka tak memedulikan, beberapa kali mencoba mengusir Nadia dengan menakut-nakuti, Nadia sama sekali tak takut, ia menjauh lalu mendekat lagi dengan suara meong paling keras yang orang-orang itu pernah dengar. Mereka adalah anak-anak KKN dari kota yang memanfaatkan kelengahan dosen pembimbing lapangan atau berbohong pada ketua RW—membuat konten dan melupakan tugas mereka untuk berguna bagi masyarakat. Nadia berak dan kencing di salah satu jaket KKN, yang membuat mereka akhirnya pergi dari sana.

Tak lupa, Nadia mencakar kaki salah seorang mahasiswi yang dari tadi paling berani mencoba mengusirnya dengan beberapa kali berusaha menendang badannya, teriak kesakitan mahasiswi itu singkat dan lebih kencang dari suara meong Nadia, hingga menarik perhatian orang-orang yang ada di sana. Kemenangan pertama, Nadia bangga. Cara yang sama ia lakukan pada pengunjung lain. Beberapa di antaranya tersulut emosi hingga memutuskan pergi dan menyiram Nadia dengan air.

Setelah satu-per-satu orang-orang norak itu pergi, Nadia yang mulai lelah duduk di dekat anak-anak, mereka yang selalu semangat menunggu kereta lewat. Beberapa dari mereka menaruh paku-paku kecil di rel kereta dan mengambilnya lagi setelah satu rangkaian kereta lewat dan menggepengkan paku-paku itu. Salah seorang anak bahkan punya koleksi paku gepeng yang ia bawa, bentuknya jadi seperti pedang—dan mereka bergembira setiap kali satu paku berhasil jadi gepeng, layaknya seorang anak mendapat mainan baru—dan Nadia ikut bersemangat melihat pemandangan itu.

Nadia bersantai di samping seorang anak yang datang ditemani oleh bapaknya. Anak itu berusia sepuluh tahun, sambil menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap bersama bapaknya, anak itu mengelus lembut Nadia, dari kepala sampai ke punggung—dan terus berulang. Anak itu bernama Bimo…

“Kok Bimo?” keluh Bimo.

“Sudah terima saja…”

“Wah royalti, nih.”

“Dih, di dunia ini yang namanya Bimo bukan cuma kamu. Banyak!”

 …Nadia mengetahuinya karena Bimo Si Kecil, (bukan Bimo teman Budi) mengganti kata aku dengan namanya. Nadia mulai nyaman dengan sentuhan itu, ia mendekatkan dirinya ke Bimo. Bapaknya ikut mengelus Nadia sesekali. Keduanya memakan tahu krispi yang mereka beli dari pedagang pinggir jalan. Bimo tampak bahagia—Nadia pun merasakan energi bahagia itu menular pada dirinya.

Meski Nadia kini adalah kucing hitam namun iya bisa merasakan tidur ayam-ayam, ia jadi mengantuk karena bapak Bimo bercerita seperti pendongeng ulung, setiap kali Bimo berhenti mengelus, Nadia selalu menyentuh kaki Bimo sebagai tanda untuk tidak berhenti—tanda ia menikmati sentuhan itu, dan Bimo terus melanjutkannya. Setiap kali kereta lewat ia akan berdiri dan menyiapkan ponsel bapaknya lalu merekam, senyum lebar itu tampak setiap kali ia mengangkat tangan meminta masinis membunyikan klakson panjang, diakhiri dengan teriakan kegembiraan saat klakson panjang itu berakhir bersamaan dengan seluruh rangkaian kereta yang lewat.

Nadia yang berusaha menahan kantuk tiba-tiba bangkit berdiri melihat seekor kucing oren tak jauh dari rel kereta. Kucing oren itu hanya terdiam mematung—seolah sedang sibuk memikirkan hal-hal—sesuatu yang berputar-putar di kepala dan mungkin akan meledak. Nadia agak ragu, ia bertanya-tanya apakah itu Budi—kakaknya, pelan-pelan ia meninggalkan Bimo, berjalan menuju kucing oren itu. Bimo memanggilnya—Nadia mengabaikan. Nadia memanggil kucing oren itu, manusia yang ada di sana sekadar melihat kucing lewat yang suara meongnya mengajak kucing lainnya kawin—Nadia makin mendekat, dan kucing oren itu tersadar suara meong Nadia, keduanya saling bertatapan, manusia lain yang melihat mereka, merekam percakapan antar dua kucing yang serupa dengan percakapan dua manusia.

“Kak?”

Kucing oren itu menoleh—ia diam. Tak menjawab.

Lihat selengkapnya