Buku Paling Bagus di Alam Semesta

Zahid Paningrome
Chapter #9

Kematian Ketujuh: Dilarang Jatuh Cinta di Ruang Tunggu

Nadia yang sudah lebih dulu jadi kucing mengajak Budi untuk mengenali dunia kucing. Keduanya mengeksplor hal-hal yang aneh jika dilakukan manusia. Selayaknya manusia, di dunia kucing mereka punya aturan-aturan serupa; seperti menghormati kucing yang lebih tua, dilarang kebut-kebutan di jalan yang penuh anak kecil, dilarang berak atau kencing di masjid meski panggilan alam itu sudah ada di ujung, dan tidak boleh berisik saat kawin di malam hari. Aturan-aturan itu bukan hanya mengagetkan Budi sekaligus membuatnya tertawa.

Mencari makan di dunia kucing sebenarnya tak begitu sulit, asal jangan menjadi kucing liar nakal yang tak tahu aturan, sebagai kucing, Budi harus tetap menjaga penampilan, ucap Nadia, agar saat berhadapan dengan manusia, mereka tak merasa jijik atau segera mengusir, paling tidak mereka memberi sentuhan-sentuhan kecil dan singkat. Biasanya Nadia mencari makan di toko makanan hewan yang menjual pakan kucing dan anjing, dari sana Nadia mengenal kucing-kucing yang dititipkan penghuninya karena harus pergi ke luar kota berhari-hari. Kucing-kucing itu di kandang dan diperlakukan layaknya raja. Sedang Nadia selalu diberi makanan ringan kucing oleh pegawai toko, memang disediakan untuk kucing-kucing liar yang datang.

Atau sesekali, Nadia nongkrong di coffeeshop yang tempatnya terbuka, lebih sering tipe coffeeshop yang banyak kerikil sebagai alas, mereka yang datang untuk ngopi dan bukan untuk mengerjakan tugas atau menyelesaikan kerjaan. Sering sekali Nadia makan enak dan mewah seperti kentang goreng krispi milik pengunjung yang gemas melihatnya, atau sesekali sayap ayam, Nadia seringkali kepedasan. Rutinitas itu juga bagian dari tidur di dekat anak-anak muda yang seringkali bergosip tentang teman-temannya sendiri, atau sekadar membicarakan gebetan baru atau target baru yang bisa dipakai untuk bersenang-senang. Hampir tiap malam Nadia mendengar itu.

Saat sudah merasa bosan Nadia pergi ke burjo, lebih banyak burjo yang bisa dijelajahi ketimbang coffeeshop. Akang-akang burjo lebih sering memberinya air, atau susu kental manis agak hangat yang sebenarnya tak baik untuk kucing—untuk manusia saja itu tak sehat, apalagi untuk kucing, sesekali Nadia tetap menikmatinya, dan setiap kali ia merasakan kental manis ada perasaan manusia muncul di dadanya. Sesekali pengunjung burjo juga memberinya ayam bumbu Bali sisa yang pedasnya bukan main, beberapa dari mereka bahkan iseng melumuri ayam itu dengan bumbu pedas dan memberinya pada kucing-kucing liar.

Saat ospek pertama sebagai kucing hitam, Nadia ditemani seorang kucing abu-abu, bukan seekor, karena kucing itu juga manusia yang mati bunuh diri, kucing abu-abu kocak itu bernama Ong, bukan Wong, karena dalam bahasa jawa Wong berarti orang, dan ia adalah kucing, meski Ong selalu bilang ia adalah setengah kucing, setengah manusia. Artinya kecerdasan kucing dan manusia ada di kepalanya. Sebuah perhitungan matematika yang sulit dipahami Nadia, seperti adegan Peter Quill dan Iron Man di film Avengers: Infinity War.

Kucing Ong punya teritori sendiri, ia bahkan punya kalung pemberian salah seorang keluarga kaya dari perumahan elit. Ia sering sekali datang ke sana hanya untuk makan. Bukan hanya makanan ringan kucing namun juga makanan kucing basah yang biasanya bermerek whiskas, orang-orang kaya itu tak pernah memberi Royal Canin pada kucing kampung atau kucing yang bukan ras. Ong pun juga tak mau, perutnya alergi pada Royal Canin, ia bisa muntah dan diare berhari-hari, memang jiwanya tetap miskin, ia bunuh diri karena tak kuat jadi miskin hingga usia tiga puluh tujuh tahun.

Kucing Ong menguasai beberapa perkampungan dan satu perumahan elit, saat Nadia diajak tur, Nadia terkesima dengan pengaruh Ong, ia dihormati kucing-kucing lain. Karena ia adalah manusia pertama yang lahir sebagai kucing di area itu, ia pernah hidup sendirian—kesepian, berkelana ke mana-mana tanpa siapapun, dan kucing-kucing kagum akan keberaniannya menghadapi rasa sepi. Makin lama, Kucing Ong melihat angka bunuh diri yang naik, rata-rata dilakukan oleh para pasangan muda yang buru-buru menikah hanya demi memuaskan nafsu sesaatnya, mereka stres karena tak cukup mumpuni untuk mengurus bayi yang sering merengek. Emosi mereka tak stabil, hingga kondisi ekonomi yang hancur lebur.

Akhirnya memilih bunuh diri, meninggalkan pasangan juga bayinya, yang paling kejam adalah mereka yang bunuh diri bersama dan meninggalkan bayi satu-satunya, lebih kejam lagi, ada yang bunuh diri bersama mengajak bayinya. Namun bayi tak terlahir kembali sebagai kucing. Mereka langsung menuju dunia atas—akhirat karena masih suci, dan bunuh diri itu bukan kehendaknya. Meski kadang jengkel setiap kali harus menceritakan itu pada setiap manusia yang lahir kembali sebagai kucing, Ong tetap merasa harus menceritakannya. Kucing Ong menganggap itu adalah bagian penting dari perjalanan seumur hidup menjadi kucing.

Nyawa Kucing Ong tersisa lima, ia sudah memakainya dalam empat kesempatan yang membuatnya tersadar bahwa menjadi kucing abu adalah jalan takdirnya. Awalnya ia tak percaya dan tak bisa menerima keadaan, ia berusaha mati sekali lagi, terus-menerus, namun tak pernah berhasil. Sebagai kucing, ia seperti terlahir kembali menjadi kucing yang utuh dan bersemangat. Ia kini punya tujuan, punya motivasi. Kucing Ong kembali menceritakan bagian dari hidupnya itu pada Budi, Nadia mendengarnya sekali lagi. Budi merasa ia sedang berada di level kehidupan awal Ong, Budi mendengarkan Ong, agar ia tak perlu merasakan kepahitan yang sama secara langsung. Ia bisa mengambil jalan pintas dari mendengar pengalaman orang lain—kucing lain.

Sebelum Budi bertemu Kucing Ong, Nadia sudah mewanti-wanti untuk menaruh rasa hormat, karena sudah banyak hal mengerikan, lagi menakutkan yang pernah Kucing Ong alami. Kaki depan-kanan Kucing Ong pincang, tak sanggup menginjak tanah, tak ada yang benar-benar tahu apa penyebabnya. Ada rumor kencang terdengar bahwa dulu ia sering bertengkar di pasar untuk merebut wilayah dan berhasil merebutnya dari keluarga preman kucing yang turun-temurun menguasai pasar lalu jadi jagoan di sana. Sebelum akhirnya Kucing Ong bertemu Ilham dan dibawanya ia ke rumah juragan senjata ilegal. Ia pergi dan menjadi legenda pasar. Kucing Ong bukan hanya dihormati namun juga ditakuti.

Budi bersemangat mengikuti hari eksplorasi itu, ospek pertama yang dijalani Budi sebagai kucing. Ia beberapa kali bertanya, Kucing Ong menjawab santai, seolah segala pertanyaan Budi sudah pernah ia dengar sebelumnya. Sedang Nadia beberapa kali menyapa manusia-manusia yang lewat, perhatian dari mereka kesenangan tersendiri untuk Nadia. Budi yang saat itu masih kesal mengapa ia lahir sebagai kucing oren lantas bertanya pada Kucing Ong, apakah mungkin ia berubah jadi kucing hitam, atau putih bahkan abu-abu, asal bukan kucing oren. Langkah Kucing Ong terhenti, ia menatap Budi merasa iba padanya.

“Kau sudah coba mati berapa kali?” tanya Kucing Ong.

“Sekali.”

“Dengan cara?”

“Tabrakin diri ke kereta,” jelas Nadia, Budi merasa malu menjawabnya.

“Oh, itu dihitung hilang dua nyawa.”

“Serius?” tanya Nadia—tak lagi mencari perhatian manusia yang lewat.

“Kalau kau penasaran, apakah bisa lahir kembali sebagai jenis kucing lain, coba kau habiskan semua kesempatan kau untuk mati. Belum pernah ada yang segila itu melakukannya. Tapi layak dicoba,” Kucing Ong kembali bergerak—melanjutkan panduan eksplorasi-ospek untuk Budi, Nadia kini berjalan di samping kirinya. Budi di kanannya.

“Risikonya apa?” Budi penasaran.

“Seperti yang saya bilang. Belum pernah ada yang segila itu. Kemungkinannya mendekati nol. Belum pasti. Mungkin kau tertarik jadi yang pertama? Agar kita semua tahu apa yang terjadi kalau sembilan nyawa kita habis,” Kucing Ong menatap Nadia—mukanya menyindir Budi atas pertanyaan yang bukan hanya konyol namun juga sembarangan.

“Oke…” Budi tampak tak yakin, “akan aku coba.”

“Kak!” keluh Nadia, “Itu Ong nyindir kakak.” Kucing Ong terkekeh mendengar penjelasan Nadia. Budi tampak bodoh, namun tetap berpikir bahwa itu bisa dan mungkin dilakukan.

Kucing Ong mengakhiri masa orientasi Budi dan mereka berpisah, Kucing Ong pulang ke salah satu majikannya, keluarga kaya di antara perkampungan biasa. Satu-satunya pemilik mobil di kampung itu, meski tak ada yang tahu bahwa keluarga itu adalah pedagang senjata ilegal. Kucing Ong sejahtera di rumah itu. Ia tak merasa miskin—sebuah kesempatan yang ingin ia rasakan saat menjadi manusia.

Keluarga itu memiliki dua anak yang keduanya kuliah di luar negeri, anak pertama; perempuan, kuliah di Australia dan hidup mandiri di sana sebagai vlogger yang mengeksploitasi kesenangan para pria atas keseksian tubuhnya. Anak kedua; pria, kuliah semester awal di Jerman, hidupnya membosankan. Sekadar hidup tanpa merasa perlu berjuang, karena sadar kedua orang tuanya kaya dan bisa menghidupi kebutuhannya sampai tua.

Nadia mengajak Budi ke ruang tunggu rumah sakit, hal yang selalu ia lakukan untuk menghabiskan hari setiap malamnya. Nadia sering duduk di sana dan memperhatikan orang-orang sedih lalu-lalang, mereka yang tak siap atas apa yang akan terjadi pada salah satu anggota keluarga, saudara, anak atau pasangannya. Kadang tertidur sampai pagi dan dibangunkan oleh seorang satpam setelah pergantian shift kerja. Satpam malam tak pernah mengusirnya, Nadia bahkan merasa jadi teman, sesekali satpam itu mengajaknya berbicara tentang kondisi keluarga. Atau sisi gelapnya sebagai gay yang harus menikah untuk menutupi kedok. Untuk seorang satpam dengan badan yang lumayan kekar, hati satpam itu selembut hello kitty, nyaris rapuh—rentan.

Nadia mengenalkan kakaknya pada para pekerja rumah sakit yang ada di ruang tunggu, mereka sengaja membiarkan Nadia berada di ruang tunggu, karena beberapa keluarga pasien yang menunggu disitu merasa terhibur dengan keberadaannya, kadang menunggu hingga tertidur, cemas menanti kabar kepastian kerabat. Nadia dilarang beranjak lebih dari ruang tunggu. Budi mengingat satu-per-satu nama-nama yang bekerja di bangsal itu. Seorang ibu yang sedang hamil enam bulan bernama Ibu Heri, Nadia tak pernah tahu nama asli Ibu Heri. Seorang perempuan muda yang sering digoda dokter-dokter tua bongkotan, beberapa petugas kebersihan yang rajin membersihkan ruang tunggu itu, dan ada beberapa satpam yang harus dihindari.

Budi mulai bisa mengikuti irama menjadi kucing, ia juga menghapal baik-baik aturan-aturan yang ada, tertulis ataupun tidak. Rumah sakit adalah tempat di mana manusia tiba-tiba mengingat tuhan, tempat di mana tangis lebih banyak dari kuburan—Budi melihatnya, padahal ia baru beberapa saat duduk di sana. Budi penasaran apa hal paling menarik yang Nadia lihat di ruang tunggu rumah sakit selama ia berada di sana, Nadia menjawab mantap tanpa berpikir dua kali,

“Bukan tempat yang tepat buat jatuh cinta.”

“Maksudnya?”

“Kakak pernah enggak, ketemu cewek, yang saking—mungkin cantik, manis, tipe kakak banget, lah, terus ada dorongan buat bisa kenalan, atau sekadar ngobrol?” ucap Nadia, Budi mengangguk, “nah, di sini itu sering terjadi. Kebanyakan laki-laki yang mulai duluan, merasa iba sama kejadian yang menimpa satu cewek, terus berusaha mengambil kesempatan.”

“Kok kamu ngomong gitu?” Budi mengibaskan ekornya.

“Aku yakin mereka memanfaatkan kesedihan orang aja,” Nadia bercerita dengan intonasi lambat nan tenang. Ia santai.

“Untuk?”

Lihat selengkapnya